7. Paksaan

1106 Words
Rex pulang ke rumah dalam perasaan dongkol. Harga dirinya diinjak-injak oleh sebatas anak magang. Harga diri seorang CEO hanya bagai kaki di bawah Intan. Rex mendengus, dalam otak liciknya menyusun banyak rencana untuk menjatuhkan gadis itu. “Oooom!” teriak gadis kecil yang berlari ke arah Rex. “Ini lagi si bocil, ganggu orang marah saja!” hardik Rex kepada gadis kecil yang merupakan keponakannya sendiri. “Gendong, om!” pinta Zika manja. Rex menggendong anak adiknya yang masih berusia empat tahun. Semua adiknya sudah menikah, tinggal dia saja yang belum. “Rex, nih parfum yang lo pesan, jangan lupa hutangnya dibayar!” ucap Rey memberikan satu kardus parfum pesanan Rex. “Ya nanti gue ganti,” “Gak usah nonta-nanti, sekarang aja!” kekeuh Rey, takut kalau Rex tidak membayar hutangnya. “Perhitungan banget lo sama saudara, nih transfer sendiri!” ucap Rex merogoh hp nya dan memberikannya pada Rey. “Om mau beli jajan!” rengek Zika. “Sama papamu sana, papamu mana?” “Papa lagi kelual sama mama, aku gak diajak.” Sungut gadis itu kesal. “Ray lagi pacaran sama istrinya, lupa anaknya gak dibawa,” ucap Rey menimpali. “Dasar bapak lo bucin banget sih, Zi. Heran om sama bapak lo.” Ucap Rex menciumi pipi Zika gemas. “Nikah cepat Rex, biar bisa bucin sama cewek!” ucap Rey. “Sekalian biar bisa mencetak baby girl kayak Zika, hahahaha …” kelakar Rey merasa puas karena bisa mengejek Rex. Rex mendengus kesal. Tanpa mengganti setelan kantornya, dia menggendong Zika untuk membeli jajan kesukaan gadis itu. Zika paling suka sosis gulung yang ada di taman kota. “Om, Zika gak mau naik mobil, mauna naik motol blum blum!” ucap Zika dengan raut menggemaskan. “Sudah ngajak, rewel pula.” dengus Rex. Untung dia sayang sama keponakannya. “Mau ya, Om!” pinta Zika manja. Rex mengangguk. Menuju ke garasi untuk mengambil motor sport. Zika memang sering keluar dengan Rex. Kalau dengan Rex pasti akan naik motor gede, kalau sama Papanya pasti hanya naik motor biasa, karena papanya tidak akan mau naik yang berat-berat. “Om ngebut ya om!” “Cerewet banget sih, Zi. Diam napa!” “Kata papa, aku itu salah tetak, Om. Halusnya aku anakna om, tapi malah anakna papa.” Oceh gadis itu. Rex terkekeh, memang sifat keponakannya ini maah mirip dengannya. Absurd, gesrek dan semauanya sendiri. Padahal papa Zika sangat kalem dan tidak banyak omong, begitupula mamanya. Rex sampai di penjual sosis gulung. Matanya menangkap keberadaan Intan yang sedang mengantre sosis. “Zi, nanti kamu panggil Om dengan sebutan papa ya!” pinta Rex. “Kenapa, Om? Om kan bukan papaku,” “Ya kamu pokoknya harus nurut sama om! Awas kalau kamu gak nurut, om cubit kamu sampai gosong!” ancam Rex. “Bohong itu doca tau om,” “Diam kamu! Awas kalau kamu tetap bandel!” Zika memanyunkan bibirnya. Bocah itu meminta gendong dan langsung mengalungkan tangannya di leher Rexvan. Rex berjalan dengan gaya sok-nya menuju penjual sosis. “Bang, sosis gulung semuanya ya. Aku borong!” ucap Rex membuat orang-orang yang mengantre langsung menatap Rex tidak terkecuali Intan. “Maaf, mas. Ini masih ada yang beli. Mungkin tinggal sedikit.” jawab penjual itu sopan. “Tidak apa-apa, setelah mereka, semuanya aku beli.” jawab Rex. “Papa gak mau beli segelobakna sekalian?” tanya Zika polos. Tampak Intan menatap Zika dan Rex dengan pandangan menilai. Merasa dilihat Intan, malah membuat Rex bangga. “Iya nanti gerobaknya sekalian, uang papa banyak.” Jawab Rex. Orang-orang hanya terkikik geli melihat Rex. Mereka sudah kenal dan sering menyapa Rex karena pria itu sering berkeliaran di sekitar sana. “Papa emang telbaik,” puji Zika mencium pipi Om nya bertubi-tubi. Dalam hati Intan sangat dongkol. Apa maksudnya tadi Rex mengajaknya menikah kalau ternyata pria itu sudah mempunyai anak? Kalau sudah mempunyai anak, itu artinya Rex juga mempunyai istri. Perasaan Intan sangat panas, dalam hati Intan menyumpah serapahi Rex. Sudah punya keluarga masih baperin wanita lain. “Papa papa, kenapa aunty itu liatin kita?” tanya Zika keras sambil menunjuk Intan. Intan terkesiap seraya melotot. Kenapa bocah itu bisa tau kalau dia melirik Rex dan dirinya. “Oh, aunty-nya iri, mungkin karena dia belum punya anak secantik kamu.” Jawab Rex dengan gaya menyebalkan. Intan meremas bajunya dengan dongkol. “Heh pak jangan sembarangan! Siapa yang iri sama bapak?” sewot Intan. “Ya kamu lah. Buktinya kamu lihatin aku dan anakku terus.” “Ya aku lihatin anak bapak cuma gemes aja sama anak bapak.” Jawab Intan. “Iya aunty, aku uga gemecin. Papa bilang aku gemecin banget, benar kan om?” tanya Zika meminta pendapat. Rex melotot mendengar keponakannya yang keceplosan. Menyadari kesalahannya, Zika lantas menutup bibir mungilnya dengan erat. “Eh maksudnya, iya kan, pa?” Intan memincing, sekarang dia tau kalau anak kecil dalam gendongan atasannya itu bukan anaknya sendiri, melainkan keponakannya. “Pak, kalau mau punya anak itu nikah! Jangan anak orang lain diakui kayak gitu. Ngenes jatuhnya!” cibir Intan. “Nah kan, Om. Zika cudah bilang tadi, kalau aku panggil Om aja jangan papa. Kalena belbohong itu doca!” oceh Zika. Rex mencubit paha Zika dengan kencang. Zika lantas menangis keras karena sakit. “Tuh rasain, akibat kalau punya bibir tapi lemes.” ucap Rex dengan geram. Intan mendelik saat Rex terang-terangan mencubit bocah kecil itu. Sebenarnya dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran si Bos. Apa gunanya sok-sokan mengakui bocah kecil itu sebagai anak di hadapannya. “Pak, keponakannya jangan dicubit kayak gitu dong! Kasihan.” ucap Intan. “Iya om, katihani aku, om. Om telalu nubit tama ngancem aku kalau aku gak nulut. Huwaa … hikss hiksss ….” adu Zika seraya menangis. “Pantesan jodohnya gak datang-datang, Sukanya aja menganiyaya anak kecil.” ejek Intan. “Diam kamu! Kamu tidak perlu mengurusi hidupku!” ucap Rex dengan sensi. Melihat Intan membuat tekanan darah Rex jadi tinggi karena ingat penolakan gadis itu kemarin yang terang-terangan. “Siapa yang mengurusi hidup bapak? Saya cuma bilang jangan mencubit anak kecil.” Jawab Intan tidak terima. “Bodo amat!” ketus Rex. Intan menerima sosis gulunya dengan berbinar. Saat diam mau merogoh saku rok nya untuk mengambil uang, Rex sudah menyodorkan berlembar-lembar uang ratusan ribu kepada penjual. “Semua yang lagi beli di sini, aku yang bayar pak! Termasuk gadis ini.” ucap Rex sopan. Penjual itu mengucapkan banyak terimakasih. Tidak sekali dua kali Rex memborong dan membayari siapapun yang sedang mengantre, tapi berkali-kali. Intan membulatkan matanya, sesaat ia kembali kagum dengan CEO tempatnya bekerja. Dibalik sisi gesrek, tetap saja ada sisi dermawan. “Tidak perlu terbengong gitu, aku sudah biasa seperti ini.” Ucap rex dengan bangga sambil menepuk bahu Intan dengan keras. Saking kerasnya sampai Intan hampir menubruk gerobak. “Percuma kalau bapak dermawan tapi pamer, jatuhnya tidak iklas.” ucap Intan. “Iklas tidaknya, biar Tuhan yang menilai.” “Terserah deh! Bicara sama tukang tipu emang tidak ada habisnya.” “Siapa yang tukang tipu?” tanya Rex tajam. “Bapak lah, buktinya bukan anak sendiri, diakui anak. Kalau mau punya anak, ya nikah.” jawab Intan. “Maka itu, menikahlah denganku! Aku memaksa!” ucap Rex meremas pundak Intan dengan kuat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD