Bab 2. Ditinggal Pergi

1345 Words
“Aku nikahin kamu, Sayang. Percaya aku, oke! Aku sayang sama kamu dan kita udah pacaran loh, kamu percaya, kan?” Rendi berusaha meyakinkan Sila dengan janji yang dibuatnya. Wanita itu mengangguk karena memang tidak melihat keraguan di mata Rendi, selama bersama dan mengenal laki-laki itu pun tidak pernah satu janji yang terlewati tanpa pembuktian, Rendi selalu menepatinya hingga kehadiran Rendi bukan hanya dicintai oleh Sila saja, melainkan semua penduduk di desa itu, mereka bangga dengan adanya Rendi di sana yang banyak membantu warga dan anak-anak mereka, terutama soal pendidikan. “Jangan takut, aku sama kamu!” ucap Rendi seraya memeluk Sila dan mencium puncak kepala wanita itu beberapa kali. Perasaan Sila sejak hari itu selalu diliputi rasa cemas dan waswas, setiap hari seperti ada ombak besar yang siap menggulungnya meskipun belum tentu akan terjadi kehamilan dari perbuatan yang hanya semalam saja. “Mas, berapa kali kita ngelakuin itu?” tanya Sila begitu terlewat dua hari dari tanggal periode bulanannya. Kening Rendi mengerut, ia tidak pernah meninggalkan desa itu dan terus menemui Sila selepas bekerja supaya Sila tidak terlalu cemas dan membuat kegaduhan, padahal Rendi cukup kesal juga begitu mengetahui Sila hanya sebatas anak angkat meskipun itu memudahkan urusannya, tetapi membawa Sila ke kota nanti bila wanita itu hamil seperti menurunkan harga dirinya saja bersama mantan anak panti asuhan. “Aku nggak tau, Sayang. Bisa dibilang lebih dari dua kali sih, kenapa? Kamu masih mikirin kalau sampai kamu hamil?” Rendi menghela nafasnya, lalu membuat Sila menghadap kepadanya. “Sayang ... aku bakal tanggung jawab, aku bawa kamu ketemu orang tuaku, setelah itu kita nikah. Dan─” “Gimana bapak sama ibu, Mas?” potong Sila ketakutan, dia hanya anak angkat di sana, kalau mereka tahu hal itu, bisa saja mereka membuang Sila dan tidak menganggapnya lagi sebagai anak. “Kamu tinggal siapin diri kamu ke kota, biar mereka jadi urusan aku!” jawab Rendi tegas, lalu mengajak Sila untuk segera memeriksakan diri. Dan benar saja, setelah beberapa kali melakukan tes kehamilan mandiri dengan hasil yang selalu sama, Rendi dan Sila datang ke rumah sakit untuk memastikan ulang, ternyata benar kalau Sila sedang mengandung anak Rendi. Sekujur tubuh Sila bergetar hebat, ia teramat ketakutan, apalagi saat Rendi menghadap kedua orang tua angkatnya. Tanpa banyak bicara, mereka mengusir Sila yang telah dianggap aib. “Bu, Pak, jangan usir aku!” Sila memohon, walaupun bukan anak kandung dari keluarga itu, tetapi hanya mereka yang Sila punya. “Pergi! Kamu hanya bikin malu kami, pergi sana! Bawa anak haram kalian!” ucap Wanto sambil menghalangi istrinya yang hendak berbelas kasih. “Ke luar! Dasar anak nggak tau diuntung! Aib!” Mau tidak mau Sila harus ke luar dari rumah itu, disaksikan beberapa tetangga yang ikut mencibir dan meneriakinya dengan kata-kata kasar. Bahkan, warga di sana menolak Sila untuk datang kembali karena dianggap bisa menularkan aib yang sama pada anak gadis mereka. Rendi menutup telinganya rapat-rapat, Rendi tahu yang dia lakukan sangat jahat, tetapi dia pun berjanji untuk menyelamatkan Sila dengan membawanya ke kota, ke hadapan kedua orang tuanya yang hari itu bagai dihantam badai besar dan petir yang menyala-nyala mendengar laporan dari pekerja yang mengikuti Rendi di desa. “Udah, jangan nangis lagi, Sayang. Ada aku!” kata Rendi kesekian kalinya, ngomong-ngomong telinganya sudah risih mendengar rengekan Sila sejak mereka meninggalkan desa itu. “Tolong, diem, Sila!” “Hidup aku hancur, Mas!” kata Sila sambil memukul dadanya yang sesak. Rendi meraup wajahnya, berusaha untuk tidak terpancing meskipun dia sudah muak dengan rengekan wanita di sebelahnya itu. Ingin sekali Rendi membuang Sila di jalanan tanpa peduli dengan darah dagingnya yang ada di perut wanita itu. “Kita perbaiki hidup kamu, Sayang. Kamu nggak sendiri, anak itu ada bapaknya, yaitu aku!” ucap Rendi penuh penekanan. “Dia nggak akan lahir tanpa bapak, dia akan lahir di keluarga yang lengkap, oke!” dustanya. Janji dan janji selalu menjadi senjata bagi Rendi untuk membungkam Sila, hari itu benar-benar Rendi membawa Sila ke kota untuk bertemu kedua orang tuanya, mengakui anak yang ada di kandungan Sila adalah anak kandungnya dengan sangat bangga karena kejadian mendadak yang tak bisa ia hindari, lagi-lagi Rendi menutupi fakta sebenarnya. “Kamu tau yang kamu lakukan itu salah?” Mia ingin sekali menampar anak bungsunya itu. Rendi mengangguk. “Aku tau kalau kami salah, Ma. Tapi, di situasi kayak gitu, siapa yang bisa ngehindar? Aku cowok normal, Ma!” “Normal kepalamu!” bentak Mia, sebelum akhirnya menurunkan nada bicaranya karena tersadar di sana Sila lah yang paling sakit. “Rendi bakal nikahin Sila, secepatnya!” ucap Rendi kembali membuat janji. Mia dan Yudha terpaksa menerima itu, mana mungkin juga mereka membiarkan Sila merana sendiri, belum lagi kabar itu cepat menyebar di desa membuat nama baik keluarga dan usaha mereka di ujung tanduk. Bulan itu juga, Rendi dan Sila akan menikah, sedangkan semua persiapannya akan diurus oleh orang tua Rendi. “Kamu jangan banyak pikiran ya!” Mia mengantarkan Sila ke kamar tamu untuk sementara. “Maaf,” ucap Sila penuh sesal, dia malu sekali menampakkan wajahnya di depan Mia. Mia tersenyum. “Rendi yang salah, dia harusnya tau batasan. Sudah, kamu istirahat saja!” *** Sila diperlakukan sangat baik di rumah Rendi, akan tetapi semakin dekat dengan hari pernikahan mereka, sikap Rendi mulai terlihat berbeda. Bahkan, biasanya Rendi akan senang mendengarkan cerita Sila tentang kesehariannya sebagai ibu hamil, laki-laki itu mulai menjauh dan menyempitkan waktunya. Rendi sudah tak lagi memberi kabar meskipun itu hanya sekadar pesan singkat, pun jarang membalas pesannya. Di minggu akhir menjelang pernikahan mereka, Rendi banyak pulang malam dan berangkat lebih awal seolah ingin menghindari Sila. Malam itu, sengaja Sila menunggu kepulangan Rendi, tidak peduli rasa mual dan kantuknya yang hebat. Wanita itu duduk seorang diri, beberapa kali Mia meminta Sila untuk segera ke kamar, akan tetapi Sila tetap teguh pada pendiriannya hingga sebuah mobil terparkir di depan rumah, ia pun bergegas ke depan untuk menyambut sang calon suami. Namun, bukan Rendi yang Sila lihat, melainkan pria lain yang Sila ketahui sebagai kakak laki-laki Rendi dari cerita Mia beberapa waktu lalu. “Maaf,” ucap Sila tidak berani bertatapan dengan mata tajam calon kakak iparnya itu. Faris terdengar berdecak, lalu tanpa membalas ucapan Sila, laki-laki dengan koper di tangan kanannya itu melangkah masuk sambil menggelengkan kepalanya terheran. “Begitu seleranya Rendi, cih!” batin Faris melirik Sila sekilas. Sila kembali duduk menunggu kedatangan calon suaminya itu, hatinya semakin cemas memikirkan di mana Rendi sekarang. Terlebih lagi, besok akan menjadi hari besar bagi mereka berdua, bahkan tadi Mia telah menyelesaikan semua dan Faris sudah ada di rumah, padahal jarang sekali mau pulang dari luar negeri. Namun, laki-laki yang dia tunggu tidak kunjung tiba. Hampir saja Sila menyerah, tetapi dini hari Rendi tampak pulang, walaupun tidak menyapa Sila, setidaknya hati wanita itu lega karena Rendi kembali dan tidak meninggalkannya. Sila bisa beristirahat dengan nyenyak di sisa waktu yang ada, sebab besok pernikahannya akan digelar sederhana di rumah itu dengan tamu orang-orang penting saja bersama keluarga dekat. Pagi harinya, setelah segala persiapan telah selesai, pun Sila yang sudah berdandan cantik dengan baju pengantinnya itu dikejutkan dengan kabar menghilangnya Rendi. Laki-laki itu tidak ada di kamar, hanya ada sepucuk surat di mana Rendi menyatakan tidak mau menikah dengan Sila karena kejadian malam itu hanya terpaksa dan tidak bisa ia terima. Tidak ada yang tahu Rendi ada di mana, bahkan jejaknya pun tak bisa ditemukan. “Tan-tante ... Tante, aku─” “Nggak, kamu aman di sini dan nggak akan batal!” potong Mia membuat calon menantunya itu kuat, di perut Sila itu ada calon cucu keluarga Narendra, terlepas dari semua masa lalunya, anak itu tak berdosa. “Ris!” Faris merasa tersudutkan begitu sang ibu menyebut namanya, dari sorot mata Mia sudah mengartikan sesuatu yang buruk dan akan menjadi kemungkinan terburuk bakal terjadi. Tidak menunggu waktu lagi, Faris menolak dengan menggelengkan kepalanya. “Nggak, Ma!” ucap Faris memahami maksud tatapan Mia. Ia tidak mungkin menikahi Sila, sedangkan di hatinya telah bertahta wanita lain, pun Sila itu bekasnya Rendi dan telah hamil. “Nikahin Sila demi keluarga kita!” ucap Mia tegas. “Aku?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD