Calon Suami

1149 Words
Pagi ini Gerald berangkat lebih awal ke sekolah, berhubung hari ini adalah hari Senin. Jadi, ia selaku ketua OSIS harus memantau siswa dan siswi untuk ikut dalam upacara pagi itu. Nadia lagi-lagi terlambat hari itu. Gerbang sekolah sudah ditutup, dengan terpaksa Nadia memutuskan untuk masuk lewat pagar belakang sekolah. Nadia baru saja berhasil menginjakkan kakinya di atas tanah. setelah susah payah dan berhasil menaiki pagar sekolah. Saat hendak melangkah, langkahnya ia urungkan ketika mendengar suara seseorang yang tak asing di pendengarannya. "Ehem ... sedang apa lo di sini?" tanya Gerald dengan nada tenang. "Beli sayur,” sahut Nadia asal. Ia sangat malas berhadapan dengan ketua OSIS tersebut. Gerald hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku gadis itu. "Lo tau, 'kan? Ini hari apa, dan lo udah gak ikut upacara dalam tiga minggu terakhir," jelas Gerald masih dengan nada tenang. "Ya, terus? Urusannya sama lo apa?” tanya Nadia sedikit kesal. Gadis itu menatap tajam Gerald yang saat itu berada di hadapannya. “Gue ketua OSIS sekaligus calon suami Nadia Maibela. Sudah paham?” sahut Gerald. Nadia tak menjawab, ia menatap lekat wajah Gerald. Dirinya hampir lupa, bahwa sejak tadi malam ia sudah resmi menjadi tunangan pria di hadapannya itu. “Kenapa diam? Gak dengar? Perlu gue ulang?” tanya Gerald dengan wajah menyeringai. “Eng–enggak perlu!” sahut Nadia terbata. "Lo udah keterlaluan gadis bar-bar, sekarang juga lo ikut gue!" pinta Gerald. Pemuda itu kemudian menarik tangan Nadia, dan sialnya Nadia hanya menurut saja. Gerald menarik tangan Nadia ke arah lapangan, berhubung kegiatan upacara hari ini telah usai, jadi tidak terlalu banyak siswa dan siswi di lapangan sekolah saat itu. Sebagian banyak dari mereka pasti tengah berlarian ke kantin. Gerald menghempaskan lengan Nadia, saat keduanya sampai di lapangan. "Sekarang lo lari 20 puluh kali putaran. Setelah itu lo berdiri di bawah tiang bendera sampai waktu istirahat!" titah Gerald dengan nada datar. Gerald sengaja memberikan hukuman di luar batas, dengan tujuan membuat Nadia jera. Ia berharap Nadia tidak akan melakukan kesalahannya kembali. Lagi-lagi Nadia dibuat kesal oleh Gerald. Hukuman yang diterimanya selalu tidak sebanding dengan kesalahannya. Pikir Nadia Saat itu Nadia baru saja menyelesaikan larinya sebanyak 10 putaran. Ketika hendak melanjutkan larinya, tiba-tiba langkahnya terhenti karena kedatangan Merry dan teman-temannya. Seperti biasa, kedatangan Merry–anggota OSIS, hanya akan menyulut emosi Nadia. "Hai, cewek pembuat onar. Lagi di hukum ya?” tanya Merry dengan nada mengejek. "Lo gak cape apa dari kelas 1 sampai sekarang lo udah kelas 2, masih aja terus buat masalah. Heran gue. Emang orang tua lo, gak pernah marah gitu?" sambung Merry. "Ampun kali orang tuanya Mer, urus anak badung kaya dia ... ups, gue keceplosan.” Kali ini teman Merry yang bersuara. Ucapan salah satu teman Merry itu, mengundang gelak tawa dari teman-teman Merry yang lain. Nadia masih diam enggan menjawab. Namun, kini kesabarannya telah habis. Setelah mereka membahas masalah orang tua. Nadia kembali teringat, dengan suasana rumah yang membuatnya muak. Tak mendapat balasan akhirnya Merry memutuskan untuk pergi. Namun, belum baru juga akan melangkah, Merry sudah meringis kesakitan. “Aws ...!” terdengar suara teriakan Merry. Merry terjatuh karena langkah kakinya yang dengan sengaja dicekal oleh Nadia. Siku tangan Merry berdarah karena mengenai batu. Sedangkan Nadia, gadis itu pergi begitu saja untuk melanjutkan hukumannya lagi. "Sialan lo! Awas aja bakalan gue balas lo." Teriak Merry tak terima. Merry dibantu teman-temannya berdiri dan segera pergi menuju ruang OSIS. Ya, tentu saja bukan UKS, karena Merry pasti akan memanfaatkan kesempatan ini, untuk mendapat perhatian dari Gerald–pujaannya. Setelah menyelesaikan larinya sebanyak 20 putaran, Nadia kini tengah berdiri di tengah lapangan. Tepatnya di bawah tiang bendera sang Merah Putih. Keringat bercucuran di permukaan wajah Nadia. Matahari saat itu mulai meninggi, cahayanya pun mulai terik. Namun, beruntung karena hari ini guru-guru tengah mengadakan rapat. Jadi, Nadia tidak akan tertinggal jam pelajaran. Dari kejauhan kedua sahabat Nadia–Caca dan Kiki, hanya dapat memandang sendu ke arahnya. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa, jika itu sudah keputusan sang ketua OSIS. Selain kedua sahabat Nadia, di lapangan basket ada juga Kenzo Dinata–wakil ketua OSIS dan juga Arkana Dewa–sang pangeran ketua tim basket. Kedua pria tersebut sama-sama berwatak cuek, yang tidak terlalu tertarik perihal percintaan. "Siapa gadis itu?" tanya Arka, kepada Kenzo. Pemuda itu kemudian melempar bola basketnya ke dalam ring dengan sempurna. "Yang lagi dihukum?" tanya Kenzo sambil merebut bola dari tangan Arka. "Hem," sahut Arka singkat. "Dia Nadia, anak 11 IPA. Pembuat onar di SMA BUMI BAKTI. Sejak pertama masuk sekolah, sampai sekarang dia adalah musuh para anggota OSIS. Hukuman demi hukuman, tidak ada yang mampu membuat dia jera," jelas Kenzo sambil memantulkan bolanya. Kenzo sedikit heran, perihal Arka yang menanyakan tentang seorang gadis. Pasalnya, selama ini Arka tidak pernah tertarik kepada gadis-gadis cantik di sekolah ini. Meskipun berbagai cara telah dilakukan oleh mereka untuk dekat denhan ketua tim basket tersebut. "Oh, thanks infonya,” sahut Arka singkat. Tanpa disadari bibir Arka terangkat mengukir senyuman tipis. Senyum yang tak pernah terlihat oleh siapa pun selama ini. Arka menghampiri Nadia, dengan membawa sebotol air mineral di tangannya. Sebelum benar-benar sampai di hadapan Nadia, Arka meminjam topi pada salah satu murid yang ada di dekat lapangan. Banyak yang melihat hal itu. Mereka hanya bisa melongo dan berteriak histeris saat melihat pangeran kedua di SMA BUMI BAKTI, berjalan menghampiri Nadia. “Minum!” titah Arka, dengan tangan terangkat menyerahkan botol air mineral kepada Nadia. Nadia menerimanya dan langsung meminumnya. Nadia tak ingin tahu siapa yang memberinya, yang terpenting rasa hausnya segera hilang. Arka tengah mengatur ukuran topi yang ia pinjam tadi. Lalu dengan segera, ia memakaikan topi tersebut di kepala Nadia. Nadia sedikit kaget, atas perlakuan salah satu kakak kelasnya tersebut. Namun, belum sempat Nadia mengucapkan terima kasih. Arka sudah berlalu pergi begitu saja. Nadia menatap punggung Arka, tetapi tiba-tiba tatapannya berubah menjadi kabur. Sinar matahari yang sangat terik, membuatnya merasakan pusing yang amat sangat. Perlahan pandangannya mulai menggelap, sebelum akhirnya kesadarannya menghilang, lalu Nadia jatuh pingsan. Dua orang pria tampan, tengah saling menatap di tengah lapangan yang terik. Keduanya sama-sama menopang tubuh Nadia. "Biar gue yang bawa dia ke UKS, ini sebagian dari tanggung jawab gue sebagai ketua OSIS." Gerald hendak mengangkat tubuh Nadia, tetapi terhenti oleh Arka. "Gak masalah. Biar gue yang bawa dia." Arka langsung pergi membawa Nadia dalam gendongannya menuju UKS, tanpa menunggu jawaban dari Gerald lagi. Semua yang dilakukan Gerald dan juga Arka, tak luput dari pandangan siswa-siswi yang tengah berkumpul tak jauh dari lapangan saat itu. Gerald mengepalkan tangannya. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa sangat kesal. "Gue mimpi gak sih, Ki? Ah ... enak banget jadi Nadia, bisa digendong sama Kak Arka," ucap Caca histeris. Tangannya tak tinggal diam, terus memukul-mukul lengan Kiki. "Ih, apaan, sih! Sakit ogeb. Udah ayo, mending kita susul si Nadia ke UKS!” ajak Kiki. Kedua gadis itu bergegas pergi menuju UKS. "s**t!" Gerald mengumpat dalam hati. Netranya tak lepas menatap punggung Arka yang semakin menjauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD