Bab II

1024 Words
Aku bangun pagi-pagi sekali, membereskan rumah sebelum berangkat menuju kediaman majikan baruku. Ya, akhirnya aku tak punya celah untuk menolak menjadi pelayan pria itu, semoga saja tiga bulan ke depan berjalan dengan lancar tanpa ulah kejam pria bernama Max itu. Aku menyusuri jalanan yang masih sepi, tapi aku tidak takut karena mengenal baik semua penghuni di perumahan sekitar sini. Kupacu langkah menuju gerbang yang menjulang tinggi tempatku mulai sekarang mengais rejeki. Sesampainya di dalam, aku segera menuju kamar pria itu yang sudah kuhapal saat berjalan keluar kemarin. Kuketuk pintu dengan perlahan, lalu terdengar sahutan dari dalam yang menyuruhku segera masuk. Pemandangan yang pertama kali kulihat adalah seorang pria gagah yang berdiri menjulang menghadap cermin dengan handuk menggantung di pinggang. Lakahku berderap kaku, menghampiri tuan baru yang tak bergeming karena kehadiranku. "Baru hari pertama bekerja sudah terlambat. Dasar tidak becus!" cercanya tajam. Aku seketika membeku, melirik jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul lima lewat dua menit. Hei, aku tiba tepat jam lima. Tapi berbelok sana-sini di rumah sebesar ini juga memakan waktu. "Cepat siapkan bajuku!" titahnya bringas. Langkahku terayun jengkel, membuka lemari besar berwarna kuning emas. Mataku seketika disajikan dengan jejeran rapi pakaian dari merk-merk ternama. Aku mengambil satu stel jas berwarna hitam untuk diserahkan pada Tuan Max yang terhormat. Dahinya mengernyit dalam dengan rahang menegang kaku. "Celana dalamku mana?" hardiknya keras. Aku berjengit kaget. Apa tadi katanya? Celana dalam? Apakah benda keramat itu juga harus aku yang menyediakan? Atau perlukah kutambahkan popok untuk bayi besarku ini? Benar-benar menggelikan. "Kau mendengarku atau tidak?" sentaknya lagi. Aku buru-buru melarikan diri menuju lemari pria itu lagi, dengan gerutuan luar biasa pelan yang aku lontarkan sepanjang jalan. Kutarik salah satu lipatan segitiga berwarna gelap itu. Eh, tapi tunggu dulu, aku mendapati sesuatu yang menarik di sini. Segera kusambar kain berwarna merah cerah itu dan kembali menghadap pada sang juragan. Tuan Max menerimanya dengan gerakan kasar, wajahnya memerah seperti tomat yang terlalu matang. "Tutup matamu dan berbaliklah!" perintahnya galak. Aku menurutinya tanpa banyak protes, seraya menutup rapat mulutku yang mati-matian menahan tawa. "Berbalik dan pakaikan baju untukku! " titahnya. Kuputar tubuh dengan gerakan lambat, berusaha menahan perut yang mulai melilit karena meredam tawa hebat. Namun, saat kulihat pria itu berdiri menjulang dengan kedua tangan berkacak pinggang disertai celana dalam merah cerah menutupi bagian terlarangnya, aku tak dapat lagi menyembunyikan suara tawaku. Aku membungkuk seraya menekan perutku yang terasa kram. "Apa yang kamu tertawakan?" bentaknya marah. Aku sedikit terkejut, tapi sisa-sisa tawaku masih terdengar. "Aku ... aku .... " Tiba-tiba dia menyambar lenganku, membantingnya di dinding dengan tubuh menghimpit kuat. Aku menahan napas saat aroma mint seketika menyergap. "Jangan berpikir kau bisa bermain-main denganku, Silvana," desisnya geram. Tubuhku terasa kram saat bibir tipis kemerahan yang terlihat sexy itu menyebutkan namaku dengan aksennya yang kaku. "Aku ... aku tidak sedang mempermainkan anda, Tuan," sahutku bergetar. Sungguh, ia terlihat sangat menyeramkan. "Lalu apa yang kau tertawakan?" cecarnya. "Maaf ... saya tidak akan mengulanginya lagi," ucapku sungguh-sungguh. Jantungku hampir copot saat ia menghempaskan tubuhku dengan kasar, tubuhnya menjulang dengan d**a naik turun menahan emosi henat. "Cepat laksanakan tugasmu," ujarnya dingin. Aku lekas bangkit berdiri, membantunya mengenakan kemeja putih polos yang melekat pas di tubuhnya. Kuabaikan getar halus yang menyerang kedua lututku, kebuasan pria ini memang tak dapat diragukan lagi. Tiba-tiba saja Tuan Max menarikku, merapatkan tubuh dan mengendus bagian tengkuk yang seketika mengakibatkan bulu kudukku meremang. "Sampo apa yang kau gunakan?" tanyanya rendah. Aku mengerutkan dahi? Memangnya ada yang salah dengan bau kepalaku? Tak ada hal aneh-aneh yang kugunakan, hanya sampo biasa yang tersedia di warung dengan harga eceran lima ratus rupiah. Belum sempat aku menjawab, pria itu sudah lebih dulu mendorongku menjauh. "Bau rambutmu membuatku sakit kepala," decaknya kesal. Aku membulatkan mata sempurna. Yang benar saja, aku bahkan baru saja mencuci rambut sebelum berangkat sini. "Cepat pakaikan celanaku!" titahnya lagi. Aku mengatupkan bibir dongkol, selain kejam dan tak punya perasaan, ternyata dia juga sangat menyebalkan. Perlahan, kuangkat sebelah kaki bayi besar ini dan memasukkannya ke celah kain hitam panjang miliknya, begitu juga dengan yang sebelah lagi. Lalu, kutarik celananya menuju pinggang, mengaitkan dengan tangan sedikit bergetar. Hello, benda apa yang terasa hangat dan kenyal ini? "Besok, jika kau terlambat lagi, aku akan memotong sepuluh persen dari gajimu," ucapnya mengancam. Aku tersentak dari pikiran anehku, lalu menatapnya dengan pandangan tak percaya. "Saya tidak terlambat, hanya saja rumah Tuan terlalu besar," sahutku tak terima. Dia mendengus sinis. "Alasan," gerutunya. Aku ingin membalas saat suara ketukan di pintu membuatku beralih. "Buka pintunya!" suruh sang bos besar. Langkahku terayun menuruti perintahnya, kubuka pintu dan mendapati seorang pelayan mengantar makanan. Ia membungkuk sebelum berjalan melewatiku, meletakkan baki di sebuah meja kecil yang ada di sebelah ranjang pria itu. "Mulai besok, kau yang harus menyediakan makanan untukku. Bukankah Jo sudah memberitahumu?" Suara Tuan Max terdengar lagi saat sang pelayan sudah mengundurkan diri. Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, tepat pukul enam pagi. Baiklah, setidaknya aku sudah tahu waktu sarapan pagi pria ini. "Baik, Tuan," jawabku sesopan mungkin. Melihat sikap pelayan tadi yang begitu patuh dan hormat kepada Tuan Max, aku merasa jadi babu yang paling kurang ajar di sini. Tapi tak apa, itu balasan bagi siluman kasar yang menjelma menjadi manusia seperti bayi besar ini. "Apa yang kau lakukan? Cepat suapi aku!" Geraman pria itu kembali terdengar. Aku segera menghampirinya yang duduk di pinggiran kasur. Kuambil piring sarapan miliknya yang hanya terisi dua lembar roti segi empat, lengkap dengan krim strawberry di sebelahnya. "Hanya roti biasa, kenapa harus minta disuapi?" tanyaku heran. "Karena aku sibuk," sahutnya ketus. Aku hanya diam, tak menanggapi omongan lucunya. Sibuk seperti apa yang dia maksud saat dirinya sendiri hanya duduk diam di atas kasur super besar ini? Suara ketukan kembali terdengar, kali ini Tuan Max langsung menyuruh orang itu masuk. Jo melangkah dengan pandangan datar seperti biasa, kurasa wajah itu harus diberi pelembut makanan agar terlihat lebih berekspresi. "Semua keperluan anda sudah siap, Tuan. Apakah anda ingin berangkat sekarang?" tanya pria itu sangat-sangat sopan. Tuan Max mengangguk. "Hm," sahutnya datar. Hanya itu, tapi Jo sudah sangat mengerti melangkah keluar begitu saja, tanpa ada raut tersinggung di wajahnya. "Jika kau terus melamun dan mengerjakan tugasmu, maka lebih baik aku mendepakmu dari sini sekarang juga!" Aku beejengit kaget, kenapa dia sering kali mengomel panjang lebar padaku sementara irit bicara sekali dengan yang lainnya. Dengan menahan dongkol di d**a, aku memasangkan kaus kaki untuk pria ini, lalu memakaikan sepatu pantofel hitam yang menambah kesan gagah tubuh kekarnya. Ah, di memang begitu sempurna, meski dengan pandangan yang selalu lurus ke depan. ____ Hope you like it. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD