03

1247 Words
Semua akan bersikap sebaliknya padamu Merri. Mereka yang jahat akan bersikap manis padamu. Apa kamu masih ragu? Baiklah, aku akan memberimu kesempatan sebanyak tiga kali untuk mencoba. Tapi setelah itu kamu harus memutuskan! Apa kamu ingin kembali? atau tetap berada di sini selamanya...  Hujan tak kunjung reda, matahari sudah hampir terbenam seutuhnya, namun mama Merri belum juga pulang. Merri mencoba kembali fokus pada televisi yang menyala. Lama kelamaan gambar di televisi itu terlihat kabur. Merri mendesah, belakangan ini penglihatannya sering terganggu ketika senja. Dengan gusar Merri mematikan televisi dan kembali menoleh ke arah pintu. “Apa karena hujan Mama jadi telat pulang kerumah?” Merri bertanya-tanya dalam hati. Kondisi rumahnya masih kacau, Merri melihat ke segala sisi sambil berkacak pinggang. Kemudian dia mulai membersihkan semua itu. Sesekali dia menyeka peluh yang keluar. Aktivitas seperti ini cukup berat bagi Merri karena tubuhnya mudah lelah. Namun dia ingin menebus kesalahannya pada sang mama tempo hari.  Merri tersenyum puas melihat semuanya sudah rapi. Dia menghempaskan tubuhnya ke sofa. Napasnya masih memburu, tangannya terasa pegal karena harus memindahkan perabotan yang berserakan kian kemari. Kemudian dia menyalakan TV kembali, jemarinya dengan lincah mengganti saluran yang dianggapnya membosankan. Yang ditunggu-tunggu tidak kunjung tiba, Merri mulai lelah. Matanya mulai sayu, sesekali dia menguap dan akhirnya Merri terlelap. TING TONG... Suara bel membuat Merri terbangun. Akhirnya mama pulang, batinnya. Merri bergegas membukakan pintu. Hatinya diliputi perasaan lega. Merri bersiap menyambut mamanya. Pintu rumah itu pun mengayun membuka seiring suara derit yang terdengar pelan. Deg. Merri beringsut mundur, matanya terbelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia ingat mata itu, sepasang mata kecil berwarna kelabu yang kini menatap tajam. Senyum di wajah keriput itu juga terlihat menyeramkan. Dia adalah sosok menyeramkan yang muncul di jendela kamarnya tempo hari. Merri kian ketakutan, keringat dingin sudah membanjiri sekujur tubuhnya. Wanita paruh baya yang mengenakan jubah hitam itu terus mendekat. Merri ingin berteriak, namun suaranya tertahan di tenggorokan. Merri melempar berbagai benda untuk mengusir wanita itu. Namun sosok aneh itu terus melangkah semakin dekat. “Merri....” suara wanita itu terdengar lirih dan menakutkan. Merri menggeleng tak percaya. Bagaimana bisa wanita aneh itu tahu namanya? Dia terus menyebut nama Merri berulang ulang. Senyumnya kian lebar menunjukkan barisan giginya yang menghitam. Kali ini wanita itu membuka tudung kepalanya. Tidak ada sehelai pun rambut yang tumbuh, kepalanya botak dengan urat berwarna ungu yang terlihat jelas. Merri menelan ludah, napasnya terasa kian sesak. Kemudian bayangan wanita itu mulai terlihat buram, buram dan kemudian semuanya berubah gelap. _ “Aku tidak tahu harus bagaimana! Aku benar-benar bingung saat ini.” Merri membenamkan wajahnya diantara kedua lutut. Saat ini Merri tengah melakukan ritual wajibnya. Yaitu curhat dengan bayangannya sendiri. Merri bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk di depan cermin. Mulai dari pagi hari, siang, sore hingga malam akan selalu ada waktu bagi Merri untuk melaporkan apa saja yang terjadi. Kebiasaan anehnya itu mulai timbul semenjak dia bertemu dengan Melissa dan geng-nya. Merri memilih untuk menumpahkan semua keluh kesahnya pada pantulan bayangannya sendiri. “Ayolah, kamu harus membantuku!” Merri kembali merengek menatap cermin. “Kamu harus tetap tenang Merri, untuk saat ini jangan ceritakan hal ini pada siapapun!” Merri menjawab kegundahannya sendiri dengan nada suara yang diberat-beratkan. Seakan ada dialog yang terjadi, sebuah tanya jawab yang dilakukannya seorang diri. Jika didengar sekilas, memang terdengar seperti ada dua orang yang tengah berdiskusi. Merri menempelkan jari telunjuknya di cermin. Kemudian jemarinya berputar-putar membentuk lingkaran. Seulas senyum terkembang diwajahnya. “Andai kamu benar-benar hidup....” Merri menyentuh pantulan wajahnya sendiri. Deg. Seketika itu juga cermin mulai bergetar. Merri tercekat, bahkan getarannya juga membuat kamarnya bergoncang hebat. Lukisan-lukisan di dinding mulai berjatuhan. Merri melangkah mundur, dia ingin segera keluar. Namun pintu kamarnya mendadak terkunci dengan sendirinya. “AAA...!”  Merri berteriak ketika bohlam kamarnya pecah dan memercikkan api. Sekarang semuanya gelap gulita dan cermin itu berhenti bergetar. Merri menghela napas, dia masih tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Hingga kemudian Merri melihat kilatan cahaya keluar dari cermin itu. Sesekali cahaya itu redup dan kembali terang. Merri memberanikan diri untuk mendekat. Cahaya yang keluar dari cermin itu kian terang. Merri menudungi matanya karena silau. Kemudian kepulan asap berwarna putih mulai keluar dari bingkai cermin itu. Merri menghalau asap itu dengan tangannya. Setelah kepulan asap itu hilang, Merri tertegun heran. Merri melihat bayangannya sendiri di cermin itu. Namun ada sesuatu yang aneh. Merri mengedipkan matanya berkali-kali, namun sosok di balik cermin itu tetap diam tak berkedip. Merri mengangkat tangannya perlahan, tetapi bayangan di cermin itu tetap membisu. Merri mulai ketakutan karena kali ini bayangan itu tersenyum padanya. Kemudian sebuah tangan menjulur keluar dari cermin itu dan hampir menjangkau Merri. “Aaaah... aaaahh... aaah....” Merri terbangun dengan napas terengah-engah. Cucuran peluh membanjiri sekujur tubuhnya. Napasnya masih memburu, namun perasaannya mulai sedikit lega. Merri segera bangkit dan berdiri di depan cermin. Dia menatap cermin itu lekat-lekat dan kemudian tersenyum. “Mana mungkin itu terjadi,” bisiknya. Mimpi yang benar-benar aneh, pikir Merri. _ Pagi ini Melissa dan kawan-kawan kembali kumat. Merri menatap jari tangannya yang membengkak. Kali ini Melissa dan kawan-kawan memaksanya untuk mengerjakan tugas mereka. Mereka bahkan tidak membiarkan Merri masuk ke kelas. Mereka mengurung Merri di gedung kosong dengan setumpuk tugas yang harus diselesaikan. Merri meletakkan penanya dan menutup mata sejenak. Dia benar-benar merasa lelah. Tatapannya beralih pada kepingan cermin buram disudut ruangan. Merri tersenyum lalu mendekati cermin itu. Kemudian dia menyeka debu yang melekat dengan telapak tangannya hingga cermin itu sedikit bersih. Merri tersenyum dan menatap cermin itu lekat-lekat. Kali ini dia tidak bersuara sama sekali. Dia hanya diam menatap bayangannya sendiri tanpa berkedip. Kemudian aliran bening mulai membasahi pipinya. Suara isak tangis mulai menggema di dalam gedung kosong itu. Merri tidak mampu lagi menahan gejolak hatinya. Dia ingin semuanya berakhir, dia tidak mau lagi menjalani kehidupan seperti ini. Sebuah potongan kaca lain yang runcing menarik perhatiannya. Merri mengambil kepingan kaca itu dan menelan ludah. “Apa ini jalan terbaik?” Merri menyeka sisa-sisa air mata dan menghirup napas dalam. Merri bersiap menorehkan kepingan kaca itu di lengannya, namun tiba-tiba sebuah tangan langsung mencegatnya. Merri pun terkejut, kepingan kaca itu terlepas dan menimbulkan gema begitu beradu dengan lantai. Merri menatap keadaan sekitar dan berpikir bagaimana caranya wanita aneh itu bisa masuk ke sana. Semua pintu dan jendela masih tertutup rapat. Merri menatap wanita itu dan menggeleng tak percaya. “S-Siapa kamu sebenarnya?” Merri melepaskan cengkeraman wanita itu. “Apa mau kamu, ha? Kenapa kamu selalu menggangguku?” pekik Merri. Wanita aneh itu tidak menjawab. Dia menatap Merri tajam, mata kecil berwarna kelabu itu tampak berkilat-kilat. Wanita aneh itu kemudian kembali tersenyum dan membelai rambut Merri dengan jemarinya yang hanya tulang berbalutkan kulit yang sudah bergelambir. Tak lama setelah itu dia mengeluarkan sebuah botol kecil dari kantongnya. “Ambillah....” wanita itu berkata lirih. Merri menatap toples usang itu dengan tatapan heran. Dia enggan mengambilnya. Sementara wanita aneh itu terus menyodorkan botol itu dengan tangan bergetar. Senyuman di wajah keriput itu mulai hilang. Wanita aneh itu mulai menatap marah karena Merri tidak mau mengambil botol itu. “Aku tahu keinginanmu Merri... aku tahu itu!” wanita itu kembali bersuara. “Semua bisa terwujud ketika kamu menaburkan pasir ini di cermin....” wanita itu menggoyang-goyangkan botol itu di depan wajah Merri. “Bukankah kamu sudah melihatnya dalam mimpi?” Deg. Pertanyaan wanita itu membuat Merri terkejut. Bagaimana bisa wanita itu tahu isi mimpinya? Itu tidak mungkin, Merri berusaha meyakinkan dirinya. Wanita itu kembali tersenyum dan meraih tangan Merri. “Ambillah... DIA SUDAH LAMA MENANTI KEDATANGANMU....”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD