Part 3

1878 Words
Raka menepati janji tepat satu jam kemudian. Setelah Darius keluar dari ruangannya, yang walaupun kecil tetapi  Rea merasa nyaman menggunakan ruangan itu, karena posisi sebagai asisten manager keuangan ia dapatkan atas kerja kerasnya sendiri. Tanpa bantuan dari siapa pun, termasuk bantuan dari pria b******k itu. Berkali-kali Darius meminta dirinya untuk bekerja sebagai sekretaris pria itu. Tentu saja Rea menolak, dengan seribu satu alasan. Salah satunya bahwa ia tidak mau dianggap sebagai wanita yang memanfaatkan kekuasaan kekasihnya untuk mendapatkan jabatan paling diincar kaum hawa di kantor. Mengingat ketampanan Darius yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Rea juga merasa menjual dirinya jika menerima tawaran Darius. Selain itu, ia juga tahu alasan utama Darius menawarkan jabatan itu, hanya karena supaya pria itu bisa selalu bersamanya. Alasan yang sama sekali tidak dibantah oleh Darius ketia ia melontarkan tuduhan tersebut. Benar-benar tidak profesional. Pengalaman sebagai kekasih seorang Raka Putra Sagara, membuat Rea tidak ingin menerima penghinaan yang ditujukan orang padanya, untuk kedua kalinya. Merayu atasan untuk mendapatkan jabatan. Jika saja ia bisa memilih untuk mencintai seseorang. Maka pilihannya akan jatuh pada Bumi. Teman masa kecil, sekampung halaman dan teman seperjuangan yang selalu setia mendampingi dalam susah dan senang. Bukan dari keluarga kaya raya seperti Raka ataupun Darius. Keduanya sama-sama dari keluarga sederhana yang bersama-sama merantau, mencoba merajut mimpi dan berjuang menaklukkan kota ini. Bukan mimpi Rea yang tercapai, tapi lihat apa yang harus sudah ia dapatkan di sini? Bahkan sekarang dirinya harus menikah dengan pemilik perusahan terbesar kedua di negeri ini. Plus, bukan pria yang Rea cintai. Memangnya keberuntungan apalagi yang bisa Rea dapatkan karena berani mencoba memanfaatkan seorang Darius Enrio Farick? "Apa kau masih membutuhkan bantuanku?" tanya Raka begitu membuka pintu ruangan dan menampilkan senyuman lebarnya. Membuat Rea ikut tertular dengan kebahagiaan pria itu dan melupakan masalah yang menggunung di depan mata. Begitu kuat efek yang dimiliki Raka untuk Rea. "Sedikit," jawab Rea sambil mengedikkam bahu sedikit, "Bantuanmu akan lebih berguna jika kau datang tiga puluh menit yang lalu." "Aku harus menemui ... klien di restaurant seberang kantor," jawab Raka sambil mendaratkan p****t di kursi depan meja Rea. Mengamati pekerjaan Rea yang sudah selesai. Rea menumpuk map-map yang ada di hadapannya menjadi satu. "Jam makan siang masih ada tiga puluh menit. Kita bisa makan di cafe depan kantor. Bagaimana?" Raka tersenyum lebar mengiyakan usulan Rea. *** "Apa kau baik-baik saja bekerja di kantor Darius?" tanya Raka ketika mereka baru saja memesan makanan. Menutup menu cafe di hadapannya dan menggeser ke samping. Rea menghembuskan nafas, pelan dan dalam. Kemudian mengangguk kecil sebagai jawaban. Lebih mudah memberikan anggukan itu sebagai jawaban daripada harus mengeluarkan suaranya. Ia tidak tahu bagaimana harus mengatakan atau memberitahu Raka apa yang membuat ia kacau akhir-akhir ini. Dan semakin parah, ketika Darius memanggilnya ke ruangan pria itu pagi tadi. Membicarakan tentang pernikahan mereka. Entah untuk yang keberapapuluh kalinya seminggu ini. Raka mendengkus, tidak terima Rea masih bekerja di kantor mantan kekasih wanita itu. Kemudian ia mengulurkan tangan kanan untuk meraih jemari tangan kiri Rea dalam genggamannya, "Bekerjalah kembali di kantorku." Rea tercenung, seketika sekelebatan masa lalu menguar di kepalanya. Ketika terakhir kalinya ia menginjakkan kaki di gedung Sagara Group. Penghinaan itu benar-benar menghantui Rea. Walaupun ia berjuta-juta kali memaki dirinya sendiri untuk menjadikan alasan bahwa penghinaan itu membuat Rea harus melupakan pria menawan yang ada di hadapannya saat ini, tapi ternyata cintanya lebih besar daripada sakit hati yang ia dapatkan di masa lalu. Saat itulah Rea putus asa pada hubungannya dengan Raka dan berlari ke pelukan Darius. Menjalin hubungan dengan Darius selama lebih dari setahun. Sampai kemudian tiba-tiba Raka kembali sebulan yang lalu dan menjelaskan kesalahpahaman mereka. Juga meminta maaf atas penghinaan keluarga pria itu padanya. Dan sialnya, hatinya selalu mampu terbuka lebar-lebar untuk Raka. Keduanya pun mencoba memperbaiki hubungan mereka, dan bom itu datang kembali untuk menguji  mereka. Bagaimana  Rea akan mencoba mengatakan pada Raka bahwa dia tengah hamil anak Darius. Walaupun Raka sudah tahu selama mereka berpisah ia menjalin hubungan dengan Darius, tapi nyatanya pria itu tidak keberatan. Karena pria itu tahu hati Rea hanyalah milik seorang Raka Putra Sagara. Toh, selama mereka berpisah, Raka juga menjalin hubungan dengan wanita yang dijodohkan dengan pria itu. Bertunangan lebih tepatnya, muram Rea dalam hati. "Dan merayu bosku lagi?" tanya Rea dengan nada sinis yang dibuat-buat. Walaupun hatinya mengatakan kesinisan yang sesungguhnya. "Aku tidak tenang kau bekerja pada bos sekaligus mantan kekasihmu itu." "Kau juga mantan kekasihku, " jawab Rea dengan sedikit nada bercanda. Raka tersenyum manis, semakin mempererat pegangan tangannya di jemari Rea, membuat wanita itu membalas tatapannya. Ia menarik nafas perlahan, mengatur nafas untuk bersiap-siap dan berkata, "Apa kau mau memulainya lagi denganku?" Rea mengerjap cepat. Apakah ini lamaran? Tentu saja. Ya. Tanpa memikirkan dua kali, pertanyaan itu akan langsung ia jawab iya. Tapi .... Seketika kegembiraan yang melayang-layang itu lenyap. 'Jika saja keadaanku tidak seperti sekarang,' miris Rea dalam hati. "Apa kau tidak mau?" tanya Raka lagi ketika Rea hanya bergeming dengan pertanyaannya. "Bukan begitu," jawab Rea lirih, sambil diiringi gelengan kepala. "Apa kau takut dengan penolakan keluargaku?" Wajah Raka dipenuhi penyesalan yang mendalam. Takut? Mungkin...ya. Dan bukan ketakutan pada penolakan mamanya Raka yang jadi masalah di sini. Melainkan ketakutan Rea pada Darius yang tidak akan menerima penolakan apapunlah yang lebih mendominasi perasaannya saat ini. "Mungkin," gamang Rea dengan suara lirih. Desahan lembut melewati bibirnya yang berkedut tak nyaman. "Aku berjanji akan memastikan mereka menerimamu sebagai bagian dari diriku," ucap Raka mantap. Penuh janji dan tekad yang kuat. Rea terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Memangnya apalagi yang harus ia katakan dengan janji yang diucapkan Raka itu? Ya? Lalu bagaimana dengan Darius? Tidak? Dan bagaimana ia menolak Raka, dengan cinta yang berseri-seri di wajahnya untuk pria itu? Pergulatan pertanyaan di dalam otaknya kembali membuat Rea kacau. "Hmm?" Alis Raka terangkat salah satu, menunggu. "Apa kau mau melangkah bersamaku lagi?" Raka mengulangi pertanyaannya lagi. Kali ini penuh keyakinan untuk Rea. "Bisakah ... bisakah kau memberiku waktu?" Mengulur waktu untuk memikirkan semuanya terlebih dahulu sepertinya pilihan paling baik yang harus Rea lakukan sekarang. Di saat masalah Darius yang belum terselesaikan masih menghantui. Ya, sepertinya Rea memang butuh waktu memikirkan cara untuk terlepas dari genggaman Darius sebelum berlari kembali ke pelukan pria yang sangat ia cintai ini. Butuh waktu untuk menyelesaikan masalahnya dengan pria b******k dan licik macam Darius. Raka tersenyum tipis, mungkin ia memang harus memberikan Rea sedikit waktu untuk berpikir. Penghinaan yang pernah dilemparkan mamanya pada Rea, sepertinya masih membekas di hati wanitanya ini. Ia memaklumi itu. Harus, karena dirinya juga ikut andil dalam luka tersebut. "Tentu saja. Aku tahu kau membutuhkannya," jawab Raka tenang dan penuh dengan kelembutan. Sambil mengelus-elus punggung tangan Rea dengan ibu jarinya. "Kurasa aku tidak keberatan menunggu." Selama beberapa menit kemesraan itu berlanjut, lalu diganggu oleh pelayan yang datang mengantarkan makanan pesanan mereka. Raka segera melepas genggaman tangannya dan mulai melahap makan siang mereka. *** Rea terperanjat kaget ketika membuka pintu ruang kerja dan melihat sosok yang paling dan sangat ingin dilenyapkannya dari muka bumi ini. "Kenapa kau begitu terkejut, Reaku?" Senyum geli menghiasi wajah Darius yang duduk di kursi Rea. Menyilangkan kedua kaki dan tangannya penuh keangkuhan. Aura kepemimpinanya masih tampak dengan jelas dari gerak tubuh dan cara Darius duduk, meskipun kursi yang pria itu duduki hanyalah kursi asisten manager keuangan. "Apa yang kau laukan di sini, Darius?" desis Rea sambil segera menutup pintu dengan cepat. Takut ada seseorang yang melintasi lorong dan melihat sang pemilik perusahaan ada di dalam ruang kerjanya,  di luar jam kerja. Walaupun di jam kerja yang tentunya masih tetap mengundang spekulasi. Buat apa pemilik perusahaan berada di ruangan staff rendahan? Ia tidak ingin ada gosip-gosip yang beredar mencium tentang hubungan mereka. Darius menyeringai, "Tentu saja ingin menemui kesayanganku." "Keluarlah, Darius. Aku tidak ada waktu melayani gurauanmu." "Waktu yang kau miliki hanya akan untukku, Rea. Jadi aku bisa melakukan apa pun sesukaku. Sekarang ...." Darius menatap tepat di manik mata Rea dengan tatapan tajam dan penuh ancaman yang terselip. "... kemarilah. Aku ingin bicara padamu." Pandangan Rea teralihkan dari mata Darius ke arah kedua tangan pria itu yang terulur ke arahnya. Sebagai pertanda, bahwa tempat yang harus ia duduki bukanlah kursi kosong yang ada di depan meja kerja, melainkan pangkuan Darius. "Ini di kantor, Darius." Darius melengkungkan bibirnya ke atas, menyeringai geli, "Dan ini kantorku." "Benar-benar tidak profesional," dengkus Rea. "Buat apa aku jadi bos jika aku tidak bisa melakukan apa pun sesukaku?" tanya Darius sombong. Namun, pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban. Karena memang dirinya selalu melakukan apa pun sesuka hati. "Sebaiknya kau cepat kemari sebelum aku yang mendatangimu, dan kau bisa menebak apa yang akan kulakukan padamu." Rea memejamkan mata seraya menarik nafasnya, pelan dan dalam. Mencoba menenangkan hatinya yang masih berkelit antara takut dan ingin memberontak dari kearogansian Darius. Sebelum kemudian mengangkat kaki dengan langkah berat menghampiri Darius. Darius memperhatikan langkah berat dan tertahan Rea dengan senyum penuh kepuasan yang ditahan. Menarik pinggang Rea dan mendaratkan di pangkuannya ketika Rea sudah berada dalam jarak jangkauan tangannya. "Reaku selalu begitu manis jika penurut seperti ini," bisik Darius sambil menangkup pipi Rea dengan tangan kanan. Mengelus lembut dan amat sangat perlahan pipi itu dengan ibu jarinya. Ia begitu menikmati setiap sentuhanya di setiap inci kulit mulus Rea. Rea hanya diam saja diperlakukan lembut seperti itu. Tak memedulikan dan mengalihkan pandangan matanya ke arah manapun, asalkan tidak melihat wajah tampan memuakkan yang ada di hadapannya ini. "Aku tidak suka kau makan bersama pria itu. Aku juga tidak suka melihatmu menghabiskan waktu dengan pria lain, Rea." Suara Darius terdengar sangat tenang, tapi seperti pepatah air tenang menghanyutkan, Rea tahu itu adalah peringatan untuknya. "Dan sebaiknya ini menjadi terakhir kalinya kau menemui pria itu." "Beginikah caramu mencintai, Darius?" lirih Rea. Menatap manik mata Darius dengan sudut mata yang mulai memanas menahan air mata pedih. "Jika yang kau maksud dengan mencintai adalah keegoisan untuk memiliki, maka ya. Beginilah caraku mencintai." "Itu bukan cinta, Darius." "Lalu apa bedanya dengan dirimu? Kau berusaha melenyapkan anakku untuk kembali ke pelukan pria itu. Bukankah kau juga egois, Rea?" "Kami saling mencintai, Darius. Biarkan kami bahagia." "Beginilah caraku memberimu kebahagiaan." "Aku tidak bahagia bersamamu. Aku tidak mencintaimu." "Kau akan bahagia." Darius menekan kata akan pada suaranya, beserta tatapan tajam tanpa ampun. "Berpikirlah seperti itu. Dan ... tahan air matamu. Aku tidak suka melihatmu meneteskan air mata untuk pria b******k itu." Wajah Darius menegang melihat mata Rea yang mulai berkaca-kaca. Ia benci melihat Rea menangisi pria lain. "Aku membencimu," desis Rea, masih tidak berusaha menghentikan air mata yang semakin membuat matanya berkaca-kaca dan mulai mengaburkan pandangannya. Ia tak bisa menahan. "Aku tahu, dan itu sama sekali tidak mempengaruhi keputusanku." "Aku benar-benar membencimu." "Terima kasih." Darius mengusap air mata yang mulai menetes di pipi kanan Rea. "Dan sebaiknya kau berhenti menangisi sesuatu yang tidak berguna seperti itu. Karena sekarang yang kau butuhkan adalah aku, ayah dari janin yang ada perutmu. Bukan kebahagiaan menye-menye karena cinta butamu itu." "Kenapa kau begitu kejam padaku?" Suara Rea mendesak penuh keputusasaan. "Kejam?" Darius mengulangi pertanyaan Rea dengan suara geli, "Kau tahu kejam adalah nama tengahku. Jadi... berhentilah mengungkapkan sesuatu yang sudah benar-benar saling kita ketahui masing-masing." "Apa sekarang itu membuatmu baik?" "Tidak. Tapi aku punya sesuatu yang sangat menarik buatmu. Amat sangat menarik malahan." Darius tersenyum. Matanya menatap penuh kelembutan, akan tetapi penuh maksud tersembunyi yang sangat berbahaya di baliknya. Deg... Rea membeku. Karena, amat sangat menarik untuk Darius, itu berarti amat sangat berbahaya untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD