7. Eksekusi

1535 Words
Aku tidak pernah bercerita apa yang aku alami beberapa hari ini, saat waktu itu hilang pun papa dan mama juga tidak bertanya lebih lanjut begitu juga dengan para warga desa di tempat ini. Sedikit aneh kalau dipikir-pikir tapi mana mau aku berpikir lebih jauh membuat kepala pusing saja, lebih baik mencoba belajar saja agar setidaknya aku bisa memasuki sekolah yang aku mau karena ada seleksi ujian nantinya. Mulai kembali kubuka buku yang akan aku pelajari mencoba serius kembali, dan kali ini aku bisa belajar lebih lama dari yang kemarin. Mungkin salah satu faktornya juga karena baterai ponsel yang sudah habis, untuk mengisi dayanya setidaknya harus pergi ke kantor kepala desa di desa ini dan tentu saja tidak akan aku lakukan malu rasanya. Setelah otak cukup lelah, dan seperti ada asap tidak kasat mata yang ada di atas kepala aku berniat pergi ke warung satu-satunya yang ada di sini. Jadi teringat tingkah kocak ibu pemilik warung yang memakai masker tapi dengan arang bekas masaknya, aku jadi terkekeh sendirian. Setidaknya kalau pergi siang tidak akan ada penampakkan yang membuat bulu kuduk berdiri. Saat keluar kamar tidak ada nenek di ruang tengah entahlah nenek pergi ke mana akhir-akhir ini padahal biasanya dia akan tertidur di ruang tengah saat siang hari begini. Mama dan papa terlihat duduk santai dengan tikar di lantai di perbatasan anatara dapur dan ruang tengah. "Pa, Ma, Genta izin mau beli camilan di warung ya," pamitku tanpa menunggu jawaban dari mereka. Dengan langkah riang dan bersiul-siul bahagia aku pergi ke warung, ternyata jika siang kehijauan desa ini baru terlihat. Ada beberapa orang yang aku lihat pergi dengan membawa peralatan berupa celurit dan juga bakul yang terbuat dari anyaman bambu yang diberikan tali untuk diletakkan di bahu seperti tas gendong. Mereka saling menyapa dan tersenyum satu sama lain. "Eneng anak siapa kok saya baru lihat? Eneng baru ke desa ini ya?" tanya seorang bapak-bapak paruh baya yang melintas di depanku. "Eh, iya Pak. Saya ini cucunya Nek Wasina, Pak," jawabku sopan. Sekilas kulihat bapak iti terlihat kaget tapi kemudian dia tersenyum kembali. "oh, begitu. Yasudah kalau begitu permisi ya, Neng." Bapak itu kemudian berlau pergi tanpa menunggu lagi menyusul teman-temannya yang lain yang sudah ada di depan sana. Aku terus melanjutkan langkahku dan akhirnya sampai di warung itu. Baru kutahu bahwa di samping warung yang menjual jajan dan sembako itu juga buka warung nasi, ada beberapa bapak-bapak yang sedang makan siang atau mengopi sambil berbincang riang. "Eh, si Eneng yang tempo hari ke sini itu kan?" tanya ibu penjaga warung itu. Aku jadi teringat lagi wajah hitamnya itu hampir saja kelepasan tertawa. "Iya, Bu," jawabku. "ternyata Ibu masih inget ya," tambahku lagi sambil tersenyum. "Oh, ya jelas. Soalnya wajahnya itu lho kayak gak pernah liat, saya mah hapal wajah seluruh warga di sini. Eneng mau beli apa?" "Iya, Bu. Saya memang nginep di rumah Nenek selama liburan. Saya mau beli jajanan, Bu." Setelah itu aku tunjuk jajan yang aku mau dan ibu itu dengan cekatan menggunting jajanan yang aku tunjuk. "jadi berapa, Bu semuanya?" tanyaku sudah siap dengan tangan yang merogo saku celana yang berisi uang. "Totalnya lima belas ribu Neng," jawab si ibu. "nama Nenek Eneng memangnya siapa?" tanya ibu itu lagi terlihat dari wajahnya kalau dia sangat ingin tau, aku menyodorkan uang lima ribuan tiga lembar dan menerima plastik berisi jajanan itu. "Nek Wasina, Bu nama Nenek saya," jawabku. Seperti bapak yang tadi wajahnya seperti terkejut sebentar tapi kemudian ibu itu kembali tersenyum ramah. "Owalah maaf kalau liat saya agak terkejut ini lho ya soalnya saya baru tau cucu Nyai soalnya dia gak pernah cerita," tutur ibu itu seperti tau saat aku melihat wajah terkejutnya dan merasa agak aneh. "Kirain ada apa Bu, soalnya tadi juga ada Bapak-bapak gitu nanyai saya pas saya sebut nama Nenek kok dia kaget habis itu langsung permisi ya saya merasa aneh, Bu. Bertanya-tanya apakah ada yang salah sama nama Nenek saya," jelasku pada ibu itu tanpa ada yang ditutup-tutupi. "Gak usah dipikirkan itu mah Neng seperti yang udah saya jawab tadi si Nyai gak pernah cerita soal cucunya maka dari itu pada kaget Neng." Tidak lama percakapan kami harus terputus si ibu warung harus melayani pelanggan yang baru saja tiba. "Kalau gitu saya permisi ya, Bu," tuturku sopan. "Iya Neng hati-hati," jawab si ibu tanpa mengalihkan perhatiannya pada pesanan si pelanggan yang dia layani itu, akhirnya aku pergi meninggalkan warung itu menuju ke rumah nenek. Dengan hati lebih bahagia karena sudah mendapatkan camilan yang aku inginkan langkahku menjadi terasa lebih ringan. Sampai juga akhirnya aku ke dalam rumah. "Lho, Mama sama Papa kok udah rapi mau pergi ya?" tanyaku heran. "Iya, Dek kita mau pergi cari rumah lagi kayaknya bakal sampai malem lagi sih. Adek gak usah nunggui kita pulang ya," jawab papa membuat aku cemberut, sejak datang ke sini kami bukannya menikmati waktu liburan atau jalan-jalan di desa yang sekali-kali aku kunjungi ini malah sibuk mencari rumah. Tapi aku maklum karena memang itu yang kami butuhkan saat ini, tapi setidaknya bisa kan mereka berlibur sehari memikirkan hal itu dan mencoba untuk menikmati yang bisa dinikmati di sini. "Genta jangan cemberut gitu, Mama udah buatin nasi goreng kesukaan Genta nanti tinggal Genta panasi aja ya," tambah mama membuat aku sedikit lebih senang. "Oh, iya nanti malam kamu jangan kemana-mana ya. Inget itu," kata papa tegas. "Gaklah, Pa. Genta gak akan kemana soalnya serem kalau malam di sini," jawabku sambil memperlihatkan wajah merinding. "Yaudah kalau gitu Mama dan Papa pergi dulu ya," pamit mama. "Yaudah, hati-hati ya Mama sama Papa." Aku mencium tangan mereka secara bergantian sebelum akhirnya mereka pergi. Aku lihat ruang tengah juga masih kosong yang artinya nenek belum kembali, akhirnya aku masuk ke kamar dan meneruskan sesi belajarku. Pertama tuang jajan sembarangan kemudian susun, buka satu makan. Coba baca buku bentar, kunyahan jajan habis di mulut ambil kembali kemudian kunyah lagi sambil baca kembali dan seterusnya sampai jajannya habis. Aku terlonjak kaget dengan air liur yang keluar dari mulut, ternyata aku tertidur dan hal yang membuat aku kaget adalah seperti suara pintu yang ditendang. Bersiap untuk keluar kamar dan benar saja ternyata ada nenek di sana. "Nek, Nenek yang nendang pintu tadi?" tanyaku pada nenek yang wajahnya terlihat marah. Dia menatapku dengan tajam tidak menjawab pertanyaanku dan langsung pergi ke dapur. Melihat nenek aku baru ingat kalau pemilik warung memanggil nenek dengan sebutan 'Nyai' memang begini aku percakapannya telah usai lama baru terpikirkan kalau ada yang mengganjal, sama seperti saat temanku mengirimkan aku pesan pasti aku jawab beberapa jam kemudian kalau sudah menemukan jawaban yang pas dan menemukan jawaban itu saat melakukan hal yang tidak ada kaitannya dengan menemukan jawaban pesan tersebut. Sudahlah terlalu berbelit-belit, akhirnya aku kembali ke kamarku tidak menyusul nenek yang ada di dapur. Bosan dengan buku yang ada akhirnya kubereskan semuanya dan tidur siang sampai sore dan semburat jingga menjelang. Ketika sore menjelang angin sepoi-sepoi menyusup ke jendela kamar yang terbuat dari kayu itu, bersamaan dengan gerkan si jendela dan suara decitan yang samar diiringi panas yang masih tersisa siang tadi. Aku pergi ke dapur karena perut sudah keroncongan minta diisi mengingat pesan mama tadi bahwa dia membuatkan nasi goreng membuat aku kembali bersemangat. Tapi setelah aku buka tudung saji hanya tersisa wadah kosong dan beberapa butir nasi goreng yang masih tersisa, sungguh hal ini membuat aku kesal. Tidak lama aku melihat nenek melintas "Nek, Nenek makan nasi goreng punya Genta!?" tanyaku pada nenek dengan nada naik beberapa oktaf karena kesal. "Tidak!" jawab nenek dengan bentakan, suaranya lain sekali dengan yang biasa aku dengar seperti ada suara laki-laki juga membuat aku kaget apalagi ditelingaku suara itu terdengar sangat mengerikan. "Ma ... maaf, Nek." "Sudah sana!" bentak Nenek lagi. Aku langsung masuk ke kamar, air mataku langsung lolos begitu saja. Aku terisak, sangat takut mendengar suara itu. Dengan begitu aku tidak berani keluar kamar sampai malam tiba. *** Mataku terbuka perlahan, ternyata aku tertidur lagi. Kali ini kutatap langit-langit kamar yang terpasang genting dari besi, malas rasanya badanku untuk bergerak apalagi kalau ingat kejadian beberapa saat lalu. Akhirnya aku memejamkan mataku lagi, entah kenapa rasanya ada sesuatu yang memegang kakiku. Aku terbangun melihat, ternyata orang kerdil itu kembali kali ini dia mengikat kakiku dengan seutas tali. Aku meronta mencoba menendangnya tapi dia mengelak, kemudian tanpa rasa berdosa dia menyeretku. Teriakanku tidak mau keluar seperti tercekat, padahal aku ingin minta tolong pada nenek karena hanya dia yang bisa melawan si kerdil ini. "Maaf, maafkan aku. Terpaksa aku melakukan ini," katanya sambil terus menyeretku dan menatap lurus ke arah depan. "Tolong, tolong selamatkan anakku," tambahnya lagi. Kali ini kami sudah berada di luar kamar dia menyeretku menuju ke dapur, entah kenapa rasanya walau diseret tapi seluruh tubuhku tidak ngilu sama sekali. Aku terus saja meronta tapi malah hal itu yang membuat tubuhku sakit, akhirnya pasrah yang kulakukan menunggu waktu yang tepat untuk kabur. Sepanjang perjalanan menyeretku dia terus meminta tolong perihal anaknya, aku tidak mengerti sama sekali apa yang terjadi pada anaknya dan apa hubungannya denganku. Masih terus kupikirkan selama perjalanan di menyeretku sampai berhenti di sebuah tempat yang tidak asing lagi, ada penari di sana diikuti musik gamelan juga. Mereka seakan tidak melihat kami berdua yang melintas dan terus asyik dengan kegiatan melihat penari yang tariannya sungguh indah dengan musik gamelan yang mengalun merdu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD