2. Dia Sangat Pandai

1112 Words
Lazio mengangkat alisnya, menawarkan hal yang sulit ditolak siapapun. Ada alasan kenapa aku memposting kegiatanku di sosial media. Bukan niat menjadi selebgram, tapi peraturan lomba terkadang lucu. Para petinggi perlombaan sering mempersulit gadis bercadar. Aku berpikir untuk memiliki pendukung dengan memanfaatkan simpati followers, terkadang kekuatan netizen bisa mengalahkan peraturan pemerintah. Meskipun itu sangat sulit untukku karena taruhannya bisa dikeluarkan. Sebagai juara pertama di ajang PON. Seharusnya aku mewakili Indonesia di ajang Asia Tenggara. Tapi, pelatih dan petinggi perlombaan mempermasalahkan cadarku. Terus mendesak supaya aku melepaskan atau mundur dari kompetisi. Aku berdoa kepada Allah, meminta pertolongan supaya bisa ikut kompetisi tanpa melepas cadar. Membuka cadar sama saja dengan melukai harga diriku. "Kau akan membutuhkanku, jadi buatlah aku berhutang budi padamu." Kalimat Lazio sangat menarik, membuat hati ini goyah. Aku memang memerlukan orang berpengaruh untuk menekan para pemimpin. Apakah Lazio adalah jawaban Allah atas doa-doaku selama ini? "Mana buktinya kalau kau bisa mengambulkan keinginanku?" tanyaku. Harus ada bukti dulu. Lazio langsung mengeluarkan dompet, menunjukkan beberapa black card dan dollar yang sangat banyak. "Mau bukti lain kalau aku orang berpengaruh?" Aku menggeleng. Sudah cukup dengan jumlah dollar yang ada di dompetnya. "Lalu apa masalahmu sampai orang-orang itu mencarimu?" tanyaku. Aku tidak ingin menyelamatkan buronan atau kriminal. Jadi aku harus tahu dulu siapa sebenarnya Lazio. Berhati-hati itu penting sekalipun aku juga membutuhkan bantuannya. "Mereka saingan bisnis, pesawat jet ku disabotase hingga aku harus naik pesawat komersial." "Kau bukan buronan, 'kan?" "Mana ada buronan naik pesawat komersial dengan mudah?" Lazio balik bertanya. Sedikit membentak. Penjagaan di bandara sangat ketat, apalagi di bagian imigrasi Hongkong. Namun, Lazio mudah melewatinya. Itu berarti dia bukan kriminal. Perkataannya benar. "Bagaimana kalau aku tidak membantumu?" "Mungkin aku akan mati," jawab Lazio mengangkat kedua bahu. "Saat aku menjadi arwah aku kan menghantuimu yang tidak mau membantuku." Lazio mengancam dengan candaan, aku memutar bola mata jengah. Arwah membalas dendam hanya ada di film. Kalau sudah mati maka urusannya dengan malaikat di alam barzah. Tidak akan mengurusi urusan manusia lagi. "Baiklah, aku akan membantumu. Tapi ingatlah kamu berhutang budi padaku." "Aku berjanji." Lazio menjawab dengan cepat. Wajahnya tersenyum, seperti penasaran bagaimana cara aku menolongnya. Tidak ada salahnya menolong orang yang membutuhkan, terlebih bisa jadi aku membutuhkan bantuannya di masa depan. Dia terlihat seperti orang baik meskipun genit. "Ayo ke toilet, aku punya baju untukmu." Aku berjalan duluan meskipun tidak tahu di mana letak toilet pria. "Mau ke mana? Lewat sini," ucap Lazio. Aku berbalik karena salah arah, mengikutinya yang hafal letak toilet. Sesampainya di toilet aku memberikan jubah oleh-oleh untuk Mas Umar. Lazio terlihat aneh memakainya, ia mengerutkan kening. Sikapnya canggung memakai jubah putih layaknya pria Mesir. "Ini pakai sorban juga," kataku. Mengeluarkan sorban dari tote bag. Wajahnya begitu lucu, terlihat enggan tapi tidak ada pilihan. Ia mengambil dan memakainya. Mungkin karena dasarnya badannya tinggi dan gagah, jadi terlihat sangat pas. "Apa sekarang aku sudah mirip orang Mesir?" tanyanya. Memutar tubuh, berlagak seperti model. Membuatku terkekeh pelan. "Lumayan," jawabku. "Itu jubah oleh-oleh untuk calon suamiku. Jadi kau berhutang padaku." "Kau sudah mau menikah? Aku kecewa." Wajah Lazio mendadak muram. Aku yakin ia hanya bercanda. "Cepat pakai." "Aku akan datang ke pernikahanmu dan menunggu jandamu." "Pernikahanku tiga minggu lagi dan kamu nggak perlu menunggu jandaku." Lazio tertawa, pria berbadan tinggi itu menunjukkan jempolnya. Katanya kebanyakan orang kaya angkuh. Tapi, sepertinya Lazio berbeda. Dia humoris. "Pakai juga kacamata hitam ini," ucapku menambahi aksesoris penyamaran. Sekarang kami terlihat seperti pasangan Mesir, berjalan di antara banyak orang dengan sangat ramai. Jantungku berdebar ketika salah satu orang yang mencari Lazio melirik ke arah kami. Mungkin karena terlihat mencurigakan, dua orang yang mencari Lazio mendekat. Langsung menghadang pria di sampingku ini. "Excuse me, sir." Jantungku berdebar sangat kencang, sepertinya penyamaran Lazio terbongkar. "Man robbuka," kata Lazio dengan aksen sok Arab. Membuat dua orang itu bingung. Jangankan dua orang itu, aku saja langsung menoleh bingung. Bagaimana bisa Lazio menanyakan siapa tuhanmu seperti malaikat mungkar nangkir? "Sorry, we--" "Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannaar." Lazio memotong ucapan dua orang itu dengan melafalkan doa mau makan, hanya saja lagaknya seperti orang Arab yang sedang berbicara. Aku menahan tawa di balik cadar, Lazio sangat pintar akting sampai membuat dua orang berwajah Chinese itu kebingungan. "Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut!" ucap Lazio lagi seolah marah karena telah dihadang. Ia melewati dua pria itu dengan tangannya yang bergaya seperti orang mengoceh. Aku mengikutinya dari belakang sembari menunduk, kami berhasil melewati orang-orang yang mencari Lazio dan berjalan beriringan menuju gate. "Bukankah aku sangat pintar?" tanya Lazio bangga. Mengedipkan sebelah mata. Aku mengangguk, mengakui bahwa dia hebat berakting. "Kau pintar akting, melafalkan doa mau makan dan mau tidur." Lazio menggaruk belakang kepalanya sembari tertawa. "Aku cuma hafal itu." Katanya pengusaha harus ramah dan menyenangkan, kupikir Lazio memang pengusaha hebat. Ia pandai melihat situasi. Memanfaatkan segala sesuatu yang ada di depan mata dengan sebaik mungkin. Kami mengobrol selama menunggu di gate, dia pandai mengimbangiku yang kata orang-orang kaku. Ia juga berjanji akan datang di hari pernikahanku dan menghadiahkan hal paling keren sebagai seseorang sahabat. Dia sahabat pria pertamaku. Ia menghargaiku yang menjaga jarak dan obrolan kami nyambung. Kalau tidak ada Mas Umar, mungkin aku akan terpesona padanya. Kami naik ke pesawat setengah jam sebelum take off. Obrolan kami berlanjut dengan membahas apa yang kami lakukan di Mesir. Ternyata Lazio menemui rekan bisnis. Ia kesulitan pulang karena pesawat jet pribadi disabotase saingan bisnisnya. Terpaksa demi keamanan ia naik pesawat komersial, sementara asistennya tetap di Mesir untuk membereskan kekacauan. "Nggak kerasa kita harus berpisah di sini," kata Lazio. "Aku sedih." Kami sudah berada di bandara Soekarno Hatta. Aku harus naik pesawat lagi menuju Jawa Timur besok pagi. Sementara tujuan Lazio Jakarta. Lazio masih memakai jubah dan sorban dariku. Katanya buat kenang-kenangan. "Kamu cukup menyenangkan, aku permisi duluan." "Tunggu!" Panggilan Lazio menghentikan langkahku. Aku kembali menoleh, melihatnya yang seperti tidak ingin berpisah sekarang. "Ada apa lagi?" "Aku akan datang di hari pernikahanmu, jadi tunggu aku." Aku mengerutkan kening, kenapa harus menunggunya? Kalau mau datang maka tinggal datang. Dia bukan pengantin laki-laki yang perlu ditunggu. "Baiklah," jawabku sekedarnya. Aku berniat menginap di bandara sampai penerbangan besok jam 4 pagi, aku berjalan melewati rombongan pria berjas hitam dari arah berlawanan. Para rombongan itu berwajah malayu dan berbadan tinggi besar. Aku mengirim pesan ke Abah bahwa besok sudah sampai di Malang. Ternyata ada pesan dari Mas Umar. Menyuruhku menelepon kalau sudah sampai. "Hallo, assalamualaikum, Zeya." "Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh, Mas. Ada apa? Aku baru sampai Jakarta." "Aku mau ngomong sesuatu," katanya. Mas Umar adalah orang yang pendiam, sejak kami dipertemukan. Ia tidak memberikan pendapat apapun dan hanya ikut kemauan orang tua kami. Sekarang tiba-tiba mengirim pesan dan bilang ingin berkata sesuatu. Aku sedikit tegang. "Ngomong apa, Mas?" bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD