Trans Studio

3026 Words
Aman kan, Mai? Pesannya masih belum dibalas lagi. Waktu ia baru sampai di Jakarta setelah liburan dari Lampung, ia kan sempat dihubungi Ferril. Kemudian harus menjaga Maira dan ayahnya dari jauh. Meski sejauh ini belum ada kabar yang buruk dan semoga tidak ada yang buruk, Agha masih was-was dengan perkembangannya. Ya Maira tak tahu sih apa yang sedang terjadi. Tentang urusan Masnya yang mulai menyerempet ke keluarga. Resiko yang memang harus ditanggung sebagai seorang jurnalis yang begitu kritis. Kadang sering dianggap pengganggu oleh para pengusaha karena kehadiran orang-orang seperti mereka. Ya pengusaha mana yang tak merasa terganggu dengan segala pemberitaan mereka? Apalagi jika itu menyangkut bobroknya mereka? Ya kan? Sementara Maira baru saja memeluk Rangga. Lelaki itu mengatakan kalau Zakiya berangkat ke Korsel. Adiknya tentu saja sedih. Tapi tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengirim pesan agar Zakiga senantiasa menjaga diri dan keberadaannya di mana selaku dijaga oleh Allah. Ya kan? Nasi sudah menjadi bubur. Masnya malah menikahi perempuan lain. Maira sudah tak pernah mengungkit hal itu lagi meski masih keberatan dengan kehadiran Shinta. Bahkan ia tak pernah bertemu perempuan semenjak perempuan itu dinikahi Masnya. Alasan Masnya? Masnya tahu kalau ia masih belum bisa menerima. Jadi Rangga tak mau memaksanya untuk bertemu Shinta. Biar lah, barangkali seiring waktu atau kalau pun tidak sama sekali ya sudah. Shinta juga sudah tahu resiko menikah dengannya. Hubungan dengan keluarganya akan sangat renggang. Meski Maira sebetulnya bijak. Ia bisa menyikapi segalanya dengan baik. Hanya saja Rangga belum ingin mempertemukan mereka. Barangkali kini akan ada waktunya. Agha justru gelisah. Sejak pesan terakhirnya belum dibalas Maira, ia jadi uring-uringan sendiri. Padahal keluarganya yang lain sibuk berkumpul di ruang keluarga yang sangat besar. Para perempuan tentunya sibuk di dapur. Geng krucil sudah bermain di kebun strawberry yang berada tepat di samping dan di belakang villa. Pada sepupu-sepupunya juga terlihat berpencar. Ada yang sibuk di dapur. Ada yang membereskan ruang keluarga untuk persiapan makan bersama. Ada yang menemani geng krucil bermain. Ada yang sibuk mengobrol. Ia? Tahu-tahu Ferril menepuk bahunya. Lelaki itu berdiri di sampingnya. Agha menoleh. "Ada perkembangan, Bang?" Ia tentu saja menanyakan persoalan Maira. Keselamatan Maira dan ayahnya yang terancam membuatnya tak bisa berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Ferril hanya berdeham. Lelaki itu memang tak mengatakan apapun. Pertanda apa itu? Pertanda Ferril memintanya untuk melihat bagaimana perkembangannya ke depan nanti. Persoalan Rangga memang agak mengerikan. Tapi tak ada pilihan selain terus maju. Agha termenung. Masih memikirkan banyak hal yang akhir-akhir ini terasa begitu cepat terjadi. Usai makan bersama, ia pamit menuju kamar. Ia tidak berkumpul dengan para sepupu yang lain. Ia justru sibuk berada di depan laptop. Ia sudah menghubungi salah satu intel yang terus mengamankan keselamatan Maira dan ayahnya. Bukan untuk menanyakan keadaan mereka. Tapi ia ingin tahu detil permasalahan yang sedang dihadapi Rangga. Hasilnya? Tentu saja tak ada yang salah dari apa yang dilakukan Rangga. Namun akibatnya akan mengancam keamanan seseorang yang kini memang sudah mulai terganggu dengan segala hal yang dilakukan Rangga. Akibatnya? Berdampak pada keluarga Rangga yang hidupnya mulai terancam. Ayah Rangga setidaknya tahu sedikit apa yang sedang terjadi. Sehingga bisa berjaga-jaga. Namun Maira? "Tolong jangan beritahu apapun sama Mai, Gha." Itu pesan Rangga padanya setelah sempat bertemu. Rangga punya alasan kenapa menyembunyikan segala hal dari adiknya. Pertama, karena Rangga terlalu tahu bagaimana watak Maira. Gadis itu tak kenal takut. Jadi sikap itu justru akan memancing emosi lawan karena merasa ditantang dengan sikap Maira yang tak takut dengan hal-hal semacam itu. Padahal semua orang mengkhawatirkan keselamatannya. Ya Rangga tahu kalau sikap itu harus diberikan acungan jempol. Tapi urusan nyawa sama sekali bukan hal yang bisa diuji coba. Nyawa hanya satu. Kalau melayang yaa hilang. Tak akan pernah bisa kembali. "Aaaaaa'aaaak! Iiih!" Tahu-tahu pintu kamarnya terbuka. Adel muncul dari sana. Di belakangnya, ada Adeeva dan juga Tata. Ya ada anaknya Tiara juga si Sherin. Agha menutup beberapa kasus penting yang sedang dibacanya. Akan bahaya kalau terbaca oleh Adel. Meski gadis itu baru berjalan mendekatinya sekarang. "Adel nyariin tauk, A'aaaak!" tukasnya. Laku ia menggelayut di lengan Agha. Agha terkekeh dan mengelus kepalanya. Ada apakah? "Kenapa?" "Besok kita mau ke Trans Studio tauuk! A'ak ikut kan?" Ia mengangguk-angguk saja. Ia juga sempat mendengar pembicaraan mengenai ini tadi. Lalu mendadak terlintas satu hal. Ia biar saja Adel mengoceh tentang ia dan para pengikutnya itu yang ingin agar ia menjaganya besok. Ya tentu saja itu akan Agha lakukan tapi berhubung di sini..... Mai? Ia mengirim pesan lagi. Walau pesan terakhir belum dibalas. Sementara tangannya sudah ditarik-tarik oleh Adel. Gadis kecil ini heboh sekali. Mau diajak ke mana lagi semalam ini? Ya meskipun belum malam-malam amat. Tapi rasa lelahnya menyetir sejak pagi tadi masih belum hilang. Mereka berangakt ke Bandung usai subuh tadi. Ya, Gha. Ada apa? Pesannya baru dibalas saat ia sedang duduk-duduk bersama sepupunya untuk membakar ubi cilembu. Yeah, mau istirahat juga tak akan bisa. Ia malah ditarik Adel dan dibawa ke halaman belakang villa untuk bersama-sama menikmati malam. Agha berdeham, jemarinya tampak menari. Besok ada acara gak? Ia tiba-tiba terpikir untuk mengajak Maira ke Trans Studio. Toh ada banyak orang dari keluarganya yang akan ikut kan? Maksudnya yaa ia dan para sepupu-sepupunya. Karena para om dan tante lebih memilih untuk beristirahat di villa sambil masak-masak. Yang muda-muda memilih untuk bermain. Meski tak semua sepupunya akan ikut. Kenapa? Pesannya hanya dibalas satu kata. Sejujurnya, Maira juga sedang berkumpul dengan keluarga besar dari ibunya yang rumahnya memang tak begitu jauh dari rumah almarhum ibunya dan juga neneknya. Mereka juga sedang membakar ubi tapi dengan cara yang jauh lebih tradisional. Pamannya membakar ubi bersama sampah-sampah daun. Kalau Agha dan keluarganya kan menggunakan pemanggang khusus. Mereka juga membeli ubi cilembu dengan pemesanan khusus. Kalau keluarga Maira? Cukup mengambil dari halaman belakang rumah. Ada acara gak? Sejujurnya Maira tak curiga sedikit pun dengan beberapa pertanyaan ini. Ia bahkan sangat santai menanggapi Agha. Masih sibuk bercerita dengan para sepupu-sepupunya dan tentu saja meladeni olokan-olokan mereka soal menikah muda. Ya kultur di keluarganya memang menikah muda. Beberapa sepupu-sepupunya yang usianya tak berbeda jauh dengannya sudah menikah disaat seusia dengannya sekarang. Itu adalah hal yang sangat lumrah. Apalagi ia akan segera lulus. Makanya ia terus digoda. Meski ayahnya membela dengan mengatakan tak akan membiarkan Maira menikah muda dan akan menghajar siapa saja yang berani melamar anaknya. Maira tertawa bersama para sepupunya dengan lelucon ayahnya yang begitu jadul. Ayahnya memang sudah berbicara dengannya soal ini. Ayahnya sungguh keberatan. Dan Maira juga belum terpikir akan ke arah sana. Baginya yang menjadi fokusnya sekarang adalah kuliahnya dan tentu saja menemani ayahnya. Soal Hanafi? Biar lah waktu yang akan menjawab. "Pak dokter yang suka lewat depan rumah itu naksir loh, Mai." Mereka mengangkat topik si dokter koas yang memang kerap lewat di depan rumah Maira kalau hendak berangkat ke puskesmas. Padahal Maira juga baru mengenalnya beberapa hari yang lalu. Hal yang mengundang tawa. Yeah, memang ada kejadiannya kenapa Maira bisa mengenal si dokter koas dan bagaimana si dokter bisa mengenalnya. Maira tak sengaja menabrak sepeda si dokter koas yang terparkir di depan warung Neng Yuli. Warung itu tak begitu jauh dari rumahnya Maira. Maira meminjam salah satu sepeda sepupunya untuk pergi ke warung. Lalu dengan cerobohnya menabrak sepeda yang terparkir. Tapi malah dipertemukan dengan si pemiliknya yang yaaah bisa dibilang manis. Hahaha. Jodoh? Keberuntungan? Takdir? Maira bahkan tak memikirkan itu. Ia justru malu dengan kejadian itu. Satu kampung jadi tahu dan malah membicarakannya. Ia belum negitu mengenal semua orang di sini tapi orag-orang pasti tahu sosoknya bukan? Besok ya? Iya. Rencananya gue mau ngajak lo main kalo lo gak ada acara. Maira baru membaca pesan itu setelah dua jam kemudian. Disaat Agha hampir terlelap. Lelaki itu mati-marmtian menahan rasa kantuknya demi menunggu balasan pesan dari Maira. Lalu apa balasan Maira? Ooh sorry, Gha. Gue ada acara sama sepupu-sepupu. Agha kecewa begitu membacanya. Ia menghela nafas. Lantas mengalihkan pesan dengan membicarakan hal yang lain. Apa yang mereka bicarakan? @@@ Trans Studio memang menjadi tujuan rencana liburan keluarga besarnya kali ini. Meski tak semuanya bisa ikut. Tiga mobil melaju dari villa. Mereka berangkat sekitar jam delapan pagi. Tentu saja sudah sarapan karena para tante begitu bawel menyuruh mereka untuk sarapan dulu sebelum berangkat. Agha menjadi yang tertua untuk mengawal geng krucil berhubung sudah berjanji. Toh ia juga masih sendiri. Ahahaha. Sebetulnya ada yang lebih tua darinya dan masih sendiri. Ssstt jangan sebut namanya. Akan bahaya. Namun semua orang pasti tau siapa yang dimaksudkan olehnya. Lalu apa hubungannya? Hanya mau mengatakan tumben-tumbennya Ardan tak bisa ikut. Biasanya, ia tak akan pernah melewatkan liburan kekanakan semacam ini. Tapi Rain juga ogah ikut. Padahal ia juga bukan tipe orang yang akan melewatkan gak ini. Hanya saja, mereka merasa kalau akan sangat lelah jika bermain di sana. Apalagi wahana yang akan lebih banyak dinaiki pasti ya wahana bocah. Berhubung tujuannya memang harus menjaga para anak-anak kecil seperti Adel, Adeeva, Tata, dan Sherin. Tiba di Trans Studio, Adel dan yang lain tentu saja sudah heboh. Ini tentu bukan yang pertama kalinya. Tapi rasanya menyenangkan ketika dapat datang ke sini. Apalagi dimasa liburan yang sudah dinantikan. Bahkan keberangkatan ke Bandung pun terus ditagih Adel pada Akib. "A'aaaaak! Cepetan!" Mereka sudah tak sabar. Padahal Agha perlu mengambil beberapa barang penting. Lelaki itu tersenyum tipis. Tak lama, ia memang sudah bergabung dengan Aidan, Ali, Adrian, Adshilla, Adel, Adeeva, Tata, Sherin, Tiara, dan Izzan. Ada juga Dina, Adit, dan dua anak kembarnya namun masih di dalam perjalanan. Ya begini lah kalau sudah punya anak-anak ya? Akan berbeda lagi urusannya. Agha yang menempeli barcode ke layar sebagai tiket masuknya dan juga adik-adik serta para sepupunya. Setelah semua berhasil masuk, ia baru ikut masuk dan dalam sekejab saja, geng krucil sudah berlari menuju wahana yang hendak dituju. Agha tersenyum kecil. Ia melambaikan tangan pada Adrian, Ali, dan Aidan yang memilih wahana lain. Adshilla? "Temenin si Tata itu, Shil." Gadis itu mengangguk. Ia tentu saja masih bisa ikut wahana anak-anak. Sementara Agha hanya akan menunggu. Rasanya terlalu malu kalau harus naik wahana anak-anak. Sedangkan ketiga adik lelakinya tentu saja sudah pergi menuju wahana ekstrem. Kalau tak mencoba yang di sana, rasanya akan ada yang kurang. Agha mengeluarkan kameranya. Meski tak bisa mengambil gambar adik-adiknya secara jelas. Setidaknya ini akan cukup untuk mengabdikan beberapa momen. Sementara itu.... Rangga beberapa kali melirik ponselnya karena memang terus berdenting. Berbagai pesan dari intel Ferril masuk ke ponselnya. Mereka benar-benar kehilangan jejak Shinta dan mulai khawatir dengan kehilangannya ini. Rangga diminta datang nanti malam. Ia akan terbang ke sana untuk memastikan kalau Shinta benar-benar tak terlacak agar bisa dibawa kasus ini ke hukum. Benar-benar tak ad ayang tahu di mana keberadaan Shinta. Perempuan itu tak terdeteksi sejak terakhir berjalan berdua dengan seorang laki-laki. Sementara itu, riuh suasana tempat hiburan indoor ini tak begitu ramai. Anehnya? Karena sejak kedatangan keluarga konglomerat, mendadak ditutup sementara untuk pengunjung yang hendak datang. Itu permintaan dari pemilik padahal sang tamu tak masalah kalau ada banyak orang. Tapi ya sudah lah. Kadang pikiran pembisnis itu sulit dimengerti. Ketika loyal terhadap sesuatu maka apa saja diberikan. Beruntungnya, Rangga, Maira dan para sepupu serta tetangga di dekat rumah sudah tiba lebih dulu sehingga mereka tak diminta pulang seperti para calon pengunjung yang kecewa di depan sana. Meski diberikan voucher diskon lima puluh persen untuk kedatangan selanjutnya. Itu memang tak menjadi masalah. Maira tak ubahnya anak kecil di sana. Gadis itu heboh sekali mengajak beberapa anak kecil tetangganya untuk naik roller coaster anak-anak. Ia ingin naik yang versi dewasa tapi juga ingin naik yang versi anak-anak dengan dalih menemani mereka. Rangga geleng-geleng kepala melihat tingkahnya. Ia sudah ruwet dijahili Maira sejak tiba di Bandung karena adiknya itu kesal sekali. Hahaha. Ia terus mengoceh karena kecewa Rangga memilih perempuan lain. Ya Maira memang tak tahu apapun maksud dibaliknya. Rangga juga hanya berusaha melakukan sesuatu dengan terbaik. Sementara itu..... Agha masih asyik mengambil foto hingga ia menoleh ke arah seseorang yang ada di depan sana. Adel dan Adeeva berasa di kiri dan kanannya. Tadi baru turun dari wahana lalu hendak naik lagi ke wahana yang lain. Tentu saja menyeretnya yang masih asyik mengambil foto. Lalu ia tak sengaja melihat seseorang yang berada di depan sana. Orang yang sangat ia kenal. "Bang!" Tahu-tahu ada yang menegurnya dari sebelah kiri. Ia terkaget. Ada Agha yang tahu-tahu sudah di sini. Tampak membawa dua anak kecil yang sudah ingin naik roller coaster itu. Tata malah ikut Tiara, Izzan, dan Sherin tadi. Entah ke mana. Aah adiknya, Adshilla, juga ikut bersama Tiara. "Lagi liburan?" Agha mengangguk. Matanya sudah tertuju pada roller coaster di mana adik-adiknya berteriak karena Maira ada di dalam sana. Ia menahan senyumnya. Yeah, bocah ketemu bocah. Begitu kah kepribadian Maira. Mungkin terlihat seperti perempuan dewasa tapi jiwanya kadang seperti anak kecil. Padahal Agha tadi malam sudah menghubunginya. Mumpung ia di Bandung, Agha mau mengajaknya bermain ke sini. Tapi Maira bilang tak bisa karena mau pergi dengan keluarganya. Gadis itu bilang begitu. Tanpa tahu kalau Agha hendak mengajaknya ke sini. Eeeh malah melihatnya di sini. Tadi sebetulnya karena Agha tak sengaja melihat Rangga. Ya Rangga tak mungkin sendiri kan di sini? Dan benar saja, Maira juga ada di sana. Saat turun dan berjalan ke pintu keluar, ia baru melihat kemunculan Agha dan ada adik kecilnya yang kini kompak berlari ke arahnya. Teman sepermainan kalau kata Adel. Karena Adel bilang kalau ia adalah kakaknya Maira. Hahaha. Maira tergelak saat mendengar kata-kata itu. Karena tingkahnya sok dewasa. Maira mungkin tak tahu kalau kecilnya sebahagia kehidupan yang dimiliki Adel, tingkahnya tak akan berbeda jauh. Namun kehidupan mengajarkan banyak hal pada Maira. Ia patut bersyukur dengan apapun yang terjad pada hidupnya. Karena segala hal yang ia alami tak bisa dibeli. "Hei, Gha." Ia akhirnya menyapa. Agha tersenyum kecil. Tentu saja senang. Rasanya belum lama bertemu dengan Maira. Lalu tiba-tiba dipertemukan lagi di sini. Jodoh? Hihihi. Maunya sih memang begitu. Rangga tak menangkap kalau ada yang aneh dengan tatapan lelaki di sebelahnya ini kepada adiknya. Karena fokusnya memang pada berbagai catatan peninggalan dari Shinta yang ditemukan oleh intelnya Ferril. Ia tentu saja masih menelaah semuanya dengan sangat detil. Bukti-bukti ini sangat diperlukan untuk mengusut tuntas apa yang sedang ia selidiki. Bisa dibilang ini ibarat bermain api. Bukan kah bermain api akan sangat berbahaya? "Liburan?" "Kan udah dibahas, Mai." Maira terkekeh. Ia bingung saja harus mengobrol apa. Apalagi mendadak diseret Adel dan Adeeva untuk ikut naik. Agha berjalan di belakang keduanya. Kembali masuk ke roller coaster. Adel duduk di depan bersama Maira. Di belakang ada Agha dan Adeeva. Sementara itu, Rangga tampak menjauh dari area roller coaster itu. Ia mencoba menghubungi sang intel untuk menanyakan apa maksud foto-foto yang tadi dikirimkan. Ia sangat berterima kasih dengan kemunculan Agha di sini yang begitu tiba-tiba. Setidaknya bisa menjauhkannya sedikit dari Maira. Meski adiknya tak akan curiga pula. "Itu apa maksudnya?" "Kami juga sedang mencari tahu. Kemungkinan besar terjadi penyekapan. Kami sedang berusaha melacak penerbangan tapi tak ada nama perempuan itu. Kami sudah melacak identitas palsu yang mungkin digunakan tapi juga tak ditemukan. Kemungkin besar menghilang melalui jalur darat dan kaki juga sudah menugaskan semua intel untuk melacak bagian imigrasi perbatasan. Pintu keluar dari Singapura tak banyak. Kalau pun melalui pelabuhan pasti akan terlacak. Hingga saat ini masih belum ada informasi apapun, Pak Rangga. Tapi jika sampai kedatangan Pak Rangga nanti, kita belum menemukan apapun, kita harus mengecek secara langsung ke beberapa tempat yang berhubungan dengan Abdi Negoro. Namun memang itu akan sangat berisiko." Terdengar dehaman dari seberang sana. Rangga paham maksudnya. Karena ini bukan sekedar menyangkut keselamatan tapi ikut campurnya intel Ferril di dalam masalah ini, jika sampai tercium akan membuka perselisihan baru antara Abdi Negoro dan Adhiyaksa. Selama ini, keduanya berhubungan cukup baik. Meski tak begitu dekat-dekat amat. "Saya tunggu kabar selanjutnya saja. Berarti saya hanya perlu berangkat nanti malam?" Sang intel mengiyakan. Kemudian telepon ditutup dan jejaknya harus segera dihapus. Rangga menghela nafas panjang. Baru saja hendak kembali berjalan menuju roller coaster, ponselnya berdering lagi. Yang muncul malah kakak iparnya. Sepertinya mereka semakin mencurigai sesuatu karena memang Shinta benar-benar tak bisa dihubungi. "Shinta ke mana, Ga? Sudah beberapa hari ini tak bisa dihubungi. Dia tak mungkin tak menghubungimu kan?" Rangga menarik nafas dalam. Ini sungguh berat. Ia bingung menjawabnya. Ia bahkan tak punya jawaban sebenarnya. @@@ "Titip Mai, Gha." Begitu kata Rangga. Lelaki itu pamit sebentar. Katanya hendak ad ayang ingin diurus. Meski adiknya sudah merengek tadi. Berhubung ia memang berjanji membawanya ke sini untuk bermain bersama. Tapi Maira juga malah terjebak bersama Agha dan adik-adik dari lelaki itu. Meninggalkan para sepupunya yang ada di wahana permainan yang lain. Lalu ke mana Maira diseret Adel dan Adeeva? Ohooi tentu saja pergi menikmati sebuah toko es krim terdekat. Adeeva tak sengaja melihatnya saat berada di roller coaster tadi. Bisa-bisanya matanya begitu jeli melihat jajanan ya? Yeah, namanya juga anak-anak. Maka tak heran kalau mereka heboh sekali begitu duduk. Tak sabar menunggu es krim mahal yang baru saja dipesan. Maira tersenyum kecil. Ia senang sih dengan kedua adik Agha ini. Awalnya mungkin agak dicuekin. Tapi mereka benar-benar baik, lucu, dan menggemaskan. Meski sebetulnya, mereka tak bersikap seperti ini kepada semua orang asing. Hanya pada orang-orang tertentu saja. Itu hanya berlaku pada perempuan sebetulnya. Kalau pada lelaki asing yang ganteng akan berbeda lagi. Hahaha. "Makannya pelan-pelan," sergahnya. Ia yang awalnya kaku menghadapi anak kecil kini mulai agak terbiasa. Ya berhubung mengenal kedua gadis kecil ini. Apalagi Adel dan Adeeva bukan tipe gadis kecil pemalu. Mereka cenderung bawel dan begitu kepo. Hal yang membuat Maira merasa lucu dengan keduanya. "Teteh Mai gak pacaran kan ya?" Adeev bertanya. Maira langsung tertawa. Tadinya mau memanggil kakak. Tapi melihat wajah Maira yang Sunda, panggilan kakak itu memang berubah menjadi teteh. Menurut keduanya memang lebih cocok. "Emangnya kenapa sih?" Ia malah bertanya balik. Ia hanya ingin tahu saja bagaimana tanggapan keduanya. Menilik A'aknya mereka yang rada alim, sepertinya kedua gadis kecil ini juga dididik dengan sangat baik oleh orangtua mereka. Maira salut saja. "Gak boleh tauk, Teteeeh!" Adel mengingatkan. Hal yabg membuat Maira tertawa. Gadis itu tak tahu kalau tawanya baru saja diabadikan oleh Agha melalui kameranya. Lelaki itu memang sedang memasang tripod untuk mengambil foto mereka bersama. Semabri mencoba kamera, ia iseng mengambil foto. Setelah pas posisinya, ia baru kembali duduk dan mengajak Maira dan juga kedua adiknya untuk menghadap ke arah kamera. Hasil fotonya? Bukan kah manis karena ada ia, Maira, dan juga kedua adiknya? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD