4. Di ujung maut

1337 Words
Di momen antara hidup dan matiku entah kenapa aku jadi merindukan papa dan mama serta momen sebelum kami ke desa ini, momen saat seminggu sebelum papa dipecat dan aku dihukum menggunakan gaun ala putri yang ada di film kartun yang aku benci itu. Bukan karena aku tomboi atau tidak menyukai film itu tapi hanya tidak suka saja memakai gaun atau rok, kecuali rok sekolah. Rok sekolah pun harus dibuat selebar mungkin bagian bawah roknya agar aku bebas melangkah dan tidak sempit, jika tidak aku tidak akan mau memakainya. Saat api itu semakin dekat saja, aku mengingat kembali senyuman papa dan mama dan banyak kenangan indah yang terlintas di kepalaku seketika. Air mataku berjatuhan semakin deras, rasanya sangat panas dan perih karena orang kerdil ini baru saja membakar wajahku dengan obor yang dibawanya. Tidak sampai disitu dia juga membuka ikatanku dengan membakar talinya membuat kulitku ikut terbakar dan terlihat bekas luka bakar di sana. Kutahan rasa perih ini dan mencoba berdiri, ini adalah kesempatan untuk melarikan diri tapi entah kenapa badanku tidak mau digerakkan sama sekali. Suatu ide tiba-tiba terlintas dipikiranku, aku akan membuka sumpalan yang ada di mulutku dan bernyanyi dengan suara yang mirip kaleng rombeng ini sampai semua orang kerdil ini menutup telinga mereka dan aku bisa berlari. Aku pernah melakukan hal ini saat sekolah dulu, semua teman-teman bahkan guruku bilang suaraku itu cempreng seperti kaleng rombeng yang saat aku bernyanyi membuat gendang teling mereka sakit sampai mereka menutup telinga mereka. Tapi aneh, sumpalan di mulutku sama sekali tidak bisa dibuka sekeras apapun aku menariknya. Orang kerdil yang aku kira anak kecil yang akan kutolong itu berdiri dihadapanku saat aku masih bersusah payah membuka penyumpal mulut itu, dia mengangkat daguku dengan jari telunjuknya. "Kain itu tidak akab bisa dibuka sampai salah satu dari kami mengizinkannya, kami tidak mau mendengar suaramu sama sekali," ujarnya sambil tersenyum miring. Senyum itu membuat aku sangat merinding, dia kemudian mengelus rambutku dan menjambaknya. Membuat banyak rambutku yang rontok, aku melihat itu saat dia membuang rambutku yang rontok ke sebelahku dengan wajah mengekspresikan jijik. "Mulai persembahannya!" teriak salah seorang dari mereka yang aku tidak tau dari mana suaranya. Setelah teriakan itu beberapa orang kerdil yang bertubuh kekar menyangkat tubuhku dengan mudahnya, mereka kemudian membawaku perlahan ke dalam kuali besar yang sudah siap dengan api dan minyaknya itu. Aku meronta dan alhasil tubuhku jatuh, rasanya tulangku seperti retak dan sangat ngilu. Mereka tidak peduli dan mengangkatku kembali, walau ikatan itu sudah dilepas entah kenapa tubuh ini hanya bisa bergerak terbatas bahkan hampir tidak bisa digerakkan. Mereka sudah siap menurunkanku, tapi sebelum aku diturunkan mereka bergumam sesuatu yang sama sekali tidak aku pahami dan saat gumaman mereka selesai api di bawah kuali itu mati. Kemudian perlahan muncul sosok seseorang dari kejauhan, aku menyipitkan mata melihat siapa sosok itu. Tidak aku sangka dia bisa ada di tempat ini seketika banyak pertanyaan yang menyerang di kepala. "Apakah dia ke sini untuk menyelamatkan aku? Atau jangan-jangan dia juga bagian dari kelompok orang kerdil yang ingin memasakku ini?" tanyaku dalam hati sambil memperhatikan sosok itu tetap perlahan mendekat. Tidak lama dia berdiri di hadapanku, orang kerdil itu menurunkanku ke tanah dan memberikan hormat padanya dengan beelutut. "Lepaskan dia! Kalian apakan cucuku?!" tanya nenek dengan nada geram. Saat kuperhatikan raut wajah orang kerdil di dekatku menjadi sangat ketakutan dan pucat. Baiklah aku tidak mengerti apa yang terjadi, tapi setidaknya aku bisa selamat dari maut dan aku bersyukur untuk itu. Nenek menatap mereka satu per satu dengan tajam sampai tatapan nenek tertuju ke arah salah satu orang kerdil yang memegang sebuah buku yang terbuka, perlahan nenek berjalan dengan badannya yang agak bungkuk itu. "Batalkan mantranya!" bentak nenek membuat orang kerdil itu tersentak. "Ba ... baik, Nyonya," jawab orang kerdil itu dengan ketakutan. Setelahnya dia berkomat-kamit sambil melihat ke arah buku yang dia pegang, dan perlahan aku merasa tubuhku tidak sekaku yang semula dan bisa digerakkan. Aku bangun perlahan walau masih agak lemas dan rasa perih yang masih menjalar akibat tusukan dan luka bakar yang ada. Nenek membantu aku berdiri, entahlah sejak kapan dia ada di sana dan aku tidak menyadari keberadaannya. "Ma ... maafkan kami, kami tidak tau bahwa itu cucu Nyonya." Ibu dari orang kerdil yang membawaku itu bersujud di kaki nenek, begitu takutnya mereka pada nenek. "Baik, tapi anakmu harus dihukum. Mata bayar mata," jawab nenek dengan nada dingin tapi penuh aura mengintimidasi. Setelahnya kami pergi dari sana melewati gerbang yang menjulang tinggi saat aku datang kemari dan menuju ke tempat semula. "Duduk di situ akan aku obati lukamu." Aku menuruti perkataan nenek dan duduk di dahan pohon yang sudah tumbang, aku ingat tempat ini. Tempat ini adalah tempat saat aku mendengar suara gamelan dan para penarinya. "Aww," rintihku saat nenek mengoleskan sesuatu seperti salep berwarna hitam pekat ke lukaku, obat itu juga berbau sangat busuk. "Ini makanlah kau pasti lapar." Nenek menyodorkan sebuah wadah yang terbuat dari anyaman bambu, aku membukanya dan tercium bau masakan ibu yang sangat enak dan sangat aku rindukan. Aku makan dengan lahap sampai tersedak, dan nenek memberikan aku minum dari sebuah tempat minum yang terbuat dari tanah liat begitu juga dengan cangkirnya. Seperti orang zaman dahulu. "Kau bod*h bisa masuk ke sana, tapi ini juga salahku karena tidak menandaimu." Nenek kemudian mengeluarkan sesuatu mirip sebuah keris kecil dan menggoreskannya ke lenganku. Aku tidak merasakan perih hanya cairan merah yang perlahan keluar dari lukaku, tapi beberapa detik kemudian mengering dan berubah menjadi kehitaman. "Itu tanda dariku agar tidak terulang kejadian yang sama, tidak akan bisa hilang," kata nenek lagi dengan mata tajam menyorot ke arahku, aku hanya tertunduk. "sepertinya obatnya sudah bekerja, semua lukamu telah hilang." Mendengar itu spontan aku mengecek luka yang ada di sekujur tubuhku dan benar saha tidak ada luka bakar atau bekasnya di sana, sungguh ajaib. Kulitku mulus kembali seperti semula. Baru hendak aku membuka mulut ingin menanyakan semua hal yang mengganjal nenek menyelaku lebih dulu. "Aku akan menjawab semua pertanyaan yang ada di kepalamu itu sambil kita beristirahat di sini, sebentar lagi mereka juga akan datang." Aku tidak tau dengan mereka yang dimaksud nenek, tapi setidaknya aku cukup senang nenek mau bicara panjang lebar seperti ini padaku walau ketus, dan ya walau tidak pada tempat yang baik juga. "Sebelum aku menjawab semua pertanyaanmu itu, lebih baik kau dengarkan dulu kisah masa laluku, kakekmu, dan desamu ini," tambah nenek lagi. Dia menatapku dengan tatapan biasa kali ini, tidak seperti tatapan tajam yang beberapa waktu lalu dia tunjukkan padaku. "Dulu desa ini saat Indonesia dijajah, sungguh sangat sulit. Banyak orang mati kelaparan dan kau bisa mencium bau bangkainya di mana-mana, tangisan juga banyak terdengar, para gadis diperkosa dengan kejam." Baru saja nenek memulai kisahnya aku sudah merasa ngeri, aku membayangkan apa yang nenek katakan sambil meringis. "Dulu aku ini hanya wanita lemah yang berulang kali hampir mati karena menolak ditiduri para penjajah, walau pun aku mati saat itu aku tidak akan pernah menyesal asal harga diriku sebagai wanita dan kesucianku bisa kubawa mati." Nenek menatap lurus ke depan, aku melihat wajahnya yang keriput itu sungguh serius. "tapi Kakekmu kemudian datang membawa hal yang tidaj pernah kami duga dan menyelamatkan desa ini serta mengusir para penjajah dari desa kecil ini dan kami bisa menata hidup kami kembali. Melihatnya begitu perkasa tentu semua wanita jatuh cinta, tapi beruntunglah aku yang dipilihnya. Saat Kakekmu akan meninggal Kakekmu mewariskan ilmu yang mampu mengusir penjajah itu padaku, jika dia masih hidup sampai sekarang umurnya sudah seratus lima tahun." Dari pancaran matanya aku lihat terselip rasa kerinduan juga kagum di sana. "Hal ini juga bertujuan untuk menjaga desa ini agar tetap damai. Waktuku tidak lama lagi tapi Papamu itu sungguh keras kepala." Aku tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Entahlah karena aku sangat lelah saat ini jadi tidak bisa mencerna yang nenek katakan. "Kamu paham?" tanyanya sambil menatapku, aku hanya menggeleng. "dasar bodoh, tapi sudahlah nantinta juga kau akan paham." Nenek kemudian berdiri dan aku juga ikut berdiri, jari keriput nenek menunjuk ke arah depan dan di sana dapat aku lihat banyaknya orang yang memanggil namaku bersamaan dengan cahaya matahari yang terbit dari ufuk timur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD