Part 4

2340 Words
"Tidak. Tapi aku punya sesuatu yang sangat menarik buatmu. Amat sangat menarik malahan." Darius tersenyum. Matanya menatap penuh kelembutan, tapi penuh maksud tersembunyi yang sangat berbahaya di baliknya. Deg... Rea membeku. Karena, amat sangat menarik untuk Darius, itu berarti amat sangat berbahaya untuknya. Rea mengerjapkan mata, berusaha menghalau air mata yang ingin mengalir deras karena kisah sedihnya. Lalu menatap Darius dengan kening sedikit berkerut, antara praduga yang menakutkan ataukah praduga kekejaman penuh ancaman mematikan pria itu. Karena memang hanya dua hal itulah yang mengelilingi seorang Darius Enrio Farick. Rea menahan nafasnya, menunggu Darius mengeluarkan suara. Namun, pria itu malah melihatnya dengan senyum geli yang melengkung di bibir. "Kenapa kau begitu tegang, sayang?" Darius hampir tidak bisa menahan tawa yang ingin keluar dari bibirnya, tapi ia menahannya. "Aku bukannya akan memakanmu hidup-hidup." Brengsek... Sialan... Berbagai macam sumpah serapah ingin disemburkan Rea pada Darius. Pria ini menertawakan ketakutannya. Mempermainkan perasaan, pikiran dan kerja jantungnya dengan sangat kejam. "Dan aku juga bukannya akan membuatmu mati dengan kekejamanku, Rea." Darius mengucapkan kata mati dengan tanpa memedulikan pandangan ngeri yang terpampang jelas di wajah Rea. "Jadi, bisakah kau tidak memperlihatkan wajah ketakutanmu itu padaku, sayang? Aku ini kekasihmu. Sebentar lagi akan menjadi suamimu. Aku tidak mungkin melukaimu." Darius berhenti, lalu dalam sedetik wajahnya berubah menjadi berbahaya. "Walaupun tidak menutup kemungkinan aku bisa melukaimu kalau kau mencoba bertindak bodoh." Darius mengerutkan kening sedikit, tampak berpura-pura berpikir dan berkata "Merencanakan untuk melenyapkan anakku, mungkin?" Ancaman yang diucapkan dengan nada dan suara penuh kelembutan itu mampu membuat Rea menciut. Bukan sekali dua kali ia melihat bukti dari kekuasaan Darius. Bukti bahwa ancaman yang keluar dari mulut pria ini tidak pernah main-main. Walaupun bukan dia sendiri yang mengalami bukti nyata akibat mencoba menantang Darius. Darius menarik tengkuk Rea dengan lembut, mendaratkan bibirnya di bibir Rea dan menikmati kelembutan bibir yang tidak pernah membuatnya bosan itu selama beberapa detik. Lalu tersenyum puas dengan ketidakberdayaan wanita ini. Rea hanya diam diperlakukan seperti itu, ia tahu lebih baik menuruti apa pun keinginan Darius jika suasana hati Darius sedang berbahaya seperti ini. Rencana pemberontakan yang belum sempat terpikirkan, sebaiknya ditunda saat situasi dan waktu mendukungnya nanti. Beruntung Darius tidak memperdebatkan dirinya yang tidak membalas ciuman pria itu. Tok ... tok ... tok ... Terdengar pintu ruangan Rea diketuk dari luar, dengan hati sesak yang mendadak lega, segera Rea bangkit dari pangkuan Darius dan membenarkan rok hitam pensilnya yang sedikit kusut. Darius menatap tidak suka ke arah pintu. Siapa yang berani menganggu waktu bersenang-senangnya. "Masuk," perintah Darius dengan nada dan suara dinginnya. Segera pintu terbuka dan menampakkan sosok sekretarisnya yang berwajah datar itu. "Ada apa, Sherlyn?" tanya Darius masih dengan nada dingin. Ia sudah mengatakan pada sekretaris sekaligus tangan kanannya itu untuk tidak mengganggu waktu 30 menitnya ketika menemui Rea di ruangan wanita itu. "Maaf, Darius. Tapi ada yang harus kukatakan padamu, mamamu sedang menuju ke ruanganmu," jawab Sherlyn dengan raut datarnya, beruntung dia punya alasan yang sangat tidak bisa ditolak oleh pria itu untuk menganggu waktu berkencan dengan wanita yang berdiri di samping Darius. "Ada urusan apa mama tiriku kemari?" tanya Darius sengit. Sherlyn mengedikkan bahunya sedikit. "Baru saja Alan yang mengabariku. Aku akan menelfonmu tapi ponselmu tertinggal di meja kerja." "Baiklah,  sebentar lagi aku ke atas," perintah Darius singkat dengan mata menatap tepat di manik mata Sherlyn. Sherlyn tahu arti perintah dan tatapan itu adalah pengusiran secara halus untuknya agar segera keluar dari ruangan ini. Dengan tatapan tidak suka itu, Sherlyn harus segera membalikkan badan dan menghilang di balik pintu ruangan sialan ini. Darius bangkit dari duduknya setelah Sherlyn menutup, menarik pinggang Rea dan mengecup kening Rea sejenak. "Aku harus menemui mama tiriku. Nanti Ben akan menunggu dan mengantarmu pulang karena aku ada pertemuan dengan klien." "Aku bisa pulang sendiri, Darius," jawab Rea datar. "Kau bisa, tapi sepertinya hari ini kau memerlukan Ben untuk mengantarmu menjenguk ibumu." Seketika Rea membeku, telinganya baru saja mendengar bahwa Darius menyebutkan ibunya, kan? Mungkinkah ia salah dengar? Langsung saja ia mendongak menatap Darius yang berdiri di depannya penuh ketidak percayaan, "Ii ... ibuku?" Darius mengangguk sekali. "Aku sudah menemukannya, walaupun tidak dengan kondisi seperti yang kau harapkan." Kerutan di kening Rea semakin dalam. Menjenguk? Tidak dengan kondisi seperti yang diharapkannya? "Apa ... apa maksudmu, Darius?" Suara Rea terdengar penuh kekhawatiran. Tidak perlu menanyakan kebenaran pendengarannya. Tatapan Darius sudah cukup sebagai jawaban atas pertanyaannya. "Kau akan melihatnya sendiri tiga jam lagi." Darius melirik jam tangannya. "Bagai ... bagaimana kau tahu? dan bagaimana mungkin kau bisa menemukannya?" Darius tersenyum geli dengan pertanyaan konyol itu. "Apa aku juga harus menjawab pertanyaan bodohmu itu?" Tentu saja tidak perlu. Dengan kekuasaan dan uang milik Darius, pertanyaan bodohnya itu tidak memerlukan jawaban. Ia terlalu terkejut dengan berita itu, membuatnya tanpa sengaja melontarkan pertanyaan tersebut. "Aku harus ke atas. Pulang kerja langsunglah ke basement, Ben akan menunggumu di sana." Darius menundukkan kepala lagi, mengecup bibir Rea, dan melepaskan rangkulannya di pinggang Rea sebelum melangkah keluar dari ruangan itu. "Darius ..." panggil Rea segera sebelum Darius memutar handle pintu. Darius berbalik, menatap Rea yang masih belum tersadar dari keterkejutan dengan berita yang dibawanya. "Bisakah aku menemuinya sekarang?" "Tidak. Sekarang Ben sedang ada urusan dan baru selesai nanti sore." "Aku bisa pergi sendiri," sahut Rea segera. "Aku tidak ingin kau pergi sendiri," sambar Darius tak terbantahkan. "Kau menunggu kabar ibumu selama sepuluh tahun, tidak bisakah kau bersabar hanya selama tiga jam untuk menemuinya?" Ya, ia mencoba bersabar selama sepuluh tahun mencari kabar tentang ibu yang telah meninggalkannya bersama ayah pemabuk dan penjudi itu. Tentu saja ia tidak akan keberatan jika hanya disuruh menunggu tiga jam saja. Walaupun ia tidak yakin akan bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan benar karena dipenuhi perasaan tak sabar dan rasa penasaran tingkat tingginya. Namun, tetap saja ia menganggukkan kepala mengiyakan perintah Darius. Sial.... Selalu saja pria itu mampu membuatnya tunduk dengan semua perintah-perintah dan keinginan seorang Darius. Bukan itu yang harus dipikirkannya saat ini. Karena saat ini pikirannya dipenuhi dengan ibunya. Apa yang harus ia katakan ketika mereka bertemu nanti? Berbagai macam pertanyaan yang selama ini menghantuinya, ingin dimintanya jawaban pada wanita itu.   *** Darius membuka pintu ruangannya, melihat Nadia Farick yang berdiri di dinding kaca yang menampakan pemandangan kota dari lantai 21. "Ada apa Mama kemari?" tanya Darius tanpa basa-basi begitu duduk di kursi kebesarannya. Ia tidak punya alasan untuk menyukai wanita yang menggantikan posisi mamanya ini. Paling tidak, ia tahu wanita ini menikahi papanya bukan karena harta yang dimiliki keluarga Farick. Seperti kebanyakan wanita-wanita yang mendekati Daniel Farick setelah mamanya meninggal. Melihat latar belakang Nadia Farick sebagai anak tunggal Chase Casavega, pemilik perusahaan nomor satu di negeri ini, sudah tentu istri papanya itu sebagai pewaris tunggal Casavega Group, Darius tahu harta bukanlah segalanya bagi wanita ini. Darius juga tidak punya alasan untuk tidak menyukai Nadia Farick. Tepatnya, sebelum wanita ini mengetahui hubungannya dengan Rea dan bersikeras melarang hubungan mereka karena alasan status dan kedudukan mereka berdua yang sangat tidak sepadan. Bagaikan langit dan bumi. Darius tertawa dalam hati dengan alasan tersebut, itulah kenapa Rea bersikeras melarikan diri darinya hanya untuk melemparkan diri pada Raka Putra Sagara. "Apa kau masih berhubungan dengan wanita itu?" "Jangan beri aku alasan untuk membenci Mama," jawab Darius datar. Ia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Jika Mama kesini hanya untuk membicarakan hal itu, Mama tahu di mana pintu keluarnya." Nadia menarik napasnya kasar dan matanya terpejam. Kemudian menghembuskan dengan pelan seakan mempersiapkan diri untuk pembicaraan mereka selanjutnya. "Jauhi wanita itu, Darius. Sebelum kau menyesal." "Mama tahu jawabanku, dan jawabanku masih sama seperti terakhir kali kita bicara." Sejenak Nadia terdiam mendengar jawaban keras kepala putra tirinya itu, lalu melemparkan amplop coklat yang diambil dengan tidak sabaran dari dalam tas ke meja Darius dan berkata, "Wanita itu hanya memanfaatkanmu saja." Darius terdiam, melirik amplop coklat itu dengan kening sedikit berkerut, tapi tetap mengulurkan tangan untuk meraih amplop itu dan mulai membuka isinya. Mengabaikan perasaan tercabik-cabik di dadanya ketika ia melihat foto-foto Rea dengan Raka di sebuah restoran dan tetap melanjutkan melihat-lihat gambar selanjutnya. Kebanyakan foto itu menunjukkan kemesraan mereka di tempat umum. Lalu gerakan Darius terhenti ketika melihat sebuah foto Rea dengan lelaki paruh baya yang tampak berantakan dan lusuh. Memaksa Rea dengan menarik pergelangan tangan. Keningnya berkerut lebih dalam pada sosok lelaki paruh baya itu. Siapa dia? Darius melanjutkan melihat foto lainnya dan kembali melihat Rea dengan lelaki paruh baya itu. Sampai lembar foto terakhir yang ia lihat, semuanya menampakkan Rea dengan lelaki paruh baya yang sama dan semuanya hampir terlihat ada konflik. Lelaki paruh baya itu juga terlihat dengan rambut dan baju yang acak-acakan, tak terawat dan selalu terlihat bengis ketika memaksakan kehendak pada Rea. Jika foto ini diambil selama mereka berpacaran, apa itu yang membuatnya beberapa kali menemui pergelangan tangan Rea tampak lecet dan sedikit memerah. Namun, setiap kali ia menanyai penyebabnya, Rea selalu mengabaikan dan menghindari topik tersebut. "Apa dia tidak memberitahumu tentang ayahnya?" Suara Nadia terdengar penuh kepuasan. Ayah? Mungkinkah laki-laki itu ayahnya Rea? Darius kembali menatap foto terakhir yang ia lihat masih berada dalam genggamannya. Rea tidak pernah sekalipun membicarakan tentang keluarga wanita itu. Selalu menutup diri jika ada ia menyinggung tentang kedua orang tua. Fakta tentang ibu yang menghilang bertahun-tahun yang lalu pun diketahui oleh Darius tanpa sengaja. Karena wanita itu berkali-kali menghubungi seseorang yang dibayar untuk menyelidiki keberadaan sang ibu dan tanpa sengaja Darius mengangkat ponsel milik Rea ketika orang tersebut menghubungi. "Mantan napi, penjudi, pemabuk berat dan hidup menyedihkan karena terlilit hutang judi. Apa seperti itu macam mertua yang kau inginkan?" Sudut bibir Darius terangkat salah satu, rupanya mamanya telah menyelidiki latar belakang Rea. Walaupun mama tirinya itu sedikit membantunya untuk mengetahui tentang keluarga Rea. Tetap saja hal itu membuatnya semakin memperjelas alasan untuk membenci mama tirinya ini. Ini benar-benar mengganggu privasinya. Darius memasukkan kembali foto-foto itu ke dalam amplop dan meletakkan di meja. Kemudian menyandarkan punggung di sandaran kursi menampakkan ketenangannya saat menatap mama tirinya lekat-lekat. "Untuk apa Mama menyelidiki semua ini?" "Untuk menyadarkanmu dari kegilaan," jawab Nadia mantap, "buka matamu lebar-lebar, Darius." "Aku mencintainya, menginginkannya. Itu sudah cukup bagiku." "Darius ...." Nadia menegakkan badannya. "Kau tidak tahu apa yang kau lakukan dengannya." Darius menghembuskan napas berat, memaksa diri untuk menghadapi kebencian mamanya terhadap Rea. "Aku tidak punya waktu untuk membahas hal tidak penting seperti ini," jawab Darius dingin dan tajam. "Wanita itu hanya memanfaatkanmu saja, Darius." "Kita sudah pernah membahas masalah ini dan kupastikan ini terakhir kalinya kita membahas masalah ini." Darius menekan suara dan nadanya di kalimat terakhir. "Dia berpacaran dengan pria lain di belakangmu. Apa kau benar-benar sebodoh ini diperdaya olehnya?" Darius memejamkan mata demi menahan bara yang membakar dadanya sejak tadi. Entah berapa kali hari ini ia sudah bersabar tidak membiarkan bara api itu meluapkan amarahnya. Ia tak ingin mama tirinya itu berpuas diri melihat pengaruh perbuatan wanita itu atas dirinya, jadi dengan sikap santainya, Darius berkata, "Mereka hanya berteman dekat. Sudah sewajarnya mereka makan bersama setelah lama tidak bertemu." "Teman dekat?" Nadia menyeringai saat mengulangi kalimat anak tirinya itu. "Mereka pernah menjalin hubungan sejak mereka kuliah. Dan setelah keluarga Raka menentang hubungan mereka, kini wanita itu mengincarmu." "Hubungan mereka sudah lama berakhir," sambar Darius. Mulai tak tahan dengan pembicaraan ini. "Mereka masih bertemu di belakangmu." "Aku tidak pernah tidak tahu apa saja yang dilakukan olehnya dan aku sangat tahu apa yang sebenarnya terjadi." 'Kecuali ayah kandungnya,' tambah Darius dalam hati. Napas Nadia tertahan. "Buka matamu, Darius. Dia hanya memanfaatkan uangmu. Terutama ayahnya. Kau pikir apa yang akan dilakukan ayahnya jika tahu kau menyukai putrinya? Laki-laki itu benar-benar serakah dan tidak tahu diri. Kau tahu, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," dengkus Nadia. Ekspresi wajahnya berubah jijik. "Jangan buat perasaan tidak sukaku pada Mama berubah menjadi kebencian," Darius memperingatkan. "Mama hanya ingin membantumu, Darius." "Aku sama sekali tidak butuh bantuan apa pun dari Mama," tegas Darius. "Mama bisa keluar sekarang, dan jika Mama menemuiku hanya ingin membahas masalah ini, jangan harap aku akan mau menemui Mama lagi. Juga jika memang Mama masih ingin dipanggil dengan sebutan Mama, maka jangan membuatku membenci Mama." "Kau tidak mendengarkanku, Darius!" "Tidak ada yang bisa Mama katakan yang akan berarti untukku. Kalau Rea menginginkan uang, aku memilikinya dan akan menyerahkan setiap sennya kepadanya. Dan kalau Rea menginginkan pria lain, aku akan membuatnya melupakan pria itu. Aku rela menyerahkan ataupun melakukan apa pun untuk memilikinya. Karena aku mencintainya." Nadia mengangkat sebelah tangannya yang gemetar ke rambutnya. Menahan napas yang menyesakkan d**a, "Mama melakukan semua ini semata-mata karena Mama benar-benar menyayangimu, Darius." Darius membuang muka menghindari tatapan terluka mama tirinya itu. "Mama sama sekali tidak pernah membeda-bedakan kasih sayang Mama kepadamu maupun kepada Zaffya." Mendengar nama adik tirinya itu disebut, seketika Darius menatap Nadia Farick tak percaya, "Apa Mama juga akan menghancurkan hidupku seperti Mama menghancurkan Zaffya?" tanya Darius sengit. "Apa Mama kira aku tidak tahu apa yang Mama lakukan pada hubungan Zaffya dan Richard?" Seketika mulut Nadia terkatup rapat, tangannya semakin gemetar mendengar kalimat dan melihat tatapan tajam dan dingin Darius yang dilemparkan padanya. "Kalau Mama butuh tumpangan, Alan bisa mengantarkan Mama di bawah. Dan ...." Darius diam sejenak sambil lebih mempertajam tatapannya tepat di manik Nadia Farick, "... aku hanya bersedia menemui Mama ketika Mama datang padaku dengan restu yang kuharapkan. Karena aku tidak suka berdebat dengan Mama. Jadi jangan buat hubungan baik kita menjadi renggang." Darius kembali memejamkan mata setelah Nadia Farick menghilang di balik pintu ruangannya. Membenamkan jemari di rambutnya dan mendesah kesal oleh gangguan mama tirinya tersebut. Mata Dariua terbuka, melihat amplop yang tergeletak di meja. Setelah sejenak hanya terdiam memperhatikan amplop tersebut, ia menekan tombol 3 pada sambungan telfon. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan Farick?" jawab Diana di deringan pertama. "Sambungkan aku dengan Joshua di telepon. Sekarang!" pintah Darius dan langsung menutup telfon setelah menyelesaikan kalimatnya. Darius membuka kembali amplop coklat yang ada di hadapannya. Kembali mengamati foto-foto itu sambil menunggu panggilan. Bahkan mama tirinya tahu tentang ayah Rea lebih baik daripada dirinya. Telepon di meja Darius berdering, "Saya sudah tersambung dengan tuan Mileno untuk anda." "Sambungkan!" "Baik, Tuan." "Apa ada sesuatu yang perlu kucari tahu untukmu?" tanya Joshua begitu sambungan telfon sudah terhubung dengan tuannya. "Ya. Aku ingin laporannya dikirim ke apartemenku jam tujuh nanti." "Ok. Secepat yang kubisa, Darius."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD