2. Kelakuan Aneh

1245 Words
"Jadi kamu dipecat kan? Terus mau cari rumah makannya ngungsi dulu ke sini?" tanya nenek setelah menyeruput kopi hitam di hadapannya itu. Aku sudah tidak kaget lagi jika nenek mengetahui hal itu, nenek seperti cenayang yang tau masalah kami saja. Aku hanya diam sambil melihat wajah papa yang murung saat ditanyai. Papa mengangguk pelan menjawab pertanyaan dari nenek tadi. Nenek meminum kopi hitamnya lagi sambil memejamkan mata, seperti sangat menikmati kopi itu. Nenek kemudian menatap ke arah mama dengan tatapan yang tidak bisa aku definisikan. "Genta, mama mau minta tolong belikan obat nyamuk di warung ya." Mama memberikan aku uang lima ribu. Sebenarnya aku malas ke warung yang letaknya cukup jauh dari rumah nenek, tapi lebih malas lagi mendengarkan percakapan orang dewasa yang aku tidak mengerti. Aku mengangguk dan menerima uang itu kemudian pergi dari sana. Desa ini sudah sepi mulai dari jam lima sore, tidak ada satu pun orang membuat aku sedikit takut. Aku merapatkan jaket yang aku pakai, udara malam di sini lebih dingin daripada menggunakan pendingin ruangan. Sambil bersenandung dan hanya melihat ke bawah tidak berani melihat ke arah sekitar akhirnya aku sampai di warung. "Bu, beli obat nyamuk," ujarku kepada ibu warung yang membelakangiku. Ibu itu hanya mengangguk tanpa menyahut. "Apa aku beli jajan juga ya untuk camilan malam?" Aku melihat deretan jajanan ringan yang ada di sana dan memutuskan untuk membelinya dengan uang saku yang selalu sisa saat aku sekolah sampai sekarang. "Sama, ini, Bu berapa semuanya, Bu?" tanyaku sambil merogo saku jaket dan menyiapkan uang untuk membayar. Perlahan tubuh gempal ibu warung bebalik dan aku terlonjak kaget sampai terjatuh. "Aduh, kok bisa jatuh, Neng?" tanya ibu itu kaget dan membantuku berdiri. "Gimana gak kaget, Bu saya pikir Ibu hantu. Lagian malam-malam kok pakai masker hitam begitu, Bu," gerutuku. "Maaf kalau buat kaget. Habis kan Ibu juga mau cantik Neng kayak artis-artis gitu," jawab si ibu sambil terkekeh pelan. Aku ikut terkekeh juga. "Memang Ibu pakai masker apa kok hitam gitu?" tanyaku penasaran. "Pakai arang habis masak Neng," jawabnya polos. Aku tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut. Pulang dari warung aku tidak merasa takut lagi, sambil memakan jajanan yang aku beli sepanjang jalan aku juga tertawa mengingat kejadian di warung. Sudah hampir dekat ke rumah nenek langkahku terhenti aku lihat dari kejauhan papa seperti sedang duduk di tanah dan memegangi wajahnya, tidak lama mama menyusul papa keluar sambil membantunya berdiri. Aku langsung berlari ingin cepat-cepat sampai dan ingin tau apa yang terjadi. Karena tidak melihat jalan kakiku tersandung sesuatu yang keras sepertinya batu, aku melihat ke arah benda apa yang membuatku jatuh itu. Aku melotot melihat tangan yang menyembul dari dalam tanah lengkap dengan lima jarinya. Aku langsung berdiri dan tidak mempedulikan kaki yang masih terasa nyeri. "Papa kenapa?" tanyaku saat sudah berada di depan pintu rumah, aku membantu papa berdiri begitu juga dengan mama. Diperhatikan dari dekat wajah papa penuh lebam seperti habis dipukuli, sudut bibirnya juga terkoyak. Dari pintu rumah yang terbuka aku bisa melihat nenek mengepalkan tangannya dan bergaya seperti habis memukul seseorang dengan tinjunya itu. "Papa dipukul Nenek?" tanyaku keceplosan, aku menutup mulutku. Tapi kalau dipikir-pikir tidak mungkin juga nenek yang rentan memukul papa yang masih segar bugar. Nenek dengan wajah datarnya melihat ke arahku sekilas, manik mata kami bertemu beberapa detik dan detik itu juga aku merasa merinding. Nenek kemudian duduk dan kembali menikmati kopi hitamnya dengan nikmat. Tidak ada penjelasan apapun yang keluar dari mulut papa dan mama walau aku sudah bertanya berulang kali. *** Malamnya aku sama sekali tidak bisa tidur, kalau soal nyamuk saja aku masih bisa tahan tapi ini pukul tiga pagi nenek menyanyikan lagu lengser wengi sambil membakar menyan yang aromanya menyengat dan sampai ke kamar. Bukan saja tidak bisa tidur tapi aku semakin merinding saja, memang aku sudah tau kebiasaan aneh nenek yang terbilang mistis tapi bukan berarti bisa terbiasa juga. Paginya bawah mataku menghitam seperti mata panda. Aku memandang sekitar, kamar yang aku, papa dan mama tempati bersama hanya beralaskan karpet yang kami bawa dan sebagai pembatas dengan kamar nenek hanya sebuah papan triplek tipis saja. Aku melangkah gontai menuju ke ruang depan yang tepat ada di depan kamar, terkejut karena ada nenek yang duduk menatapku dengan tajam. Ada kopi hitam, kelopak bunga mawar dan melati yang diletakkan di piring yang terbuat dari tanah liat, dan beberapa buah-buahan yang kulitnya sudah di kupas. Nenek menyeruput kopi hitam itu dengan nikmat dan memakan kelopak bunga seperti camilan setelah dia tidak lagi menatapku, aku langsung pergi ke dapur. Mama ternyata ada di sana sedang mencoba menyalakan api dan memasak dengan kayu bakar, aku mencuci muka dan membantu mama. Sedangkan papa sepertinya sedang ada di kebun belakang dan memetik beberapa sayuran, setelah dicuci papa membawanya ke arahku untuk aku potong-potong dan mama masak nantinya. Kulihat lebam di wajah papa sudah hilang, sungguh ajaib. Kerja tim keluarga kami cukup bagus, setelah semua selesai aku membantu mama meletakkan semua peralatan makan, nasi dan lauk ke tikar yang sudah papa bentangkan. Sedangkan nenek tidak makan sama sekali walau sudan dibujuk dia menjawab bahwa dia sudah kenyang, kenyang karena makan kelopak bunga? Yang benar saja, sangat aneh dan buat merinding pagi ini. "Setelah ini kita punya rencana apa?" tanyaku di sela-sela makan. "Kamu di sini ya temenin Nenek, Mama sama Papa mau pergi ke kota lagi mau cari rumah," jawab papa. Seketika pandanganku tertuju ke arah nenek yang sedang sibuk menyulam sebuah kain putih. Aku tidak suka jika harus ditinggalkan berdua dengan nenek, tapi protes pun tidak bisa. Jika aku tidak bersama nenek pasti dia akan mengomel dan berkata aku tidak betah tinggal di rumah sempit dan reyok ini karena aku anak kota, persis seperti kejadian tahun lalu. Dengan enggan akhirnya aku mengangguk kecil. Setelah mama dan papa pergi dengan mobil yang dititipkan di kantor kepala desa kurasakan rasa canggung antara aku dan nenek, kami hanya diam saja. Aku menang tidak terlalu dekat dengan nenek dari dulu aku sangat dekat dengan kakek, sayang kakek telah tiada dan kuburannya ada di samping rumah dekat pohon karet yang ditanam nenek dan kakek katanya sewatu muda. Aku tidak berani ke sana atau melihatnya, aku takut sedih kembali. Alasan nenek tidak mau menguburkan kakek di pemakaman umum adalah nenek ingin selalu dekat dengan kakek. Akhirnya aku masuk ke kamar sedangkan nenek ke dapur, entahlah sedang apa dia. Setelah kira-kira satu menit dia berada di sana aku menyusul karena bingung juga harus apa di kamar. "Ada yang bisa aku bantu, Nek?" tanyaku, tidak ada sahutan. Dengan piring bekas kelopak bunga tadi aku lihat ada bahan-bahan untuk menyirih. Nenek duduk di kursi bambu yang ada di ruang tengah dan menyirih dengan tenangnya, aku ikut duduk dan menemaninya walau terasa sangat canggung untukku. Sampai sore papa dan mama belum juga kembali, dan aku lihat nenek di ruang tengah telah mengganti aktivitasnya dari menyirih sekarang memandikan keris kakek, dengan kelopak bunga, dan kain persegi yang dia sulam tadi. Tidak lupa lagu lingser wengi ikut menghiasi. Menjelang pukul sembilan papa dan mama baru pulang sekalian membawa makanan kesukaanku yaitu nasi goreng. "Nenek mana, Ta?" tanya papa. "Di kuburan Kakek," jawabku. Sedari tadi aku memang merinding karena nenek yang membakar menyan di depan kuburan kakek sambil memakan kelopak bunga tadi pagi, aku melihat nenek membawanya. Untunglah mereka cepat pulang. Akhirnya papa menyusul ke kuburan yang ada di sebelah rumah, aku melihat dari balik pintu papa yang seperti sedang membujuk nenek tapi kemudian kembali dengan wajah sedih tanda dia tidak berhasil membujuk nenek. Sampai tengah malam aku bisa mencium aroma menyan yang khas itu, khas membuat merinding.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD