PART 3 - THEATRICAL

1155 Words
PART 3 JUAN POV Apa yang harus kulakukan padanya? Haruskah kuikuti juga permainan Hillary? Bahwa Anthony sudah meninggalkannya dan menikah dengan sahabatnya, Laima? Tidak. Aku tidak akan berbohong padanya. Matanya yang kehijauan masih menatapku, menuntut jawaban dari pertanyaannya, apakah aku mengetahui tentang Anthony? Ya tentu saja! “Ya, aku mengenalnya” jawabku akhirnya. “Apa dia datang waktu kita menikah?” Aku menggeleng, “Tidak” Keningnya berkerut, ck, aku kesal sekali karena tidak bisa membaca pikirannya sekarang ini. “Laima?” “Tidak juga” Ekspresinya berubah sedih, “Apa kita mengundangnya dan mereka tidak mau datang, atau kita tidak mengundangnya?” tanyanya penuh selidik. “Kita tidak mengundangnya” Wajahnya penuh pertanyaan, “Apa hubungan persahabatanku dengan Laima memburuk?” Ini gara-gara Hillary! Aku harus jawab apa sekarang? “Ayo kita lihat kamar kita sekarang...” ajakku berusaha mengalihkan perhatiannya, dan... “Juan” Tubuhnya tidak bergerak, kedua tangannya dilipat di depan dadanya. Aksi kesalnya membuatku gemas dan ingin memeluk sekaligus menciumi bibirnya yang cemberut itu. Tapi aku hanya menarik tangannya dan pada akhirnya ia tidak melawan. “Kau banyak pertanyaan...dan aku akan menjawab hanya yang berhubungan dengan kita, ok” jawabku menegaskan. Ruby menikmati memandangi kamarnya, kamar kami berdua. Ia berlari ke arah balkon dan membuatku harus melesat menangkapnya tanpa sepengetahuannya. Aku memeluknya dengan erat dan membuatnya kaget. “Juan, bagaimana—“ “Aku juara lari sprint” cetusku asal. Aku menghela napas lega sambil melepaskannya, “Tolong jangan lakukan itu lagi...” kataku seraya menutup pintu balkon dan menguncinya. Ia menatapku dengan ekspresi kesal, “Kenapa kau malah menutup pintunya?” Aku menaikkan kedua alisku dan mengembuskan napas pendek. Kau tidak diizinkan keluar dari balkon, Ruby! Matanya mengerjap kebingungan dan mengedari penjuru ruangan. “Apa kau mendengar sesuatu?” tanyanya dengan ekspresi cemas. Ia bisa mendengar telepatiku. Tapi aku tidak mendengar balasannya. “Kau baru saja keluar dari rumah sakit karena jatuh dari balkon. Jadi untuk sementara ini, balkon terlarang untukmu!” tegasku. Aku serius tentang tidak menginjakkan kakimu di balkon itu, Ruby! “Huh?” ujarnya syok sambil matanya sekali lagi mengitari ruangan dan mengusap lengannya dengan gerakan cepat. “Kamu tidak serius kan?” “Dua. Rius!” Dan ia berdecak kesal sekali. “Jadi kamu akan mengurungku di kamar berhantu ini?” Dahiku berkerut, lagi-lagi ia menyebut suaraku adalah suara hantu. “Bila kurasa perlu,” jawabku. “Juan!” Mata cantiknya mendelik menatapku, aku malah balik menatap mata hijaunya itu. Tubuhnya yang mungil terpaksa membuat kepalanya mendongak untuk menatap bola mataku. “Aku tidak mau ambil risiko kamu terjatuh lagi, Ruby.” “Hhhh!” “Aku harus pergi, dan kau harus istirahat My Queen” ujarku seraya mencium puncak kepalanya. “Aku mau pindah dari rumah ini! Ini terlalu besar Juan, aku takut!” rengeknya. Aku menempatkan empat orang pengawal di depan pintu kamar, dan dua orang lagi di balkon. Dengan ancaman nyawa mereka akan melayang bila terjadi sesuatu dengan Ratu mereka, aku yakin mereka akan menjaga Ruby sepenuh hati dan dengan nyawanya. *** “Maksud Kak Juan, kalian akan tinggal di Nebrash City sementara waktu?” Aku mengangguk, begitu juga Randall dan Reynold. Dimitri dan Odiv di sudut ruangan juga setuju dengan ideku. Dengan begitu mungkin pikiran Ruby akan lebih mudah beradaptasi. Karena di sanalah awal pertemuanku dengannya, dan kurasa ide mengulang masa-masa itu akan lebih efektif dibanding memaksakan Ruby mengingat rutinitasnya di Cxarvbunza ini. “Aku setuju,” cetus Reynold, “lagipula kau bisa bolak balik sesuka hatimu ke negeri ini, bukan?” “Ya, itu bukan hal yang sulit” sahut Randall. “Aku bisa membantu...” “Tentu saja,” jawabku meragukan kesungguhan Randall. Sepertinya ada yang tidak percaya padaku, batin Randall. Aku hanya menyeringai menatap sepupuku yang berandalan itu. “Ya, itu kan memang pekerjaanmu, mondar mandir menggoda perempuan di Bumi dan di Cxarvbunza,” sahut Hillary dengan nada sarat cemburu. Randall melemparkan senyuman penuh arti pada gadis lugu, adik iparku itu. Playboy itu menghampiri Hillary dan mencubit dagunya sambil menggodanya, “Kamu cemburu ya?” “Iiih! Ngapain cemburu? Pacar bukan, apa juga bukan!” sahutnya sewot sambil menampik tangan Randall dari dagunya yang runcing. Entah apa maksud Randall menggoda Hillary seperti itu. Karena aku tahu sekali kalau hati Hillary terpincut rayuan Randall dari waktu ke waktu. Tapi si playboy itu hanya menganggap adik iparku itu sebagai fans beratnya saja. Karena itulah Ruby tidak pernah setuju Randall mendekati dan memberi harapan palsu pada adiknya. Entah apa tanggapannya sekarang kalau melihat dua sejoli yang sering saling menggoda itu. Aku berdeham cukup keras, dan membuat mereka berdua menoleh memandang ke arahku. Kemudian dengan gamblang kujelaskan rencanaku pada mereka semua, demi kesembuhan istriku, Ruby. Aku akan melakukan apapun yang perlu kulakukan, sekalipun itu menghadirkan lagi laki-laki yang pernah menjadi tambatan hatinya. Di mulai dari Hillary yang harus menjelaskan kenapa ia harus berbohong dengan mengatakan bahwa sahabatnya, Laima sudah mengkhianatinya dengan menikahi pria pujaannya itu. Fuh, sebuah kemajuan untukku karena gelas yang kupegang saat ini tidak hancur dalam genggamanku ketika memikirkan lelaki yang  menjadi pujaan istriku. Reynold menghampiriku dengan wajah seriusnya. Ia duduk di depanku dengan meja sebagai pembatas kami berdua. Aku menghela napas panjang setelah membaca pikirannya. “Ya tentu saja aku mengerti Reyn,” sahutku. “Tapi aku yakin Ruby masih memiliki bakat itu, terbukti lukanya hilang begitu saja dalam dua hari, patah tulangnya juga demikian, sebelum dua hari sudah kembali normal....” Reynold berdecak pelan, “ya—walaupun memang prosesnya kali ini sangatlah lambat, tapi bakat itu tidak hilang.” “Ya ... ya ... aku tahu.” Hal ini juga sempat membuatku berpikir, kalau tiba-tiba bakat menghilang Ruby muncul tanpa ia bisa mengendalikannya, aku bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi. Kecemasan Reynold adalah Ruby bisa syok dan mempengaruhi fungsi otaknya, dan itu juga yang mengangguku sekarang ini. “Aku tahu kau akan melakukan yang terbaik untuk Ruby, Juan. Apapun itu aku akan mendukungmu,” katanya. Aku mengangguk sambil tersenyum pada sepupuku yang seorang dokter itu. “Terima kasih, Reyn.” Dan ia tersenyum lebar sambil mengerutkan keningnya menatapku. Aku tersenyum merespon pujiannya dalam hati. Aku bangga sekarang Cxarvbunza punya Raja hebat sepertimu, Juan, batin Reynold. “Kau bangga karena aku tidak memporak randakan rumah sakitmu itu, bukan?” Ia mengangguk sambil terkekeh, “Kau benar, aku pikir aku harus membangun lagi rumah sakit baru, ketika kau tahu kecelakaan yang menimpa Ruby.” Kami berdua tertawa ringan. Aku memang berkuasa, aku akan menghukum siapa saja yang berbuat kesalahan. Tidak terkecuali! Satu kesalahan fatal saja maka ia akan kehilangan nyawanya ditanganku. Itulah Juan Terrrel sebelum bertemu Ruby dan menekuk lututnya di depan wanita mungil bermata hijau yang sekarang menjadi istriku—dan melupakanku—itu. Hanya wanita itu yang bisa membuat marahku reda, hatiku melunak dan lebih banyak tersenyum. Hanya dia yang mampu melawan kerasnya hatiku dan kuizinkan memakiku sesuka hatinya. Takdirku, garis tanganku, dan sekarang menjadi helaan napasku, hidupku. Memikirkannya saja membuatku tersenyum saat ini. Aku rindu padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD