Apa Ini Karma?

1033 Words
Hari yang ditetapkan oleh Nathan pun tiba, mereka benar-benar menikah tanpa mengadakan pesta pernikahan. Putra pun dengan terpaksa harus memberikan restu kepada keduanya serta melepas putrinya yang langsung dibawa pergi oleh pria kejam itu ke rumahnya. "Nathan! Apa-apaan ini?" tanya Rina yang tak lain adalah ibu dari Nathan. Beliau baru saja melayangkan sebuah tamparan tepat di pipi kiri putra sulungnya agar secepatnya tersadar kalau apa yang dilakukannya adalah kesalahan besar. Ya pernikahan yang terjadi di antara Nathan dan juga Alana memang tidak diketahui oleh keluarga pria itu melainkan hanya ia dan asisten pribadinya yang bernama Radit. "Ma, sabar nanti penyakit Mama bisa kumat," kata Azka memperingati agar sang mama tetap mengontrol dirinya. "Tapi Kakakmu memang sudah benar-benar gila, Azka. Beraninya dia menikah dengan wanita yang sudah membunuh Kakak iparmu beserta calon cucuku," timpal Brahma dengan rahangnya yang mengetat serta tatapan tajam yang membuat Alana menundukkan kepalanya karena merasa takut. Sungguh jika ia bisa memilih ia pun tidak menginginkan pernikahan ini hanya saja rasa bersalah serta teror dari Nathan lah yang membuatnya dengan terpaksa membuat keputusan demikian. "Kenapa kalian heboh sekali? Ini hanya pernikahan biasa yang didasari tanpa rasa cinta," ucap Nathan yang masih terdengar santai sambil memegang pipinya yang sakit. "Apa kau pikir pernikahan ini adalah sebuah permainan?" tanya Rina yang tidak habis pikir dengan pemikiran putranya tersebut. "Aku hanya membutuhkan rahimnya untuk mengandung anakku, penerus keluarga ini, Ma, Pa." Nayla berjalan mendekat ke arah Alana dan merangkul wanita itu sambil tersenyum puas. Pria itu merasa senang karena keluarganya nanti mungkin akan membantunya membuat hidup Alana nanti bagaikan di neraka. "Jadi setelah anak itu lahir akan aku pastikan untuk menceraikan wanita ini," lanjut Nathan lalu mendorong tubuh Alana menjauh darinya. "Aku tidak sudi jika harus memiliki cucu dari seorang pembunuh!" ucap Brahma dengan penekanan di akhir kalimat. "Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi jadi sebaiknya kau bawa saja dia ke paviliun milikmu dan ingat jangan pernah datang ke rumah utama," tambah Brahma lalu meninggalkan mereka semua. "Ya tuhan, apakah ini semua karma atas kesalahan yang sudah aku perbuat? Wajar saja mereka membenci diriku karena aku sudah menghilangkan nyawa orang yang paling berarti di rumah ini terutama di hati Nathan." "Hei kau, apakah kau tuli sehingga masih tetap di sini?" bentak Rina yang membuat Alana menoleh ke arah Nathan. "Kak segera bawa wanita itu ke paviliunmu, aku tidak ingin kalau penyakit Mama sampai kambuh lagi," pinta Azka dengan nada memohon. "Baiklah, aku akan pergi sekarang," kata Nathan sambil menarik tangan Alana dengan kasar. Ya ampun, apakah seperti ini sifat asli Nathan yang sebenarnya? Tidak bisakah ia berbuat baik walau hanya sebentar kepada Alana? Alana berusaha menyamai langkah kaki Nathan yang berjalan seperti orang kesetanan tersebut. Tangannya pun terasa sakit karena pria itu menggenggamnya terlalu erat. "Nat, aku mohon bisakah kau melepaskan tanganku? Ini sakit sekali," keluh Alana tapi tidak digubris oleh Nathan. Mereka pun sampai di sebuah paviliun yang luasnya tak berbeda jauh dengan rumah utama, megahnya pun sama malah terlihat lebih jauh dari rumah utama karena memang memasang konsep rumah modern. Di sana juga sudah ada beberapa pelayan yang menyambut kehadiran keduanya. "Sekarang kau tinggal di sini bersamaku tapi ingat kau hanya tidur di kamar tamu bukan di kamarku," kata Nathan memperingati karena ia tidak mau kamar penuh kenangan bersama almarhumah istrinya di kotor oleh kehadiran Alana. "Dan ingat satu hal lagi, kapanpun dan di manapun aku membutuhkanmu kau harus segera datang menemuiku tanpa kata terlambat atau kau akan merasakan hukumannya nanti." Alana memberikan respon dengan menganggukkan kepalanya. "Sekarang pergilah ke kamarmu di lantai atas lalu pakai pakaian yang sudah Radit siapkan untukmu. Dan jangan pernah mengenakan pakaian murahanmu itu selama bersamaku." Entah sudah berapa kali Alana menerima makian serta direndahkan seperti ini oleh pria itu tapi rasanya tetap saja sakit hingga ke bagian terdalam hatinya. Setelah Alana masuk ke dalam, Azka datang untuk menemui kakaknya yang dirasa kurang waras tersebut. "Apa maksudmu dengan menikahi wanita itu? Bukankah kau sangat membenci dirinya?" tanya Azka yang tidak habis pikir dengan tingkah kakaknya yang di luar nalar tersebut. "Bukankah sudah jelas tadi aku sampaikan ketika di rumah utama? Apa kau sudah lupa?" Nathan balik bertanya. "Iya tapi aku tahu betul bagaimana rasa sakit hatimu serta bencinya kau dengan wanita itu, Kak." "Ayolah, aku hanya ingin dia merasakan hal yang sama sepertiku," kata Nathan. "Tapi Kak…." "Berhenti bertanya dan nikmati saja drama yang aku buat atau kau mau ikut menyiksanya silakan saja, aku tidak keberatan justru aku sangat senang ada yang membantu," potong Nathan. "Baiklah, Kak." "Sebaiknya kau pergi sekarang karena aku masih ada urusan yang harus ku urus," usir Nathan kepada sang adik. Nathan pun meninggalkan Azka yang masih bergeming. Pria itu melangkahkan kaki menuju kamarnya di lantai dua. "Sayang, aku berjanji akan membalaskan dendamku kepadanya mulai hari ini, tak akan aku biarkan satu hari pun untuknya tersenyum ataupun melewatkan siksaan dariku," ucap Nathan sambil memegang bingkai foto yang yang berada di meja dekat tempat tidurnya. Namun bersamaan dengan itu pintu kamar mandi terbuka menampilkan Alana yang baru saja selesai mandi dengan tubuhnya yang dililit handuk. "Kau, kenapa ada di sini?" tanya Nathan dengan tatapannya yang tajam. "Maaf aku kira ini ka–" "Kau benar-benar sudah membuatku marah!" Nathan berdiri dan mendekat ke arah Alana, wanita itu berjalan mundur karena merasa takut dengan sosok Nathan yang terlihat sangat mengerikan dan siap menerkamnya. "Aku mohon ampuni aku karena aku benar-benar tidak tahu jika ini kamarmu, kau juga tadi tidak memberitahuku di mana kamarku kan?" ucap Alana yang berusaha membela dirinya. "Tapi setidaknya kau bisa bertanya lebih dulu kepadaku ataupun kepada pelayan yang ada di sini, kau punya mulut, bukan?" Nathan seakan tidak memperdulikan alasan Alana yang bisa sampai di kamarnya begitu saja. Yang jelas apa yang dilakukan wanita itu sudah sangat lancang sekali. Pria itu meraih tangan Alana dan memegang dengan kuat lalu menyeretnya untuk segera keluar dari kamarnya. Sumpah Alana merasa sangat malu sekali karena ia harus keluar dalam keadaan seperti ini dan Nathan tidak peduli akan hal itu. Dengan erat salah satu tangan Alana memegang ujung handuk agar tidak terlepas dari tubuhnya. Sesampainya di kamar tamu, Nathan menghempaskan tubuh Alana hingga terjatuh di atas kasur. "Apa kau sekarang sudah tahu di mana letak kamarmu berada? Atau haruskah aku yang mengingatkannya lagi dengan caraku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD