Part 1

1959 Words
“"Tidak!!!" bentak Rea galak pada sosok yang ada di hadapannya. Menolak mentah-mentah kegilaan yang tengah diinginkan pria itu.       "Kenapa kau tidak mau, Rea?" sosok yang ditanya balas bertanya dengan suara maskulinnya yang lembut. Jemarinya bergerak menyingkirkan mac ke samping untuk memberikan perhatian penuhnya pada wanita yang berdiri di seberang meja kerja. Wajah serta tubuhnya bergerak dengan santai, berbeda dengan tubuh feminim berapi-api yang ada di hadapannya.      "Kau tahu aku tidak menyukaimu, apalagi mencintaimu. Bagaimana mungkin aku akan mau menikah denganmu?" Nada dalam suara Rea masih meninggi. Pria itu benar-benar membuatnya frustasi sejak pulang dari perjalanan bisnis seminggu yang lalu. Mengejarnya dengan omong kosong tentang pernikahan mereka berdua.     "Kau tidak punya pilihan." Pria itu menyandarkan punggung ke sandaran kursi, masih dengan ketenangan yang terkendali.     "Aku bebas menentukan pilihan untuk hidupku sendiri. Kau yang tidak berhak mengaturku, Darius."     "Kau bebas menentukan hidupmu sendiri, tapi tidak untuk saat ini." Darius ikut menekan kalimatnya, diikuti tatapan matanya yang mulai menajam menatap tepat di manik mata Rea. Tatapan tak terbantahkannya.      'Memangnya kau pikir siapa dirimu?' dengkus Rea dalam hati. "Aku tidak akan pernah menikah denganmu. Ti-dak a-kan per-nah."      Salah satu sudut bibir Darius tertarik ke atas membentuk sebuah seringai. "Beri aku satu alasan. Mungkin aku akan berbaik hati melepaskanmu jika alasan yang kau berikan bisa menandingi alasanku menikahimu."      "Kau tidak bersungguh-sungguh."      "Ya. Aku bersungguh-sungguh, sayang. Kau tahu seorang Darius tidak akan mengingkari janjinya, bukan?"      'Termasuk janji untuk menjagamu seumur hidupku,' lanjut Darius dalam hati.      "Bagaimana aku bisa tahu kau akan melepaskanku jika aku memberikanmu alasannya?"      "Aku tidak tahu." Darius mengedikkan bahunya, "Tapi kau tidak punya pilihan."      "Sia-sia aku mengatakannya jika kau tetap tidak akan melepaskank," protes Rea tak terima.      "Mungkin."      "b******k kau, Darius!"      Darius hanya mengangkat sudut bibirnya ke atas tersenyum, penuh kepuasan mendengar umpatan itu keluar dari bibir merah wanita itu. Ingin sekali ia beranjak dari duduknya dan menarik wanita itu untuk menenggelamkan bibirnya di bibir yang selalu menggodanya itu, sekalipun mulut itu selalu berkata pedas tapi ia menahannya. Selalu bisa menahannya, "Terima kasih atas pujiannya, Sayang."      Rea memejamkan matanya. Menarik nafas dan menghembuskannya dengan kasar. Bibirnya menipis ketika mengeluarkan penolakan sekali lagi, "Aku tidak akan menikah denganmu. Kau tahu aku mencintai Raka."      "Lalu?"      "Aku mohon padamu." Nada dan suara Rea melirih, "Lepaskan aku. Kau sudah menghancurkan hubunganku dengan Raka. Sekarang biarkan aku memperbaiki dan kembali padanya. Aku sangat mencintainya, Darius."      Bara api menguar di d**a Darius mendengar wanita yang dicintainya mengatakan mencintai pria lain. Ia bahkan benci dengan namanya dan nama pria itu yang diucapakan dalam satu kalimat, "Kau yang berlari padaku, Rea. Jika kau mulai melupakannya, kau juga yang mau menerima untuk menjadi kekasihku. Aku tidak memaksamu." Suaranya menajam.      "Saat itu hubunganku dengan Raka masih bermasalah."     "Lalu, kau pikir aku akan membiarkanmu memanfaatkanku? Setelah sejauh ini?"      "Dari awal aku sudah mengatakannya padamu. Hanya seorang Raka Putra Sagara yang aku cintai."      "Dari awal aku juga tidak peduli tentang hal itu. Bahkan sekarang." Darius menekan suaranya di akhir kalimat.      Rea memejamkan matanya lagi, menenggelamkan jemari tangan kanan ke sela-sela rambut yanh terurai dan mengacak-acaknya frustasi.      "Apa yang kau inginkan Rea? Apa pun akan kulakukan asalkan kau tetap bersamaku."      "Aku ingin bersama Raka. Aku ingin menghabiskan hidupku dengan pria yang kucintai. Hanya itu permintaanku, Darius." Suara Rea mulai melunak. Ia mengatakannya dengan penuh permohonan, begitu juga dengan wajahnya. Seakan-akan ia tidak bisa hidup lagi jika tidak bisa bersama dengan Raka.      "Dan membiarkan anakku dirawat oleh laki-laki lain?" sambar Darius sengit. Mengabaikan perasaan tercabik-cabik di dadanya ketika Rea memohon untuk pria lain.      Rea terpaku, tubuhnya seketika membeku. Matanya melebar dan wajahnya berubah pucat pasi.      'Bagaimana Darius bisa tahu tentang anaknya?'      "Apa... apa... maksudmu, Darius?" Suara Rea tersendat ketika berusaha menghalau kegugupannya.      Darius mendengkus, "Kau pikir aku bodoh?"      Rea masih membeku di tempatnya. Berusaha memahami situasinya saat ini.      "Kau pikir semudah itu kau membodohiku?" Darius mengatakannya dengan nada dan tatapan mencemooh. Udara berderak di antara mereka saat pembicaraan berubah tegang dan serius oleh rahasia yang terkuak.      Rea membungkam, 'Tidak mungkin Darius tahu tentang anak yang ada di dalam perutku. Aku sudah menyembunyikannya rapat-rapat sebelum berniat melenyapkan anak ini. Darius tidak boleh tahu.'      "Jangan sekalipun kau pernah berpikir akan melenyapkan anakku, Rea. Atau aku akan membuatmu benar-benar menyesal pernah memikirkan tentang rencana busuk yang ada di kepalamu yang cantik itu." Suara Darius terdengar penuh ketenangan, tapi penuh ancaman yang tak perlu lagi ditanyakan kengeriannya.      Rea mengerjapkan mata dengan cepat, bagaimana Darius bisa tahu tentang rencana yang bahkan sama sekali belum dilakukannya? Pria itu terlalu banyak mengetahui dirinya. "Da... darimana kau tahu?"      "Kau masih meragukan kekuasaanku?" Darius mencibir di antara seringainya, "Kekuasaan seorang Darius Enrio Farick?"      Ya, Rea tidak perlu lagi mempertanyakan tentang kekuasaan seorang Farick yang satu ini, tapi ia tidak peduli darimana Darius tahu.      "Aku tidak mau mengandung anakmu," tolak Rea. Wajahnya penuh kebencian yang tak bisa ditutupi.      "Ya. Kau akan melakukannya. Dan kau akan melakukannya dengan sukarela."      "Tidak. Aku tidak mau," tegas Rea dengan wajah murkanya. Sudah terlalu muak dengan semua ini. Kemudian ia membalikkan badan dengan marah, melangkah menuju pintu ruangan Darius dan membanting pintu itu dengan kasar ketika menutupnya.      Darius menyeringai, melihat punggung Rea yang menghilang di balik pintu ruang kerja. "Aku tidak akan melepaskanmu. Aku tidak akan melepaskan kalian berdua. Sampai kapan pun," gumam Darius pada dirinya sendiri. Penuh janji yang tidak akan diingkarinya.      Ya, dia tidak akan pernah melepaskan Rea. Apalagi sekarang ada anak yang sangat diharapkan di dalam perut wanita itu.      Ia tahu, ia licik. Sengaja membuat Rea hamil hanya untuk mengikat wanita itu dengan janji seumur hidup. Tidak peduli Rea mau atau tidak. Tidak peduli Rea mencintainya atau tidak.     'Apa aku egois?'      Dan ya, Darius memang egois. Dalam kamus hidupnya, cinta itu harus memiliki. Tidak peduli apa pun yang harus dihadapi.      Sejak wanita itu berlari ke arahnya, sejak wanita itu mau mencoba menjadi kekasihnya, sejak wanita itu menerima menjadi kekasihnya. Seorang Andrea Wilaga adalah milik Darius Enrio Farick seorang. Tidak boleh ada siapa pun yang ikut memilikinya. Karena segala sesuatu yang menjadi miliknya, tidak akan dilepaskannya begitu saja. Tidak akan pernah. ***      Rea berjalan mondar-mandir di ruangannya, menggoyang-goyangkan kedua tangannya yang gemetar. Penuh keresahan dan kegelisahan.      "Apa yang harus kulakukan? Darius sudah mengetahuinya," gerutuan yang melewati bibir Rea tak bisa terdengar dengan jelas, tapi ia tahu apa yang diucapkannya.      Sampai akhirnya ia kelelahan dan menghempaskan punggungnya di kursi, membenamkan wajah di kedua lengan yang bersedekap di atas meja.      Darius pasti tidak akan melepaskan dirinya setelah tahu ada darah daging pria itu di dalam rahimnya. Bagaimana mungkin Darius bisa tahu, padahal ia sudah menyembunyikannya rapat-rapat? Hanya Rea seorang yang tahu bahwa dirinya hamil. Tidak ada siapa pun yang tahu, tapi... tunggu dulu...      Mungkinkah?      Rea mengingat-ingat kejadian dua minggu yang lalu. Ketika pertama kali dirinya menyadari periode bulanannya yang tidak datang-datang.      Setelah membaca dengan teliti petunjuk cara menggunakan testpack yang ada di tangannya, Rea melangkah menuju kamar mandi. Memejamkan mata menunggu tiga puluh detik untuk mengetahui hasilnya. Menghitung dalam hati sambil berdoa agar hasilnya tidak seperti yang ditakutkannya.      24...25...26...27...28...29...30...      Rea membuka mata perlahan, seraya menghembuskan nafas dengan pelan dan berat. Berusaha menghalau pikiran yang berkecamuk.      Lalu... matanya menatap nanar stik putih berukuran sepuluh centi yang ada di genggaman tangannya. Menatap dua garis berwarna pink itu. Yang artinya....      Positif.      Dia hamil.      Dia hamil anak Darius.      Tidak mungkin.      Ini tidak boleh terjadi.      Rea menggeleng-gelengkan kepala sambil membekap mulutnya tak percaya. Menahan jeritannya.      'Tidak. Aku tidak boleh hamil anak Darius. Aku membenci pria kejam itu. Amat sangat.' Lalu dengan kasar ia membuang testpack itu ke tempat sampah yang ada di samping wastafel. Membuang bukti. 'Darius tidak boleh tahu. Darius tidak akan tahu apa-apa tentang anak ini.'      'Kenapa masalah datang saat hubunganku dengan Raka mulai membaik?' rutuk Rea dalam hati.      Sekali lagi menggeleng-gelengkan kepala, seakan dengan begitu mampu menyangkal kenyataan pahit ini.      Tidak.      Rea tidak akan membiarkan masalah ini mempengaruhi hubungannya dengan Raka lagi. Ia tidak mau kehilangan pria yang dicintainya untuk kedua kalinya.      Lagipula...      Bagaimana mungkin ia bisa hamil?      Ia memang tidak menolak Darius menidurinya ketika pertama kali pria itu menyentuhnya. Bahkan setelahnya, ia juga tidak pernah menolak Darius. Hanya saja, ia tidak mengira Darius seceroboh itu untuk tidak menggunakan pengaman ketika mereka tidur bersama.      Lalu Rea memaki dirinya, sadar akan kebodohannya karena mempercayakan hubungan mereka pada pria itu. Seharusnya ia juga berusaha mencoba mencegah kehamilan dengan menggunakan alat kontrasepsi apa pun itu.      Ceklek...      Rea mengerjap ketika pintu kamar mandi terbuka, memunculkan sosok pria yang baru saja mengacaukan rancangan kehidupan bahagia di masa depan.      Darius masuk, mengerutkan kening mendapati wajah Rea yang tampak pucat pasi, "Apa yang terjadi?"      Rea menggeleng-gelengkan kepala gugup, takut Darius mencurigai sesuatu yang tidak ingin diketahui oleh pria itu. "Tidak."      "Dan kenapa kau lama sekali di kamar mandi?"     "Aku... aku hanya tidak enak badan." Rea mengalihkan pandangan melihat pantulan bilik kaca kamar mandi yang masih basah. Pria itu selalu tahu kebohongannya melewati matanya yang seperti buku terbuka bagi Darius. Sekalipun ia sudah menghabiskan usaha sepenuhnya untuk tak menampakkan ekspresi apa pun pada pria itu.      "Apa kau ingin ke dokter?"      "Tidak," sambar Rea langsung bahkan sebelum Darius menutup mulut untuk menyelesaikan pertanyaannya. Ia tidak boleh ke dokter, apalagi pergi dengan Darius.      Darius hanya diam mengamati Rea yang memunggungi dirinya dengan memicingkan mata. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu darinya.      Hening sejenak.      "Kenapa kau kesini?" tanya Rea memecah keheningan di antara mereka. Ia tidak ingin kecurigaan Darius berlanjut melihat kegugupan yang berusaha disembunyikannya.      Darius hanya tersenyum tipis. Melangkah mendekati Rea, menangkap pinggang ramping itu dan memeluknya dari belakang. Menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Rea dan mengecupnya lembut. "Tentu saja karena aku merindukan kekasihku."      Rea melepaskan pelukan Darius dan membalikkan badan menghadap pria itu, "Aku bukan kekasihmu lagi, Darius."      "Kau belum mengganti password apartemenmu." Darius kembali mengangkat tangan dan memeluk Rea di pinggangnya.      "Aku lupa menggantinya." Jemari Rea terangkat mengurai pelukan tangan Darius dari tubuhnya. Lalu berjalan melewati Darius keluar dari kamar mandi. Meninggalkan Darius sendirian di sana.      Mata Rea mengerjap dengan panik, mungkin saja saat itu Darius menyadari kejanggalannya. Ia ingat, Darius keluar kamar mandi saat itu, lama setelah dia meninggalkannya sendirian. Kemudian saat pria itu keluar, Rea tahu ada yang aneh. Namun ia tidak mengindahkannya karena tidak mungkin Darius mengobrak-abrik tempat sampah untuk menemukan testpack itu dan mengetahui kehamilannya.      Bahkan sebelum ada anak ini, Darius masih tidak mau melepaskannya, apalagi setelah tahu ada anak di antara mereka berdua.      Sudah jelas Darius tidak akan pernah melepaskan dirinya.      "Hahh..." desahan keluar dari bibirnya.      'Bagaimana lagi aku harus lepas dari genggaman Darius kali ini?'      Drrttt... drttt...      Getaran ringan di meja kerja membuyarkan lamunan Rea. Ia pun mengangkat kepala dan melihat layar ponsel yang berkelap-kelip.      My Love calling...      Raka?      Segera Rea mengulurkan tangan untuk mengangkat panggilan pria yang sangat dicintainya itu.      "Hallo... Rea?" Suara maskulin yang sangat dirindukan Rea menguasai indera pendengarannya.      "Hai, Raka," balas Rea lembut. Mengabaikan pertanyaan kenapa ia tidak bisa bersikap selembut ini pada Darius?      "Apa kau sibuk?"      Ya, dia memang sibuk. Sibuk memikirkan rencana apa yang akan dilakukannya untuk menyingkirkan Darius dari kehidupan mereka, sampai-sampai lupa pada pekerjaan kantor yang menumpuk di meja saat ini. Rea menghembuskan nafas berat, "Lumayan. Apa kau menelfon karena ingin membantuku?"      "Aku akan melakukannya setelah aku menyelesaikan pekerjaanku satu jam lagi. Setelah itu kita bisa pergi untuk makan siang bersama. Bagaimana?"      "Benarkah?" tanya Rea girang.      "Apa aku pernah berbohong?"      Senyum lebar memenuhi wajah Rea. "Aku akan menunggumu."      "Bye."     "Bye." Rea meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Tersenyum-senyum sendiri mengingat rencana makan siangnya dengan Raka. Ia tak pernah bosan menghabiskan waktu dengan pria itu. Dulu... tapi sekarang, semuanya terasa seperti akan lenyap begitu saja.      "Apa kau begitu senang mendapat telfon dari pria itu?" Suara dingin yang berasal dari pintu ruangannya membuat Rea mendongak.      Seketika wajah Rea kembali dibuat pucat pasi oleh kehadiran Darius yang tiba-tiba. Ia terlalu senang sampai tidak menyadari pintu ruangannya terbuka dan ada sosok lain yang masuk ke ruangan kerjanya. "Apa yang kau lakukan di sini Darius?" tanyanya dingin. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD