02

1240 Words
Merri oh Merri, datanglah! Masuklah ke duniaku. Di sini kamu akan menemukan kebahagiaan. Apa kamu masih tidak percaya padaku? Apa kamu ingin terus bersama mereka? Ayolah Merri, kamu bisa mengakhiri semuanya. Datanglah, kesedihanmu akan segera berakhir. Kamu hanya perlu bertukar tempat denganku. Aku akan terus menunggu sampai kamu mau melakukannya.... Merri terus menyisir rambutnya. Helai demi helai rambut itu rontok dan beterbangan. Kemudian dia mengikat rambut tipis yang tidak seberapa itu. Lalu dia mulai memoles wajahnya dengan sedikit bedak. Merri kembali menatap sosok di balik cermin itu, terlihat seorang gadis berbadan ceking dengan seragam SMA kedodoran yang sudah dipenuhi noda telur dan tepung. Merri memang memiliki fisik yang lemah sedari kecil. Berat badannya tidak pernah bertambah. Dia juga sering sakit-sakitan dan harus bolak-balik ke rumah sakit. Karena itulah Merri tumbuh menjadi anak pendiam yang tidak suka berbaur dengan orang lain. Karena peampilannya yang cupu dan culun, Merri kerap diolok-olok oleh teman sekelasnya, dia menjadi bahan candaan dan keisengan yang melewati batas wajar. Namun Merri selalu menutupi hal itu dari kedua orang tuanya. Merri pandai berpura-pura, dia tidak ingin sang mama sedih. Jika bercerita tentang sekolah, Merri akan mengarang cerita seolah-olah dia menjalani hari-hari yang bahagia. Bahkan Merri kerap membujuk anak-anak sekelasnya dengan uang dan mainan agar mau datang ke rumahnya. Merri ingin menunjukkan bahwa dia memiliki banyak teman. Hal itu terus dilakukan Merri hingga dia menamatkan sekolah menengah pertama. Tetapi semenjak memasuki bangku SMA, Merri menyerah. Dia tidak sanggup lagi menerima perlakuan Melissa dan kawan-kawan. Kumpulan manusia bermuka dua yang sudah membuatnya trauma. Di depan teman-teman yang lain, mereka memperlakukan Merri dengan baik. Berpura-pura peduli, perhatian dan terkesan melindungi Merri dari gangguan siswa lainnya. Sehingga tidak heran banyak siswa hingga guru-guru yang memuji mereka lantaran mau berteman dengan Merri. Mereka dipuji, mereka disanjung karena kebaikan hati mereka. Tidak ada seorang pun yang tahu, bahwa sebenarnya merekalah yang setiap harinya membuat Merri bersimbah air mata. _ Setelah meyakinkan dirinya sendiri, Merri membuka pintu kelas perlahan. Kehadirannya langsung menarik perhatian. Anak-anak langsung menutup hidung karena bau anyir yang menyengat. Beberapa bahkan langsung berteriak agar Merri segera keluar. Melissa dan koleganya saling tatap lalu menyembunyikan senyum mereka. Suasana kelas semakin riuh, beberapa anak bahkan mulai melempari Merri dengan bola-bola kertas. Saat itulah para pahlawan mulai beraksi. Melissa maju ke depan dan mulai membela Merri. Diikuti oleh Bonita dan yang lainnya, kelima sekawan itu langsung pasang badan. Mereka berpura-pura marah dan terkejut melihat kondisi Merri. Luna bahkan ikut menyeka sisa-sisa tepung yang melekat dengan wajah penuh prihatin. Bonita memukul meja hingga kelas menjadi hening. Gadis bongsor itu menatap ke sekeliling dengan tatapan sangar. “Ada apa ini?” Pak Hasan yang baru saja tiba langsung bergegas masuk. “Ada yang menjahili Merri lagi Pak,” jawab Melissa. Pandangan Pak Hasan beralih pada Merri. Semenjak pindah tugas ke SMA ini sebulan lalu, Pak Hasan menaruh perhatian cukup besar pada Merri. Bukan karena kondisi fisik atau penyakitnya. Melainkan karena dia kerap dijahili, namun masalahnya Merri tidak pernah buka suara tentang siapa yang melakukannya. Hal itu membuat Pak Hasan sedikit frustasi, berbagai upaya sudah dilakukannya. Mulai dari membujuk, menyelidiki diam-diam, hingga mengancam akan mengadukan semua yang terjadi pada orang tua Merri. Namun semuanya sia-sia, Merri tetap bergeming.    “Apa kamu baik-baik saja Merri?” “Siapa yang....” kata-kata Pak Hasan terhenti, dia sadar percuma saja menanyakan hal itu pada Merri. Sementara Merri hanya menunduk, dia tidak merespon sedikit pun. Merri hanya tersenyum tipis, lalu melangkah menuju kursinya. Pak Hasan hanya bisa menghela napas, dia tidak tahu harus bagaimana lagi. Anak-anak kembali menutup hidung begitu Merri melewati mereka. Sebagian berbisik menyarankan agar Merri segera keluar. _ Bel istirahat berdentang keras, seluruh siswa berhamburan keluar. Sebagian berlari menuju kantin, pergi ke pustaka, atau sekedar melepas penat dengan mengobrol di tribun lapangan sekolah. Namun tidak ada seorang pun dari kelas Merri yang keluar. Mereka sibuk merayakan ulang tahun Melissa. Setumpuk kado tersusun rapi di depan kelas. Melissa tidak henti tersenyum bahagia. Sementara disudut kelas, Merri menatap Melissa dengan tatapan aneh. Raut wajahnya berubah drastis, seulas senyum aneh kembali mencuat di wajahnya. “Ada apa Merri?” Melissa menyadari bahwa Merri tengah menatapnya. Merri segera mengalihkan pandangannya. Melissa melangkah riang mendekati Merri dan duduk disebelahnya. “Sudahlah... Jangan terlalu dipikirkan! Lebih baik kamu bersenang-senang bersama kami. Oh iya, apa kamu tidak ikut memberiku ucapan selamat?” Melissa lagi-lagi menunjukkan aktingnya yang memukau. “Se-selamat ulang tahun..!” Merri berucap lirih. Melissa langsung membalasnya dengan sebuah pelukan hangat. Anak-anak yang lainnya menyaksikan pemandangan itu penuh takjub. Melissa kembali berlari-lari kecil dan mengambil sebuah kado yang berukuran paling besar. Dengan senyum manis Melissa menyerahkan kado itu pada Merri. Warga kelas semakin terharu melihat aksi Melissa. “Dia benar-benar berhati malaikat!” “Manisnya..!” “Melissa benar-benar sahabat yang baik!” Berbagai pujian terlontar silih berganti. Melissa merasa di atas angin, dia tersipu malu. Sementara Merri berusaha menahan diri. Ingin rasanya dia melempar kado itu dan mengungkapkan siapa Melissa sebenarnya. Tapi Merri sadar diri, dia tahu semua sia-sia. Bertindak gegabah seperti itu hanya akan membuatnya semakin berada dalam bahaya. Sahabat yang baik? Merr mengulang kalimat itu dalam hati. Dia bukan sahabat yang baik, mereka bukan sahabat yang baik. Mereka kejam, mereka... Pertahanan Merri jebol. Bibirnya bergetar menahan tangis. Pandangannya mulai buram karena air mata yang menggenang. Merri menumpahkan semua kesedihannya, dia terisak. Namun semua anak-anak lain menafsirkan hal itu dalam pandangan yang berbeda. Mereka mengira itu adalah air mata bahagia. Mereka mengira itu adalah ungkapan terima kasih Merri pada Melissa. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tertipu tanpa tahu cerita sebenarnya. _ Suara deru mobil terdengar memasuki halaman. Merri berlari menuju beranda kamarnya untuk melihat. Dari atas balkon, dia melihat mobil sedan tua berwarna merah yang sudah tidak asing lagi. Merri tercekat, papanya pulang ke rumah. Napasnya kian memburu. Dia tahu akan terjadi sesuatu yang buruk. Merri segera mengunci pintu kamar dan duduk meringkuk sambil menutup telinga. Benar saja, tak berselang lama terdengar suara gaduh dari lantai bawah. Kegaduhan yang sudah tidak asing lagi bagi Merri. Hardikan keras, suara perabotan pecah itu, sungguh memekakkan telinga. Bulir-bulir peluh mulai menembus pori-pori kulit, Merri berharap pertengkaran kedua orang tuanya cepat berakhir. Tubuhnya mulai menggigil, wajahnya berubah pucat. Kemudian tatapannya berubah seolah ada sesuatu yang merasukinya. Seulas senyum aneh pun terkembang diwajahnya. “Hai... bagaimana kabarmu hari ini?” Merri tersenyum dengan mata sembab. “Kamu tahu, hari ini papa dan mama bertengkar lagi. Aku bosan, aku muak melihatnya. Rasanya aku ingin pergi saja dari rumah ini. Bagaimana menurutmu? Bukankah itu ide yang yang bagus?” Merri kembali berujar sambil sesekali menyeka air mata. Merri menempelkan telapak tangannya ke cermin lalu tersenyum. Ya, dia sedang berbicara dengan bayangannya sendiri. Saat ini Merri tengah duduk bersila di depan cermin berukuran besar di sudut kamarnya. Sementara suasana kamarnya terlihat mencekam. Hanya ada secercah cahaya yang menerobos masuk lewat celah ventilasi udara. Merri mengunci semua pintu dan jendela. Kamarnya seperti baru saja dilanda badai topan. Poster-poster di dinding robek, semua perabotan berserakan, pakaian, boneka, buku-buku, semuanya bertebaran dimana-mana. Kalian benar, Merri baru saja mengamuk. Merri masih tersenyum menatap cermin, kemudian dia menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri secara perlahan. Kali ini dia tertawa, namun suara tawanya terdengar menakutkan. Sedetik kemudian dia berdiri dan menguncir rambutnya. Merri terlihat seperti orang lain, raut wajahnya terlihat aneh. Kemudian dia mulai melangkah dengan tatapan kosong. Dia tidak menghiraukan pecahan beling kaca yang berserakan di lantai. Gadis itu terus berjalan tanpa peduli pada kakinya yang mulai mengucurkan darah. _ Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD