Kartu 2

1006 Words
“Ah ya, setelah Abitur nanti kau akan melanjutkan ke mana?” tanya Kevin mengubah topik pembicaraan. “Aku belum tahu, mungkin aku akan mengambil semacam perkuliahan sains atau sejenisnya, atau bahkan kedokteran,” jawab Aaric. “Kau hebat, Sob! Aku yakin kau pasti lulus test,” Kevin memuji sambil memukul pundak Aaric. “Kau sendiri, apa rencanamu?” Aaric balik bertanya. “Mungkin aku akan mengambil jurusan kesenian atau mungkin otomotif di Universitas, tapi entahlah, mungkin juga aku akan mengambil sekolah keahlian, menjadi Barista,” “Yang terakhir itu ide yang bagus, kau pasti ahli di bidang itu, kurasa Ayahmu juga butuh penerus,” Aaric tertawa menggoda Kevin, lalu dibalas dengan rangkulan. Sebetulnya Kevin tidak berminat meneruskan usaha kedai kopi ayahnya, jika bukan ayahnya yang selalu memaksa Kevin untuk mengambil sertifikasi Barista di VHS, semacam sekolah satu atap yang menawarkan beragam kursus keahlian aplikatif. Namun ibunya sebaliknya, selalu mendorong Kevin berkonsentrasi melanjutkan pendidikan ke Universitas, untuk tujuan itu ia masuk Gymnasium. Kedua pemuda itu berjalan menyusuri jalan, hingga bertemu pertigaan. Di pertigaan itu mereka berpisah, Kevin berbelok ke kanan, sedangkan Aaric terus lurus melanjutkan perjalanan menuju arah rumahnya dengan rute jalan menanjak. Di perjalanan pulang, Aaric selalu mengambil jalan agak sedikit memutar agar bisa menikmati pemandangan hutan pinus dan melewati aliran sungai dengan airnya yang jernih dan segar, sungai itu langsung berhulu ke pegunungan Alpen. Dari jauh sudah terlihat hamparan ladang kentang dan sayuran milik keluarga Karte, beberapa bagian bahkan sudah mulai berkembang, dari yang awalnya hanya benih. Perkebunan itu diurus langsung oleh kakeknya dan beberapa orang pekerja. Dipastikan sebelum Winter mendatang tiba mereka sudah panen. “Hallo, Sayang,” sapa Sabine menyambut anaknya. Ia sedang sibuk di dapur. “Hai, Ma,” balas Aaric, sambil memeluk Sabine. “Mau teh?” tanya Sabine. “Iya, boleh, terima kasih!” Lalu Sabine menuangkan teh dengan campuran rempah ke dalam cangkir yang disodorkan kepada Aaric. “Tampaknya sibuk sekali, Ma?” tanya Aaric, menyeruput cangkir di depannya. “Tidak, hanya sedang mencoba-coba resep baru,” Sabine tersenyum. “Kapan ujian di mulai?” lanjut Sabine. “Awal bulan Mei, sepertinya jadwalnya tidak ada perubahan,” “Kau sudah siap?” “Ya begitu lah. Omong-omong, Papa jadi pindah tugas?” Aaric melepas tas selempangnya yang masih melingkar di tubuh. “Sepertinya begitu, dan aku rasa, kita semua akan pindah,” jawab Sabine. Ia memasukan beberapa sendok butter ke dalam adonan kuenya. “Kau serius?” tanya Aaric. “Ya, sejauh ini yang kudengar begitu,” “Baiklah kalau begitu, aku ke kamarku dulu. Dah, Ma!” “Dah, selamat beristirahat!” respon Sabine. Aaric hanya mengangguk. Kamar Aaric berada di lantai dua, jendela kamarnya langsung mengarah ke hamparan ladang yang hijau, jadi jika ia sedang banyak pikiran, pemandangan alam ini mampu sedikit memperbaiki mood. Kamarnya tertata rapi, paling tidak untuk seorang anak laki-laki remaja seusianya. Ada selembar poster grup band heavy-metal tertempel di balik pintu, walapun sejatinya ia bukan penggemar musik, itu dari Kevin. Oleh-oleh ketika ia pulang dari sebuah konser di Berlin. Dari kejauhan terlihat George sedang melakukan aktivitasnya, entah apa. Karena dari loteng kamarnya, tubuh George terlihat sangat kecil. Di kamar Aaric tergantung seberapa ornamen antik, yang entah sejak kapan ada di sana. George melarang orang-orang di rumah untuk memindahkan letak pernak-pernik yang sudah tertata rapi di tempatnya. Tak heran jika teman Aaric berkunjung ke rumahnya, mereka lebih merasa sedang berada di museum abad pertengahan, ketimbang di sebuah hunian. Sederet hiasan keramik ala kerajaan berderet rapi di rak dan hampir setiap sudut ruangan, rata-rata usianya sudah lebih dari 100 tahun, yang jika di lelang mungkin laku hingga ribuan Euro. Belum lagi perkakas seperti piring, cangkir, hingga sendok garpu semuanya tampak klasik. “Aaric, bisa turun sebentar?” teriak Sabine dari anak tangga. “Ya,” Aaric segera ke luar kamar dan menuruni tangga. Suara berderit tangga kayu yang diinjak menambah unik kondisi rumah tua ini. “Bisa tolong nyalakan oven ini?” pinta Sabine. Oven besar untuk pembakaran kue dan aneka hidangan berbentuk persegi ini mungkin satu-satunya barang modern di rumah keluarga Karte. Sejak pertama kali membeli, dua tahun lalu, hingga sekarang Sabine tak pernah paham cara pengoperasiannya. Kadang Uli berkomentar dengan gaya bahasa satirenya, yang intinya untuk apa membeli barang yang tidak bisa cara menggunakannya. Meskipun ratusan kali Aaric menjelaskan cara menghidupkan pemanggangnya kepada Sang Ibu, tapi hasilnya selalu nihil, hingga akhirnya Aaric bosan sendiri untuk menjelaskan, dan lebih memilih menjadi operator setia Sang Ibu di dapur. Tanpa banyak cakap, Aaric langsung mengotak-atik tombol-tombol yang terdapat di bagian muka alat pemanggangan itu, memang sedikit agak rumit karena beberapa tombol keterangannya tidak ditulis dalam Bahasa Jerman. Sehingga perlu sedikit usaha memahami bahasa asing, apa lagi untuk orang yang memang buta Bahasa Inggris. Tapi Aaric yakin bukan itu masalah yang dihadapi Sabine. “Selesai,” komentar Aaric, setelah menekan sebuah tombol dengan keterangan “On". “Sempurna! Terima kasih,” senyum Sabine. Kemudian membiarkan ovennya panas hingga beberapa menit sebelum memasukkan adonan kue ke dalamnya. “Kau harus coba ini, Sayang, ini pasti enak,” puji Sabine pada dirinya sendiri. Ia sedang membuat Erdbeertorte. Sebuah kue tart tradisional dari buah stroberi sebagai topping. Rasanya manis dan agak asam. “Tentu saja,” Aaric merespon. “Ma, mulai pekan depan aku akan pulang sedikit terlambat, ada pelajaran tambahan di sekolah untuk persiapan ujian akhir,” lanjutnya. “Tentu saja, Sayang. Jangan banyak pikiran, berkonsentrasi lah pada pelajaranmu.” pertengahan musim panas adalah waktu yang penting dalam hidup Aaric dan masa depannya. sekitar bulan Mei ia akan mengikuti ujian kelulusan, dan berharap ia mendapatkan nilai 1. Dengan berbekal nilai ini akan lebih mudah baginya memilih pendidikan lanjutan nanti saat di Universitas. Sejatinya Aaric belum memutuskan akan ke mana ia melanjutkan pendidikannya, namun pelajaran ilmu alam dan biologi adalah dua hal yang paling ia sukai. Saat berdiskusi dengan Uli tempo hari, ia hanya berpesan, ikutilah kata hati maka kata hati akan menunjukan jawabnya. Dan setelah Aaric berkontemplasi cukup panjang, ia mantap untuk mengambil kedokteran. Meski pun tantangannya sangat berat, masuk sulit keluar pun sulit. Tapi tekadnya sudah bulat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD