BAB : 2

1219 Words
Malam ini, adalah malam pertama baginya menginap di kediaman Diana dan Gilbert. Agak terasa aneh, sih, tidur di kamar yang bukan miliknya. Meskipun mengantuk, tapi matanya nggak bisa diajak tidur. Ia bangun dan beranjak dari tempat tidur, berniat untuk mengambil minum di dapur. Saat pintu terbuka dan melangkahkan kakinya keluar kamar, langsung, badannya menabrak sesuatu. Bukannya menyakitkan, tapi ini terasa empuk. Kepalanya seperti menghantam roti sobek. Paham, kan, apa itu? "Maaf ... maaf ..." Ia terus meminta maaf tanpa menatap siapa yang ada dihadapannya saat ini. "Gadis ceroboh," ujarnya dingin. Lova yang tadinya hanya berfokus meminta maaf, kaget. Suara itu sangat tak asing di pendengarannya. Hingga pandangannya mengarah pada sesosok laki-laki berdiri tepat dihadapannya. "Pak Mirza!?" Kedua bola matanya seakan mau jatuh ke lantai layaknya sebuah kelereng. "Ya ..." balas laki-laki bernama Mirza itu sambil bersidekap d**a dihadapan Lova. "Kenapa? Kamu kaget saya bisa ada di sini?" Bukan kaget lagi, lebih ke shock akut. Bagaimana cowok ini ada di kediaman Diana dan Gilbert? "Kenapa Bapak ada di sini? Oo ... jangan-jangan Bapak mau maling, ya, di sini?" "Aneh," ujar Mirza berlalu pergi. Tentu saja Lova tak bisa membiarkan itu terjadi. Gilbert dan Diana sudah baik padanya, dan sekarang seorang maling hendak melakukan tindakan itu di rumah mereka? Oo ... tentu saja ia tak akan membiarkan itu sampai terjadi. Langsung, ia menarik pergelangan tangan Mirza, membuat laki-laki itu menghentikan langkahnya dan berbalik menatap garang kearah Lova. "Apalagi?!" "Aku nggak akan ngebiarin maling berkeliaran di rumah ini! Dan juga, saya nggak nyangka ternyata Bapak seorang maling! Saya patah hati loh ini, Pak." Ia kesal sekalian curhat. Kalau sampai seluruh siswi di sekolahnya tahu ternyata Guru yang mereka puja-puja, bisa dipastikan kalau akan terjadi galau berjamaah yang akan dipimpin oleh Lova langsung. "Tadi saya pikir otak kamu sedang mengalami pergeseran menuduh saya seperti itu. Tapi sekarang kamu bilang itu lagi. Maksud apa mengatakan saya maling!?" "Iyalah ... kalau bukan maling, ngapain Bapak ada di sini, di rumah orang malam-malam begini. Apalagi kalau bukan M-A-L-I-N-G." Ia seolah menekankan perkataannya pada kata 'maling'. Mirza terlihat kesal. Ia mencengkeram kedua pergelangan tangan Lova kearah belakang, kemudian mendorongnya hingga keduanya masuk kamar. Sampai di dalam, ia menendang pintu dengan kakinya dan membekap mulut gadis itu dengan posisinya yang tersudut ke dinding. Jantung Lova berdetak lebih cepat. Kalau ia punya riwayat penyakit jantung, sepertinya saat ini ia akan langsung drop. Sikap Mirza padanya membuatnya takut saja. Tak hanya penampakannya yang menakutkan, sikapnya ternyata juga iya. "Kamu bilang saya maling?" Mirza tersenyum sinis. "Kamu pikir saya gila, jadi maling di rumah sendiri?" Mata Lova membola seketika saat mendengar pengakuan Mirza. Apa yang dia katakan barusan, rumah sendiri? Apa artinya Mirza adalah putranya Gilbert dan Diana. "Jangan sok kaget," komentar Mirza saat melihat reaksi Lova. Lova bereaksi agar Mirza segera melepaskan dirinya. Terutama mulutnya. "Akan saya lepaskan kalau kamu berjanji nggak akan mengatakan itu lagi." Lova langsung mengangguk diiringi oleh terlepasnya bekapan di mulutnya. Tapi tidak dengan tangannya yang ditahan oleh Mirza. "Lepasin tangan saya, Pak," harapnya berusaha, tapi tetap tak bisa. "Minta maaf dulu, kalau tidak, kamu nggak akan saya lepaskan." Mirza mengarahkan pandangannya pada jam dinding. "Sekarang sudah jam 10 malam. Bukan tak mungkin kalau kita akan tidur bareng di sini," tambahnya. Gila! Apa-apaan ancaman laki-laki ini. Gimana ceritanya dia ngajakin tidur bareng. "I-iya, saya minta maaf, Bapak Mirza yang terhormat. Tapi kan saya enggak tahu kalau kalau ini rumah Bapak. Apa saya yang salah masuk rumah kali, ya?" Ia mencoba berpikir sejenak. Mirza tak habis pikir kalau gadis yang ada dihadapannya ini begitu bodoh. "Saya anak yang punya rumah," jawab Mirza, membuat Lova terperangah kaget. "Sekarang yang harus dicurigai adalah kamu. Ngapain di rumah saya?" Giliran Mirza yang bertanya. Tapi ia tak menggunakan kata maling pada tuduhannya. Ia tak sebodoh itu. "Bapak adalah anak yang punya rumah ini?" "Iya." "Itu berarti Bapak adalah anaknya Om Gilbert sama Tante Diana dong?" Semoga saja tebakannya tak benar. "Itulah kenyataannya," jawab Mirza. Ya ampun ... mimpi apa dirinya semalam, sampai-sampai ia harus terdampar ke dalam rumah Mirza. Bukannya enggak suka, tapi ... tapi ... pokoknya banyak tapi nya lah. Satu lagi yang harus diingat, laki-laki yang ada di depannya ini adalah pujaan semua siswi di sekolahnya. Kebayang, nggak, sih, kalau mereka pada tahu kalau ia tinggal di rumah Mirza? "Ini mengejutkan," gumam Lova. "Apa?" "Saya udah minta maaf, sekarang Bapak bisa keluar," suruh Lova. "Kalau saya tidak mau, kamu mau berbuat apa?" tanya Mirza seolah menantang Lova. "Mengusir saya dari sini? Ini rumah saya, otomatis kamar ini juga kamar saya." Ia tak menyangka kalau laki-laki ini punya pikiran sangat m***m. Di sekolah, kelihatannya dingin banget seolah nggak akan cair meskipun di tendang ke matahari. Tapi lihatlah di rumah, ia seperti cowok-cowok kebanyakan. Dia menyebalkan. Cari aman sepertinya lebih baik. Daripada hal-hal yang buruk terjadi. "Aku mau ..." Lova tak menyudahi perkataannya, melainkan ia langsung berteriak sekencang-kencangnya. Intinya, semua orang di rumah ini harus terbangun mendengar teriakannya itu. "Apa-apaan kamu!?" Mirza kembali membekap mulut Lova untuk menghentikan suara yang seakan hendak memecah gendang telinganya. Bisa-bisa semua orang di rumah ini ikut terbangun karenanya. "Kamu mau membangunkan semua orang dengan suaramu itu!?" Lova malah mengangguk. Tapi, memang itulah yang sedang ia harapkan. Agar permasalahannya dan Mirza selesai, dan ia bisa tidur nyenyak. Tapi sepertinya kalau nyenyak, sih, enggak akan bisa. Penampakan cowok ini di sini saja sudah membuat pikirannya berkunang-kunang. "Astaga! Ada apa ini?" Benar, kan, semua orang terbangun karena suara teriakan itu. "Mirza! Kamu apa-apaan ini. Kenapa membekap Lova." Grace langsung menghampiri keduanya yang posisinya masih di dalam kamar. "Kamu mau bikin dia nggak bernapas, hah?" tambahnya menyingkirkan tangan putranya yang masih menutupi mulut Lova. "Akhirnya ..." Lega Lova menarik napas dalam. "Ini juga, kamu kasar sekali pada wanita." Giliran tangan Mirza yang mengunci kedua tangan Lova yang ia singkirkan. "Bapak lihat, kan, tangan saya jadi merah-merah begini," keluh Lova sambil menunjukkan kedua pergelangan tangannya yang memerah bekas cengkeraman Mirza. "Maaf, saya nggak sengaja," ucapnya. Memang ia tak menyangka kalau tangan Lova akan memerah begitu. "Ini di rumah, Za ... bukan di sekolah ataupun di kantor. Jadi, jangan menggunakan bahasa formal," komentar Grace. Haruskah Lova berbahagia dan ketawa saat Mirza malah diomeli oleh mamanya? Jawabannya adalah, Iya. Tapi sepertinya akan ia undur dulu. Memang, ya, emak-emak berkuasa. "Sudah ... sudah ..." Gilbert melerai pertikaian di malam itu. "Ini sudah malam. Malu di dengar tentangga. Dikira keluarga kita lagi perang ntar. Ayok, semuanya pada masuk kamar masing-masing dan tidur. Dan kamu, Za ... lain kali jangan masuk kamar wanita seperti ini. Nggak sopan!" "Hmm ..." Ia mengangguk tanda paham. Setelah memastikan kalau orangtuanya sudah berlalu pergi, tampang sangarnya malah kembali lagi. Membuat nyali Lova kembali menciut layaknya kaos abal-abal yang menciut ketika habis dicuci. "Bapak nggak denger barusan, Om sama Tante minta untuk pergi ke kamar masing-masing. Atau, Bapak berniat tidur sama saya?" Tawaran gila yang ia lontarkan. Semoga saja Mirza tak bilang 'iya'. Mirza mengunci Lova dengan kedua tangannya di sudut dinding. Membuat gadis itu tak bisa kemana-mana dan hanya bisa menatap ke satu arah. Yaitu, wajahnya. "Saya ini cowok. Tak semua cowok tahan godaan. Dan barusan kamu seolah menggoda saya. Yakin, kamu mau saya lakuin sesuatu untuk membuktikannya?" Mendengar perkataan Mirza yang menurut Lova lebih menjurus ke m***m, ia berharap saat itu bisa pingsan. Agar semua percekcokannya dan laki-laki ini bisa berakhir. "Maksud Bapak apaan, ya?" Jangan berpikir kalau saat ini jantungnya berada di posisi normal. Karena semenjak awal tadipun, keadaannya sudah tak baik-baik saja. Mirza semakin mendekatkan wajahnya pada Lova. Di drakor romantis yang sering ditonton, ia tahu betul bagaimana kelanjutan dari adegan ini. OMG banget kalau sampai itu sampai terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD