3. Pernikahan Yang Kacau

1353 Words
Mas Umar diam di ujung sana, belum menjawab pertanyaanku. Jantungku berdebar, apa dia berubah pikiran tentang pernikahan? Sebenarnya aku sendiri ragu. Orang tua Mas Umar pernah menyimpan dendam pada Abah beberapa tahun lalu, Abahku yang seorang dosen menolak ikut mendukung pencalonan ayahnya Mas Umar sebagai walikota. Padahal mereka berteman sejak kecil. Di daerahku, Abah termasuk orang berpengaruh dan memiliki banyak pengikut setia. Sering mengisi kajian, dihormati semua orang. Mendapatkan hati Abah sama saja mendapatkan kemenangan di pemilu. Sayangnya Abah tidak mau mendukung Ayah Mas Umar dan malah mendukung paslon lain yang merupakan bekas murid Abah, bisa ditebak siapa pemenangnya. Sejak saat itu keluarga Mas Umar memusuhi keluargaku, hingga ayah Mas Umar jatuh sakit beberapa bulan lalu dan meninggal. Tak lama kemudian Mas Umar datang ke rumah untuk melamar, katanya Abah dan ayahnya pernah berniat menjodohkan kami. Mas Umar dikenal sebagai orang yang cerdas dan tekun, dia adalah manager di salah satu perusahaan besar di Jakarta. Katanya dengan pernikahan bisa memperbaiki hubungan antar keluarga. Abah menanyaiku, sementara Ummi langsung membujukku karena Mas Umar punya pekerjaan yang bagus, Ummi ingin mendapat mantu kaya. Aku shalat istikharah, meminta petunjuk. Allah memberikan mimpi tentang pernikahan, aku pun menyetujui merasa itu jawaban dari Allah. Tapi dengan syarat Mas Umar harus mendukung keinginanku sebagai atlet. "Aku cuma mau ngomong kalau baju pengantin kita udah jadi, aku nggak sabar lihat kamu pakai baju itu di hari pernikahan kita." "Alhamdulillah, aku seneng dengernya." "Kamu pasti cantik banget, tapi pakai apapun kamu tetap cantik dan menggoda." "Maaf, Mas. Jangan ngomong kayak gitu, kita belum sah. Aku takut akan menimbulkan dosa." "Ah, iya. Aku cuma nggak bisa nahan diri. Ya sudah kalau begitu, kamu istirahatlah." "Mas juga istirahat. Jangan lupa shalat." "Iya." "Kalau gitu aku tutup dulu, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh." "Waalaikumsalam." Telepon ditutup. Aku mengembuskan napas berat, lalu tersenyum. Sepertinya Mas Umar sangat menyukaiku. Dia pernah bilang bahwa ia berbeda dengan ayahnya, ia tidak ingin mencalonkan diri sebagai walikota. Kalimat itu mirip Lazio di pesawat tadi, ia juga bilang berbeda dengan ayahnya yang kejam dalam memimpin bisnis. Lazio berniat membawa bisnis keluarganya ke arah yang lebih baik. Ah, kenapa aku malah teringat Lazio? Aku beristighfar dalam hati. Padahal saat mengobrol aku menjaga pandangan, tapi rupanya setan pandai membuat manusia lengah. Keesokan harinya aku naik pesawat ke Malang, sampai di rumah siang hari dan disuruh istirahat oleh Ummi. Persiapan pernikahan sudah 40% dan para saudaraku menghubungi, katanya mereka akan datang. Aku memiliki dua kakak laki-laki yang masih menempuh pendidikan di luar negeri dan satu adik laki-laki yang masih SMA. Aku juga memiliki adik angkat perempuan yang masih SMP. Keluargaku sangat ramai. Tak terasa hari pernikahan tiba, sebentar lagi aku akan menjadi pendamping hidup Mas Umar, kuharap dia menjadi orang pertama dan terakhir dalam hidupku. Kami akan berjuang bersama membangun rumah tangga dan mencapai cita-cita. "Ummi senang sekali, tidak menyangka kamu sebentar lagi menjadi seorang istri. Umar akan membahagiakanmu." Ummi memelukku. "Dari kecil kamu berbeda, Abah tidak menyangka kamu mau menerima perjodohan." Abah terlihat menitikkan air mata melihatku memakai gaun pengantin, buru-buru ia seka. Aku mendekat dan memeluk Abah, sebagai anak perempuan aku sangat manja di hadapan kedua orang tuaku. "Ini semua karena doa-doa Abah dan Ummi, Zeya bisa sampai sejauh ini." Abah mengusap kepalaku. "Kamu adalah kebanggaan keluarga, satu-satunya atlet di keluarga kita. Begitupun kamu tidak meninggalkan agamamu. Pasti kamu juga bisa menjadi istri dan ibu yang baik." Aku melepas pelukan, menatap mata Abah. "Kalau begitu, pas aku bertanding di Asia Games, Abah harus lihat langsung." "Insyaallah, jika diberikan umur oleh Gusti Allah, kita sekeluarga akan datang termasuk keluarga suamimu." Ummi menambahkan. "Sekarang kamu tidak akan bolak-balik ke Jakarta sendiri, Umar akan selalu menemanimu. Di Jakarta, katanya dia punya rumah yang cicilannya sebentar lagi lunas, dia juga punya mobil, kamu harus segera belajar nyetir." Dari arah pembicaraan ini aku tahu bahwa orang tuaku berekspektasi tinggi pada Mas Umar. Abah memandang Mas Umar dalam segi kedewasaan dan Ummi dari segi materi. Abah dan Ummi keluar kamar, menemui tamu yang berdatangan. Sementara kedua kakakku sudah di depan sejak tadi. Di kamar ini hanya ada aku, tukang rias pengantin dan adik angkat. Jantungku berdebar kencang, tanganku dingin ketika adikku bilang katanya Mas Umar sudah datang, aku mengembuskan napas berat beberapa kali. Mencoba mengurangi rasa tegang. Hingga, suara keributan terdengar. Aku dan adikku saling pandang. Terdengar suara teriakan dari luar yang begitu keras seperti benda dilempar. Aku berdiri, mengangkat gaun dan pergi keluar. Di tempat ijab kabul terlihat Mas Umar memakai baju biasa sedang bersitegang dengan kakak pertamaku. "Kau pikir siapa yang mau menikahi perempuan seperti adikmu?!" teriakan dari Mas Umar. Dia tersenyum meremehkan. Aku melangkah mendekat, orang-orang berdiri melihat keributan di tengah. Lagu yang tadi diputar berhenti. Para tamu mengamati pengantin pria yang hanya memakai kaos dan celana biasa. Aku menoleh ke Abah, ia memegang dadanya dan ditenangkan Ummi dan kakak keduaku. Sebenarnya apa yang terjadi? "Jadi kau memang berencana membatalkan pernikahan ini dan membuat keluarga kami malu?" tanya Kakak pertamaku. Dia menahan nada suaranya. Kakakku orang berpendidikan, ia tidak pernah melakukan kekerasan apalagi bertindak gegabah. Baru kali ini aku melihat dia mengepalkan tangan dengan wajah memerah. "Kau pikir aku mau menikahi gadis rusak seperti Zeya? Di Jakarta sana, ntah sudah berapa kali dia tidur dengan lelaki. Kelihatannya saja bercadar, tapi sebenarnya dia gadis yang lebih busuk dari pezina!" "Diam!" Teriak kakak pertamaku. Mencengkeram baju Mas Umar. Efek perkataan Mas Umar adalah orang melihatku dengan berbisik, ini fitnah. Mas Umar melempar foto-foto perempuan, orang-orang mengambil dan melihatnya. "Itu adalah adikmu, dia tidur dengan banyak lelaki. Kalau kalian tidak percaya kita bisa membuktikannya dengan melepas cadar dan hijab wanita itu!" Semua orang melihat ke arahku sembari mencocokkan foto, sekarang aku tahu situasinya. Mas Umar memang ingin mempermalukanku. Maju mundur sama saja aku jatuh ke lubang. Kalau aku tidak mau membuka cadar dan hijab, maka aku mengakui bahwa wanita di foto itu adalah aku. Tapi kalau aku membuka cadar dan mengurai rambutku sama saja aku menggadaikan prinsip. Ini jebakan. "Mau kubantu?" tanya seseorang tiba-tiba. Aku menoleh. Terkejut mendapati Lazio yang sudah rapi dengan setelan jas. Ternyata dia sungguh datang. "Apa yang bisa kamu lakukan untuk membantuku?" tanyaku. "Aku bisa melakukan apapun," jawabnya santai. Aku mengembuskan napas berat dan maju, tidak membutuhkan orang asing dalam urusan ini. Aku bisa mengatasi sendiri dengan memilih pilihan yang diberikan Mas Umar. "Aku tidak akan membuka cadar di hadapan semua orang, kamu sendiri sudah tahu bagaimana wajahku ketika melamarku dulu. Fitnah yang kamu lakukan sangat kejam sampai aku yakin Allah akan murka." Mas Umar melepaskan cengkraman tangan kakak pertamaku di kerah bajunya. Ia masih membawa selembar foto. Mengangkatnya ke atas. "Benar, aku pernah melihat wajahmu. Dan aku bersumpah demi Allah bahwa wajahmu sama seperti wanita rusak yang ada di foto ini!" Andai aku membawa pistol, sepertinya aku akan lepas kendali dan menembak mulutnya yang berbohong itu. Dia berani membawa nama Allah. "Dengar semuanya, wanita itu adalah anak perempuan keluarga Abdillah yang rusak. Pura-pura bercadar dan baik, padahal aslinya di Jakarta berkelakuan liar!" Bugh Kakak pertamaku melayangkan pukulan di wajah, Mas Umar tidak terima dan balas memukul. Keluarga Mas Umar maju dan terjadi baku hamtam. Semua sangat kacau. Kursi tamu berserakan, dekor hampir ambruk, Kakak pertamaku hampir saja menghantam kepala Mas Umar memakai vas bunga. Para tamu undangan melerai mereka hingga suasana sedikit reda. Sementara Lazio duduk sembari menonton. Aku mengembuskan napas berat. "Apapun yang dibilang Mas Umar adalah kebohongan, wanita di foto itu bukan saya. Demi Allah ini fitnah!" "Kalau begitu buktikan!" Teriak Mas Umar. "Iya, coba buktikan." Keluarga Mas Umar bersuara. "Apa dia bisa membuktikan? Dari kecil kan dia udah hidup di Jakarta. Katanya di sana pergaulannya bebas," ucap salah seorang warga. "Jangan-jangan benar yang dikatakan calon suaminya." Orang-orang jadi ikut berspekulasi. "Kalau salah, kenapa harus membuat keributan seperti ini?" Bisikan orang-orang terdengar sangat jelas, aku melirik ke Abah yang lemas di kursi, kakak pertamaku yang babak belur. Kakak keduaku yang berusaha menenangkan Kakak pertama. Keluarga Mas Umar yang merasa menang. Dan Lazio yang hanya duduk menonton. Aku menoleh dan memberi isyarat kepada Lazio lewat tangan. "Tolong bantu aku." Kalau dia memang orang berpengaruh, kuharap dia punya solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah ini. Lazio menyunggingkan senyum menerima isyaratku. . . .. . bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD