6. Sedikit lebih lama

1327 Words
Setelah itu canggung melanda, aku masih berpikir kira-kira pertanyaan apa lagi yang akan aku ajukan dan terlintas di benakku juga. "Nek," panggilku lagi masih takut-takut. Nenek tidak menyahuti dia sedang asyik makan kelopak bunga yang hanya tersisa sedikit lagi, dan kopi hitam yang sudah hampir tandas. "Kemarin saat Genta pulang dari warung Genta kesandung sesuatu, pas Genta lihat itu kayak sebuah tangan manusia Nek. Kira-kira itu apa ya Nek?" Nenek memejamkan matanya perlahan, kemudian membuka matanya lagi. Matanya perlahan menatapku dengan tatapan yang sulit aku deskripsikan. "Kamu tidak perlu tau sekarang apa itu, lebih baik kamu pikirkan saja sekolahmu. Memang kamu sudah belajar untuk tes masuk sekolahmu, hah?" Karena perkataan nenek itu aku baru sadar bahwa selama beberapa hari aku di sini aku belum ada belajar sama sekali, padahal SMA yang aku ingin masuki termasuk SMA Negeri terkenal dengan seleksi masuk yang ketat. Aku tidak bertanya lebih jauh, kata orang lebih baik mengetahui sedikit tapi aman daripada mengetahui segalanya tapi diburu. Mungkin itu benar dan lebih baik aku tidak tau lebih jauh, akhirnya aku putuskan saja untuk belajar. Karena masalah yang beberapa hari ini muncul membuat aku jadi lupa akan tujuanku, padahal jika di desa kan akan lebih tenang jadi aku yakin belajarnya juga jauh lebih enak. "Nek, Genta kalau gitu ke kamar ya mau belajar. Makasih ya Nek udah mau jawab semua pertanyaan Genta." Aku menunggu sebentar setelah mengatakan itu, tapi tidak ada respon sama sekali jadi aku langsung pergi ke kamar dan mencari buku yang aku siapkan sebelum pergi untuk mulai belajar. Sambil belajar agar tidak terlalu sepi aku hidupkan musik di ponselku, baterainya harua dihemat karena di rumah nenek tidak ada listrik. Tentu saja tidak ada karena nenek tinggal di bukit kecil ini sendirian yang jauh dari kantor kepala desa yang bisa dibilang menjadi pusat desa ini san pusat fasilitas seperti listrik juga tentunya. Baru juga lima menit aku belajar sudah bosan rasanya seperti berjam-jam, ingin sekali aku membuka sosial media tapi di sini susah sinyal bahkan hampir tidak ada. Akhirnya aku bermain permainan di ponselku. "Zzt, zzt, drrt, zzt." Aku membuka kelopak mata perlahan dari mana suara yang seperti radio rusak itu datang. Aku mulai mencarinya, ternyata itu berasal dari ponselku. Musik masih mengalun tapi disela-sela musik entah kenapa ada suara seperti suara radio rusak begitu, kucek ponsel itu. Tidak ada yang salah, aku matikan saja musiknya dan mematikan kembali ponsel itu. Saat keluar kamar tidak ada terlihat papa dan mama yang berarti mereka belum pulang, padahal ini sudah malam. Nenek terlihat sedang ada di kuburan kakek, aku menoleh ke samping karena merasa seseorang meniup kupingku. Tidak ada siapa pun, apa itu hanya perasaanku saja. Mungkin kebanyakan belajar membuat halusinasi, benar juga aku kan cuma belajar lima menit. Setelah itu angin berhembus lebih dingin dari biasanya, aku tutup saja semua jendela dan pintu setelah itu aku ke dalam kamar dan menyelimuti diriku tapi entahlah kenapa rasanya masih saja dingin. Aku sampai tidak bisa merasakan kaki dan tanganku yang seolah membeku, tidak lama itu bersin berulang kali dan saat lihat ke arah kaca ternyata hidungku memerah seperti tomat. Jadi aku mencari-cari di tas mama obat yang biasa aku minum saat ada tanda-tanda demam seperti ini, mungkin belum terbiasa tinggal di desa dengan angin malamnya membuatku seperti ini. Langsung aku menuju ke dapur setelah mendapatkan obat yang aku cari, lagi-lagi seperti ada yang meniup telingaku kali ini tidak hanya satu teling tapi keduanya. Saat dilihat pun tidak ada siapa pun, mungkin angin sedang mengerjai aku. Setelahnya aku kembali ke kamar dan tidur dan mulai tidur. "Tolong, tolong," lirih sebuah suara yang aku dengar cukup jelas, entahlah itu kenyataan atau hanya mimpi saja karena aku seperti diantara sadar dan tidak bisa dikatan mungkin setengah sadar. Sudah mulai ngantuk karena efek obat, tapi aku juga belum sepenuhnya tertidur akhirnya suara itu aku acuhkan dan mencoba memejamkan mata perlahan. Aku terlonjak bangun saat kurasakan ada sebuah sengatan aliran listrik yang panas seperti menjalar ke seluruh tubuh, aku melihat sekitar dan masih berada di kamar. Terlihat mama dan papa tertidur di sampingku, aku berdiri dan kemudian bangub menuju ke ruang tengah. Melihat jam kecil yang tertempel di sana ternyata sudah tengah malam dan barulah mulai lapar, akhirnya ke dapur untuk mencari makanan beruntung ada makanan kesukaanku di sana apalagi kalau bukan nasi goreng. Sepertinya nasi goreng ini dibeli papa dan mama saat mereka kembali, aku mulai lahap memakannya walau sudah dingin tapi tetap saja masih enak. Akhirnya setelah makan aku letakkan piring di tumpukan piring lainnya, tidak bisa tidur jika sudah begini. Tiba-tiba pintu dapur menuju ke arah belakang terbuka dengan sendirinya menimbulkan suara yang cukup keras membuat aku kaget, aku menuju ke arah pintu itu dan hendak menutupnya tapi sebelum itu kupandangi sekeliling sangat gelap. Belum lagi ternyata angin berembus begitu kencangnya disertai rintikan hujan dan bertambah kencang. "Tolong, tolong." Lagi-lagi lirihan suara itu kembali terdengar membuat bulu kudukku meremang seketika, lalu entahlah mungkin aku salah lihat ada sebuah bayangan yang menembus pintu dan pintu yang sudah ditutup barusan terbuka kembali. Terlihat di sana ada seorang yang tubuhnya kerdil, aku masih ingat betul wajah itu. Wajah ibu-ibu dari anak kerdil yang menculikku tempo hari. "Ma ... mau apa kamu?" tanyaku takut sambil mundur beberapa langkah menuju ke arah meja dan mengambil pisau di sana. "Tolong, tolong. Aku mohon tolong anakku," lirihnya dengan wajah dan baju yang sudah basah oleh hujan. Dia berjalan mendekat "mundur!" seruku sambil menodongkan pisau ke arahnya, dia berhenti berjalan. Tanganku sudah gemetar memegang pisau itu, tubuhku juga seakan membeku. Aku melihatnya dan tidak akan membiarkan dia mendekat walau aku takut. Akhirnya dia pergi menghilang begitu saja bagai di telan bumi, saat aku meletakkan pisau itu dan hendak menuju ke kamar ternyata nenek ada di sana duduk di ruang tengah. "Nenek gak bisa tidur juga?" tanyaku pada nenek yang sepertinya sedang asyik menyulam kain putih berbentuk persegi di depannya, dia tidak menjawab dan terus melanjutkan kegiatannya jadi aku putukan untuk kembali tidur walau kejadian tadi masih terbayang di pikiranku. Sungguh mengerikan, dan membuatku jadi berpikir kenapa dia minta tolong, minta tolong untuk anaknya membuat aku penasaran ada apa dengan anaknya. Kugelengkan kepala dan memukul kedua pipiku "Jangan dekati masalah," gumamku pada diri sendiri dan mencoba untuk tidur dengan memejamkan mata. *** Mataku terbuka perlahan kala cahaya matahari yang menyilaukan juga panas masuk tanpa permisi dari jendela kayu yang ada di atasku itu. Masih tetap di tempat tidur, sangat malas untuk bergerak kemudian mencoba merenggangkan otot-otot sambil menguap. Sebelum akhirnya melihat sekeliling sekali lagi, sepertinya aku tidak lagi asing atau kaget saat bangun di rumah nenek saat ini. Perlahan aku mulai bangkit, membuka pintu kayu dan kemudian disambut oleh aroma masakan nasi goreng khas buatan mama membuat mata melek dan air liur yang hampir menetes. "Pagi, Ma, Pa, kok Nenek gak ada di ruang tengah tumben?" tanyaku agak aneh. "Nenek lagi metik sayuran tuh, udah sana cuci muka terus mandi bantui Nenek. Mama gak omeli kamu karena masih libu tapi jangan keenakan dong, anak gadis kok bangunnya siang banget," omel Mama akhirnya aku berlalu tanpa menggubrisnya. Selesai mandi aku langsung berganti pakaian dan menuju ke kebun belakang, tanpa berkata apapun langsung membantu nenek. Dia mengutip apa aku hanya mengikuti dan meletakkan di keranjang yang terbuat dari anyaman bambu. Saat sedang asyik memetik cabe hijau dan karena bosan netraku liar menatap segala arah, tanpa sengaja aku melihat sosok itu. Sosok orang kerdil, nenek langsung melihat ke arah yang aku lihat dan dia menghilang begitu saja. "Mama, sama Papa kemarin lama banget pulangnya sampai Genta ketiduran," celetukku saat kami selesai makan dan seperti biasa nenek di ruang tengah masih sibuk dengan sulamannya. "Sepertinya kita masih akan sedikit lama di sini karena belum ada rumah yang cocok untuk kita," jelas papa. Aku mengangguk mengerti walau agak tidak betah karena gangguan yang aku alami beberapa hari ini. Karena kejadian itu aku tidak berani melihat ke arah pintu atau jendela kamar saat malam hari, lebih baik aku pipis di dalam botol saja mulai saat ini daripada harus ketakutan terus-menerus kemudian sakit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD