Kartu 1

1001 Words
Ramsau, 345 tahun kemudian. “Papa, bisa bicara sebentar?” Uli menemui Ayahnya yang kala itu sedang sibuk memindahkan gulungan rumput kering ke dalam gudang penyimpanan, untuk persediaan makanan ternak-ternaknya di musim dingin. “Ah ya, tentu saja, ada sesuatu yang penting?” respon George dengan santai. Ia menyimpan beberapa perkakas berkebun, dan membersihkan sisa-sisa rumput kering yang menempel di bajunya. Uli dan George berjalan menuju rumah, sebuah rumah ala pedesaan di Bavaria dengan pekarangan yang sangat luas dan ditumbuhi aneka bunga-bungaan. Rumah itu terdiri dari dua lantai, lengkap dengan balkon kayu yang sangat terawat. Mereka berjalan menuju halaman belakang, terdapat sebuah teras yang ditutup kanopi yang dapat di buka-tutup secara manual. Kanopi itu sebetulnya berfungsi agar matahari tidak langsung membakar kulit orang yang bersantai di bawahnya, tapi terkadang justru di musim panas mereka membutuhkan sinar matahari itu untuk berjemur, maka tinggal menarik pengait dan kanopi pun terbuka. Teras belakang rumah mereka langsung menghadap ke sebuah perkebunan sayuran, yang dirawat oleh keluarganya turun temurun dengan sangat baik. Selain menjadi seorang petani dengan ladang dan kandang hewan ternak yang luas, keluarga Karte dikenal sebagai keluarga yang pandai membaca kartu peramalan nasib kuno bernama Tarocchi. Hampir seantero Ramsau tahu, mereka satu-satunya pembaca kartu Tarrochi yang selalu jitu terawangannya. Ramsau adalah sebuah kota kecil di Distrik Berchtesgaden, Negara Bagian Bayern, sebelah selatan Jerman. Kota ini sangat sunyi dengan kontur alam pegunungan yang asri dan sejuk. Jumlah penduduk hanya sekitar 1500 jiwa. Rumah yang ditinggali keluarga Karte merupakan rumah tradisional yang sudah ditempati turun temurun dari generasi ke generasi. Karena perawatannya sangat baik, rumah itu masih kokoh berdiri meski umurnya mungkin sudah ratusan tahun. Kini rumah itu ditinggali George Karte, Uli Karte dan istrinya Sabine, serta anak semata wayangnya yang kini sudah berusia 18 tahun, Aaric Karte. Aaric adalah siswa tingkat akhir Gymanisum (setara SMA), jenjang sekolah bergengsi di Jerman, lulusannya dipersiapkan untuk menjadi akademisi. Ia sedang menunggu pengumuman Abitur (ujian kelulusan setara SMA), untuk bisa melanjutkan ke Universitas. Aaric anak tunggal keluarga Karte, pewaris sepertiga peternakan di Ramsau, dan hektaran ladang kentang dan Kopfsalat (selada). Keluarga Karte cukup terpandang, profesi utama keluarga besarnya memang semacam Cenayang, dan di Eropa keluarga dengan profesi tersebut relatif dikucilkan dari masyarakat, karena dicap mempercayai takhayul dan dekat dengan hal-hal mistis. Namun itu tidak berlaku bagi keluarga Karte, karena jika diibaratkan jenjang karier seorang peramal, pembaca kartu Tarocchi menempati level paling puncak, tidak bisa disejajarkan dengan peramal-peramal kelas bawah atau bahkan dukun-dukun ilmu hitam, yang identik dengan hal ghaib. Diantara para pembaca kartu Tarocchi yang ada di seluruh dunia, keluarga Karte merupakan klan paling disegani, karena memiliki insting yang sangat kuat dan ini diturunkan, bukan dipelajari. Sehingga klan lain mustahil bisa memiliki kemampuan melampaui klan Karte. Sebetulnya orang-orang yang memiliki kemampuan membaca kartu Tarocchi enggan disebut sebagai peramal nasib, karena cabang keilmuan yang mereka dalami memang bukan seperti yang kebanyakan orang pikirkan. Mereka percaya, “prediksi” yang selama ini mereka lakukan terhadap klien-kliennya, murni dari kemampuan indra ke-6 yang mereka miliki, bukan karena bisikan makhluk gaib apa lagi bersekutu dengan iblis. Dan kemampuan indra ke-6 adalah anugrah Tuhan yang mereka percayai. Namun seiring berjalannya waktu, profesi nenek moyang ini berangsur ditinggalkan, di keluarga Karte sendiri, profesi pembaca kartu Tarocchi terakhir kalinya digeluti oleh neneknya Aaric yang baru meninggal beberapa tahun lalu. Sedangkan suaminya, George, tidak melanjutkan profesi tersebut meskipun ia memiliki kemampuan yang sama seperti istrinya, bahkan instingnya jauh lebih baik. Ia memilih jadi petani dan mengurus perkebunan dan peternakan miliki keluarganya yang juga diturunkan dari generasi sebelumnya. “Kamu mau bicara apa?” tanya George. Sambil menuangkan segelas teh bunga Chamomile ke cangkir Uli. “Sepertinya dalam waktu dekat kami akan pindah,” ucap Uli lirih, khawatir mengagetkan Ayahnya dengan kabar yang sangat mendadak ini. “Oh ya, mendadak sekali. Kenapa?” tanya George singkat, sambil sesekali menahan batuk. Usianya memang sudah tidak muda lagi, tahun ini menginjak 87, tapi penampilannya masih sangat segar jauh dari usianya yang sebenarnya. “Aku naik jabatan dan dijadwalkan pindah tugas, tapi masih belum dipastikan waktunya,” jawab Uli sangat diplomatis. Uli adalah seorang Kepala Polisi di Distrik Berchtesgaden, pangkatnya sebagai Komisaris. “Hmm… kabar baik,” respon George singkat dengan ekspresi yang dingin. Entah ia suka atau tidak dengan kabar yang disampaikan anaknya ini. “Pindah ke mana?” George melanjutkan dengan logat Bavarianya yang kental. “München,” “Ok, senang mendengarnya,” Kemudian George beranjak dari kursi, dan berniat kembali ke peternakan. Ia tak memerlukan alat bantu berjalan atau alat bantu apa pun, tubuhnya secara umum masih sangat bugar untuk kakek diusianya, hanya saja hawa Ramsau yang cukup dingin sepanjang tahun membuatnya sedikit alergi. Uli memandangi aktivitas ayahnya dari jauh, ia masih terduduk dengan khusuk di bangku kayu yang mungkin usianya lebih tua dari dirinya, sambil menikmati pemandangan hamparan ladang sayuran siang itu. Ia menyeruput teh hangat di cangkir hingga habis, sebelum kembali bertugas. *** Aaric terlihat sedang menyusuri jalan setapak menuju rumahnya, yang jaraknya beberapa blok saja dari Gymnasium Berchtesgaden, di mana ia bersekolah. Hanya perlu sepuluh menit dengan berjalan kaki, atau sekitar lima menit dengan sepeda, untuk menjangkau rumah, atau sebaliknya. Hari ini hawa mulai hangat, sebelum pulang Aaric sempat menoleh jam digital dengan informasi suhu di dekat pintu ke luar sekolah, berkisar 18 derajat. Perlahan matahari mulai menampakkan diri meski malu-malu, sepanjang jalan masih terlihat deretan pohon meranggas sisa musim dingin. Beberapa kali Aaric membetulkan posisi penutup kepalanya, bagian tepi ditarik hingga menutup telinga. “Hai Aar,” sapa seseorang menepuk pundak Aaric dari belakang. “Hai, hallo…” Aaric menoleh, ternyata Kevin. Ia adalah teman masa kecilnya di Ramsau, sejak Grundschule (setingkat sekolah dasar) hingga sekarang mereka selalu bersama. “Katanya, kau akan pindah?” “Aku?” Aaric merespon dengan sedikit penekanan. “Ya, kemarin aku dengar pembicaraan Ayahmu dan Ayahku di kedai, katanya Ayahmu akan pindah tugas. Benar kah?” tanya Kevin. Sambil mengimbangi langkah Aaric yang cepat. “Oh ya, mungkin kau salah dengar,” ucap Aaric. “Hmm…” Kevin terdiam. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD