3. Evan-Alyssa

1282 Words
Evan mengikuti arah pandangan Lyssa. Mengangkat alis, pemuda tersebut melepaskan pelukan dan tangannya dari d**a Karin. Wajah Karin semakin berkerut. Ini pertama kali Lyssa melihat ekspresi Karin yang seperti ini. Setahunya, Karin adalah gadis cantik pendiam, pacar Evan yang terbaru. Evan melangkah menuju Lyssa. Kaki Lyssa insting melangkah mundur dalam setiap langkah Evan yang semakin mendekat. Gugup dan dipenuhi rasa takut, Lyssa tersandung oleh kakinya sendiri. Tubuhnya terjungkal ke belakang. Sebelum pantatnya menyentuh lantai, ia merasakan tangan Evan yang kokoh memeluk pinggangnya, menahannya hingga tak jadi jatuh. Dengan satu tarikan dari Evan, Lyssa kembali meraih keseimbangan. Tangan Evan yang semula memeluk pinggang Lyssa meraih batang rokok yang sedari tadi terlupakan, terselip di antara jemari lentik Lyssa. Seringai tampan menghiasi wajah Evan, “Oh? Siswi teladan dari kelas XI IPA-A hobi melakukan pelanggaran ternyata.” Karin yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping Evan memandang benci pada Lyssa. “Sepertinya sebentar lagi bel masuk akan segera berbunyi. Kamu kembalilah ke kelas dulu. Aku akan menyusul,” kata Evan pada Karin. Dengan dengusan, gadis bersurai hitam legam itu melangkah pergi. Di perjalanannya, gadis itu menyenggol bahu Lyssa keras. Lyssa sampai terhuyung beberapa langkah ke belakang. “Berikan padaku semuanya,” ujar Evan mengalihkan perhatian Lyssa dari Karin. “Semua apanya?” balas Lyssa kekeh. Tangan kanannya refleks menyentuh rok di bagian paha atas, memegang erat gundukan segi empat di balik rok motif garis-garis berwarna hijaunya. Tangan Evan masih dengan sabar mengatung. Senyumnya pun masih sama, tersungging manis di wajah tampannya. “Berikan padaku dan aku tidak akan membawa kasus ini ke komite kedisiplinan,” bujuknya. Lyssa menggeleng. “Sangat sulit mendapatnya. Aku tidak mau..” ujar Lyssa dengan pandangan memohon. Karena usianya yang masih di bawah umur, ia tidak bisa leluasa membeli rokok di sembarang toko dan penjual. “Sangat sulit bagimu untuk mendapatkannya, itu karena kamu tidak seharusnya mendapatkan barang ini.” Pemuda itu membawa batang rokok yang ia sita ke hidung, membauinya. Bau nikotin bercampur mint menyeruak ke dalam indera penciuman Evan. Ia melirik Lyssa. “Apa kamu tahu? Pengisap rokok jenis mentol sangat berpotensi mengalami pembusukan paru-paru.” Lyssa diam, tak menjawab. Yang ia sukai adalah jenis rokok ini. Ia sangat menyukai sensasi dingin yang terasa hingga ke pangkal lidah dan tenggorokan. Menyegarkan dan membantunya untuk relaks. “Selain melanggar aturan negara, kamu juga melanggar aturan sekolah. Berikan padaku sisanya dan aku akan menganggap kejadian ini tak pernah terjadi. Ini juga untuk kebaikanmu,” ujar Evan lagi. Alis Lyssa berkerut, gadis itu memandang kesal pada Evan. “Untuk kebaikanku? Jika rokok milikku kamu sita, aku harus membelinya lagi dengan harga tiga kali lebih tinggi dari harga toko!” balasnya sengit. Senyum Evan kian melebar, membentuk seringaian. “Oh? Terima kasih informasinya. Aku jadi termotivasi untuk mencari tikus mafia penjual rokok di sekolah. Sekarang berikan padaku. Bel masuk sudah berbunyi dari tadi. Kita tidak bisa berlama-lama di sini.” Dengan wajah kesal, Lyssa merogoh saku roknya. Lambat-lambat memberikan kotak rokok mild berwarna putih dengan huruf A besar di bagian tengah. Evan menimang-nimang kotak itu sebelum memasukkannya ke dalam saku celana. “Ayo kembali ke kelas. Aku akan mengantarmu, memastikan agar kamu tidak bolos.” Senyumnya yang lebar terlihat sangat menyebalkan di mata Lyssa. Wajah Lyssa sangat masaam sekali. Bibirnya manyun tak senang pada Evan. Evan, “Nggak usah ngambek gitu dong. Rokokmu baru berkurang dua. Paling tidak, kamu gak jadi ngisep racun-racun nikotin ke dalam tubuhmu.” “Lagipula, kenapa dengan penampilanmu? Apa kamu baru saja berkelahi?” Lyssa acuh, tidak menjawab. Melihat Lyssa yang tidak merespons, Evan sedikit menggandeng Lyssa yang masih berwajah cemberut berjalan menuruni tangga menuju lantai dua. Dalam diam, mereka berjalan berdampingan. Suasana lantai tiga sudah sepi. Anak-anak kelas satu sudah di dalam kelas semuanya. “Bagaimana denganmu? Kamu menyentuh dan meremas d**a siswi di atap sekolah, apa itu tidak termasuk melanggar aturan?” tanya Lyssa dongkol. Evan terbatuk. Ia menoleh pada gadis di sampingnya. “Jika kamu perhatikan baik-baik, gadis itu juga menyentuh dadaku. Aku hanya melakukan hal yang sama padanya.” “Gadis itu?? Begitukah caramu memanggil kekasihmu?” “Kekasihku? Karin bukan kekasihku. Kami hanya berteman.” “Kamu bilang hanya berteman? Kamu bilang hanya berteman dan kamu sudah menyentuhnya? Tidakkah kamu pernah berpikir kenapa Karin tidak masalah jika kamu sentuh? Itu karena Karin menyukaimu!” Evan terbengong di tempat. Di ujung koridor lantai dua, dua insan itu saling berpandangan. Satu dengan pandangan tak percaya, satu lagi dengan pandangan murka. “Dasar cowok b******k tidak punya hati!” Menghentakkan kaki, Lyssa berlalu meninggalkan Evan menuju kelasnya. *** Pertemuan singkatnya dengan Evan segera saja lenyap ketika masuk kelas. Guru Fisika tiba-tiba mengadakan ulangan untuk kelas mereka, ada tiga puluh soal pilihan ganda dan lima esai. Dan karena Lyssa tadi datang terlambat, ia harus bergegas menyelesaikan soal-soal ulangannya. Dan mungkin karena sekarang sudah mendekati akhir periode semester empat, mata pelajaran selanjutnya, Sejarah Dunia, ada ulangan juga. Anak-anak di kelas unggulan XI IPA-A mengeluh ramai-ramai. Otak Lyssa serasa mengeluarkan asap saat ia peletir mengerjakan esai impromptu tentang Kerajaan-kerajaan Hebat di Dunia. Pas ketika bel kelas terakhir berbunyi, Lyssa menambahkan titik terkahir di esai lima lembar folionya. Gadis cantik itu memang pandai dalam menganalisa teori dan mengembangkan esai. “Woah, banyak banget Lyss,” komentar Sellin, siswi yang duduk di meja depan Lyssa. “Hehehe, iya. Punyamu berapa halaman, Sel?” tanya Lyssa balik, sambil menyerahkan lembaran esainya untuk dioper maju. “Punyaku tiga sih..” “Oh, ya. Nanti malam gak mau ikut main ke rumah Ani ta? Kita mau makan-makan,” tawar Sellin ramah. “Hehehe, tidak. Terima kasih.” Suara guru di depan menutup kelas membuyarkan obrolan dua sekawan tersebut. Sambil berbincang-bincang kecil, mereka membereskan meja dan buku-buku. Rumah Sellin dan Lyssa bertetanggaan. Hanya saja, saat SMP mereka sekolah di tempat yang berbeda, dan ini adalah pertama kalinya mereka satu kelas, jadinya hubungan di antara mereka tidak terlalu dekat. “Lyss, dicariin Ageng,” teriak Sian, anak IPA-A yang duduk di meja depan. “Ageng?” tanya Lyssa balik. “Evan maksudku..” seru Sian. “Eh? Di mana?” Sian berdiri memakai ransel. “Tuh.” Kepala Sian mengode pada pintu. Lyssa jadi teringat pada pertemuan sebelumnya dengan Evan. Mungkin Evan ingin membicarakan tentang rokoknya tadi. “Kenapa Evan mencarimu?” tanya Sellin. kepo “Entahlah..” Gadis itu ogah-ogahan berjalan menuju pintu keluar. Di luar kelas, Evan berdiri bersandar di tembok sebelah pintu sambil mengobrol dengan para siswa. Wajahnya ramah dengan senyum lebar, membuat kerasan siapa saja. “Gue cabut duluan. Yang gue tunggu udah datang,” pamit Evan pada anak-anak cowok di depannya. Pemuda itu memang populer, bahkan di antara anak-anak cowok sekalipun. “Ayo. Kita ngobrol sambil jalan. Aku akan mengantarmu ke parkiran sepeda,” kata Evan pada Lyssa. “Dari mana kamu tahu kalau aku naik sepeda?” tanya Lyssa dengan wajah menyipit. Wajahnya cemberut tidak senang. Evan menjulurkan tangan kanannya ke depan, mempersilakan Lyssa untuk mulai berjalan. Di tengah koridor yang sedang lalu lalang jam pulang, sepasang insan yang baru berbicara untuk pertama kali itu berjalan berdampingan. Sedikit mengundang perhatian. Karena ya, Evan memang selalu mengundang perhatian. Sepanjang perjalanan, pemuda itu menyapa hampir semua siswa yang ia temui. Penasaran, Lyssa bertanya, “Bagaimana kamu bisa tahu nama semua anak di sekolah?” Evan melirik gadis di sampingnya. “Tanpa harus tahu nama mereka, kita bisa menyapa semua orang, kau tahu? Kita hanya perlu tersenyum dan mengucapkan ‘hai’.” “Lagipula di seragam kita ada badge namanya,” imbuh Evan. Lyssa hanya mengangguk tak menjawab. Di belokan koridor, Evan membimbing mereka untuk terus berjalan menuju bordes di tangga ujung gedung yang jarang digunakan. Lyssa mendongakkan wajah, melihat wajah tampan pemuda di sampingnya. “Kenapa? Takut?” tanya Evan menantang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD