3. Desa tak kasat mata

1150 Words
Tanpa aku sadari untuk pertama kalinya dalam tiga hari ini akhirnya aku bisa tertidur juga, apakah dalam waktu tiga hari aku tinggal di rumah nenek dan sudah terbiasa dengan kelakukan yang bisa aku sebut aneh itu? Entahlah yang jelas kelakukan nenek masih saja sering membuat aku merinding. Masih asyik-asyiknya aku bermimpi punya rumah baru yang besar seperti dulu tiba-tiba aku ingin buang air kecil, mataku yang masih terasa berat itu aku buka perlahan. Aku melihat sekitar, mama dan papa masih terlelap di sebelahku, enggan rasanya untuk bergerak. Aku pejamkan lagi mataku agar aku bisa tidur kembali, mungkin jika aku tertidur lagi maka rasa pipis ini akan hilang, tapi sama saja rasanya ingin pipis malah semakin menjadi-jadi. Karena tidak tahan lagi akhirnya aku ke toilet yang ada cukup jauh dari rumah, aku harus melewati kebun belakang dan menyusuri jalan yang ada di sana sampai bertemu sungai. Karena sudah sangat ingin buang air kecil aku berlari tidak menghiraukan kegelapan sekitar, setelah rasanya lega barulah aku kebingungan sendiri untuk pulang. Senter kecil yang aku bawa tidak bisa menerangi semuanya, akhirnya aku berjalan sambil tertunduk dan tidak melihat ke arah mana pun. Setengah perjalanan sayup-sayup aku mendengar suara gamelan dan sorakan orang, tanpa aku sadari mataku melihat ke arah sumber suara. Benar saja tidak terlalu jauh dariku aku bisa melihat banyak orang berkumpul, ada yang menainkan gamelan, menari, dan juga memberikan uang kepada penari sambil bertepuk tangan dengan riang. Entah kenapa aku begitu penasaran dengan apa yang ada di sana dan perlahan aku menuju ke sana. Setelah sampai di sana aku ikut menyaksikan tarian itu, tapi agak jauh dari keramaian tari yang diadakan aku bisa mendengar ada seseorang yang menangis. Badanku tergerak untuk ke arah suara itu, saat aku sampai aku melihat ada seorang anak kecil yang memegangi lututnya sambil menangis membelakangi aku. "Dek, kenapa di sini sendirian?" tanyaku merasa kasihan. Suara tangisnya berhenti, perlahan dia berbalik "Aku dimarahi Ibu Kak terus diusir dari rumah," jawabnya sesenggukan. Aku mengerutkan kening, kejam sekali ibunya anak sekecil ini di usir dari rumah. "Memang kenapa kok Adek bisa diusir dari rumah?" "Katanya aku harus bawa temen kalau mau pulang, tapi aku gak punya temen, makannya di usir." Dia kembali menangis kali ini lebih kencang. Ini jadi semakin aneh saja "Lho, kok begitu kenapa harus bawa teman?" "Biar Ibu percaya aku punya teman Kak dan gak dikira bohong," jawabnya dengan air mata masih mengalir. Tidak tega aku melihatnya, mungkin mampir sebentar dan menjadi temannya lalu pulang tidak akan menjadi masalah besar pikirku. "Gimana kalau Kakak jadi teman kamu, kita temui Ibu kamu." Aku ikut berjongkok di hadapannya. Dia bersorak senang dan kemudian menggandeng tanganku dengan jari-jari mungilnya itu, tapi aku merasa ada yang aneh saat melihat kakinya. Telapak kakinya berada di atas dan jari-jari kakinya ada di bawah, seperti terbalik. Saat aku lihat ke arah belakang keramaian yang menampilkan tari itu menghilang, suara gamelan pun tidak lagi terdengar. Tiba-tiba kami sudah sampai di sebuah pintu besar yang menjulang tinggi, pintu itu tidak mempunyai penjaga dan terbuka dengan sendirinya saat kami di depannya. Perasaanku mulai tidak enak, mana ada pintu bisa terbuka sendiri aku lihat di balik pintunya pun tidak ada tali atau alat apapun. Saat masuk ke dalam tambah aneh karena di sini masih ramai banyak orang berjalan ke sana-ke sini seperti aktivitas di pagi hari, tidak ada pohon karet juga di sini kebanyakan adalah pohon beringin yang belum terlalu besar. Ini jadi semakin aneh, ini kan sudah malam bukannya harusnya istirahat? Sambil melihat-lihat sekitar aku terus mengikuti anak kecil yang tadi melewati keramaian dan sampai di sebuah gubuk kecil. Pintu diketuk tiga kali oleh anak kecil itu sambil berkata "Ibu, lihatlah aku membawa teman baru bukan dari desa kita." Tidak lama muncul seorang wanita yang penampilannya mencerminkan bahwa dia sudah cukup tua karena beberapa uban yang terlihat, tubuhnya juga kecil hanya sedikit lebih besar dari anaknya. Setelah itu entah kenapa tiba-tiba pandanganku terasa kabur dan semua menjadi gelap. Saat kurasakan hawa panas yang menyengat perlahan aku membuka mata, melihat sekitar. Badanku tidak bisa digerakkan, mulutku juga disumpal dengan kain. Aku meronta saat tau bahwa aku ada di sebuah tiang dan diikat, di sekelilingku kulihat banyak orang yang menari sambil membawa obor. Aku ketakutan setengah mati dan mencoba berontak untuk melepaskan diri tapi percuma saja tali yang mengikatku tidak juga mau terlepas. "Dia akan menjadi Dewi baru kita, kerja bagus, Nak." Aku melihat anak kecil yang aku tolong tadi disenyumi banyak orang dia pun terlihat senang. Semakin lama tarian itu berhenti dan mereka tertidur satu per satu setelahnya ada sebuah cahaya yang sangat terang mereka satu per satu menghilang. "Kita akan berjumpa lagi malam nanti," kata anak kecil itu sebelum akhirnya ikut hilang tanpa jejak. Setelahnya kurasakan kantuk yang tidak bisa ditahan lagi. *** Entahlah saat ini aku bermimpi atau bagaimana karena hal yang terakhir aku ingat adalah diajak orang kerdil kemudian diikat di sebuah tiang, tapi kali ini saat aku membuka mata aku melihat taman bunga yang indah. Banyak bunga berwarna-warni walau yang mendominasi yang warna putih, tidak lama muncul wajah kakek yang selama ini aku rindukan. Aku berlari dan memeluknya, dia tersenyum ke arahku tapi matanya mengisyaratkan kepedihan. Kemudian dia perlahan menjauh tanpa bisa aku kejar. Seluruh tubuhku merasakan panas, kali ini tidak terlalu menyengat, aku buka mataku perlahan. Ternyata tadi hanya mimpi nyatanya saat ini aku ada di tempat kemarin. Mereka menari-nari lagi dengan membawa obor dan menari membentuk lingkaran mengelilingiku, tunggu dulu kali ini ada yang membuat aku terbelalak. Tempat di bawah kakiku seorang kerdil bertubuh gempal terlihat sedang menajamkan pisaunya, aku mulai gemetar. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan mereka, kemungkinan terburuknya aku akan dibunuh, atau di makan. Karena tidak lama setelah itu beberapa orang kerdil lainnya menyiapkan kuali besar tidak jauh dari orang yang sedang mengasah pisau. Kali ini lebih keras aku berontak dari sebelumnya, dengan sisa tenaga yang aku punya. Walau aku sudah lemas karena belum makan dan minum seharian ini, tenggorokanku juga terasa sangat kering. Aku terus meronta-ronta agar membuat ikatan ini menggedor. Akhirnya aku menyerah usahaku terasa sia-sia. Sekarang merasakan perih di tangan kiriku, dan benar saja saat aku lihat tangan kiriku sudah ada luka goresan dan cairan berwarna merah yang mengalir perlahan keluar. Orang kerdil bertubuh gempal itu tersenyum senang, dia m******t pisau yang ada cairan berwarna merah di sana. Aku merinding seketika, baru lengah sedikit saja aku sudah digores. Baiklah sekarang kuputuskan untuk melihat gerak-gerik mereka dan mencari celah untuk kabur, jika dugaanku benar maka aku tali akan dilepaskan dan aku akan dibawa ke kuali besar yang sekarang sudah diisi minyak. Tapi sepertinya aku salah, salah satu orang kerdil yang menari dan membawa obor menghampiriku. Air mataku mengalir sambil melihatnya, berharap dia mau menolongku. Tapi bodohnya aku mana mungkin dia mau mengkhianati kelompoknya, dia malah tersenyum miring. Senyum yang mengerikan. Dia mulai mendekatkan api di obor ke wajahku, panasnya sangat terasa air mataku mengalir semakin deras. Mungkin aku akan disiksa dan akan berakhir di sini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD