Teruntuk Reno

"Apakah kita siap punya anak yang ileran?" . . . "Mas, masakin jantung dong!" Aku menarik-narik ujung kemeja Mas Reno yang tampak hanyut dalam pekerjaannya di depan laptop. "Ya kali kamu Sunder Bolong makannya jantung, Dek," tanggapnya santai tanpa repot menengok ke arahku. "Mas Reno mah gitu!" rajuku sambil menutup paksa layar perkakas elektroniknya. Menghela napas samar, dia lantas bertumpu pada punggung sofa. Terkesan sedang merilekskan diri sejenak sebelum melirikku bersama sorot penuh perhatian. "Kok gitu, gimana?" "Adek ingin jantung ih, Mas. Apa susahnya sih tinggal ke pasar, beli terus bumbuin sambel goreng," kekeuh-ku tak sudi kalah. Tentu saja! Ini bawaan bayi, aku mesti berjuang habis-habisan biar anakku tak ileran. "Yang bener aja, Dek. Masa barang ilegal begitu dijual di pasar. Lagian ada-ada aja sih. Adek abis nonton film aneh yah tadi? Dibilang jangan bongkar-bongkar koleksi dvd Rama, kena kan getahnya? Lihat film kanibal pasti Adek tadi." Mas Reno mengusap wajahnya gusar. Dia bahkan menghela napas panjang-panjang. Eh, kanibal? "Nih, Dek dengerin Mas." Suami yang sudah menikahiku hampir dua tahun ini meraih ujung jari-jariku demi direngkuhnya sayang. "Untuk anak kita Mas bakal lakukan apa aja. Tapi, Adek juga harus membatasi diri dong. Misalnya, kalau Adek lagi nyidam kayak sekarang. Adek coba pikirin juga, apa itu bagus buat anak kita atau nggak? Apa itu bakal membahayakan calon anak kita atau nggak? Mas sayang banget sama calon anak kita. Adek juga pasti sama kan?" Kenapa Mas Reno jadi melankolis begitu? Aku cuma mau makan jantung kok. Apa salahnya? "Makanya, jangan jantung yah? Serem, nggak enak juga kok kayaknya," tegasnya membuatku tambah bingung. Dan, siapa bilang jantung itu tak sedap? Kalau cabainya diperbanyak beuh rasanya mantap serta gurih sekali loh. "Sok tahu deh, Mas. Adek pernah nyicipin jantung yang dimasak Mama, nagih loh." "APA?! Kapan Mama masak jantung? Kamu ... gimana bisa makan gituan, Dek?" "Ya emang apa anehnya, Mas?" "Dek! Adek makan jantung loh. Apa nggak ngerasa jijik atau bersalah gitu? Dek, gimana bisa Adek makan jantung?" Mas Reno menjambak rambutnya frustasi. Loh, loh, loh. Ada apa ini? "Emang segitu haramnya yah, Mas?" "Kok masih nanya," cibirnya pelan. "Tapi waktu belajar ngaji, Adek belum pernah dengar ayat yang mengharamkan manusia makan jantung pisang tuh, Mas. Ada yah?" "APA?!" "Yah, jantung pisang. Mama masak itu waktu Adek belum hamil, dan rasanya top banget. Cius. Boleh yah, Mas. Masakin buat Adek? Please please please?" "Jantung pisang bukan jantung orang?" "Iyuuhhhh jijai! Ogah lah yaw! Dibayar pun Adek nggak sudilah makan jantung orang. Dikira Adek titisan Sumanto kali. Walau Adek omnivora yang lagi melendung, hamil gini. Urusan makan mah Adek tetep pilih-pilihlah, Mas. So, bikinin yah?" Mas Reno menggelengan kepalanya singkat seolah tak habis pikir. Sementara aku terus mengedip-ngedip genit supaya dia lekas setuju. "Tetep nggak. Nanti anak kita lengket atau lebih parahnya malah kalau dia tumbuh besar badanya kecil kayak pisang. Enggak! Jangan makan yang dilarang sama leluhur ah, Dek! Pamali." Begitulah jika menikahi pria yang 15 tahun lebih tua. Kolot orangnya, kolot pikirannya. Sebal! Mas Reno ... bagaimana dirimu tega tak menuruti nyidam istrimu? Ish! Jahat! Dasar Rangga reborn! ***