Hadiah kecil

1339 Words
Bab dua Hadiah kecil Niatnya yang tadi ingin menemui Diva, putrinya diurungkan Clara. Clara menyeka air matanya yang jatuh membasahi pipinya. Ia menarik nafas dalam-dalam. Berusaha melegakan sesak yang terasa di dadanya. Clara menggerakan kunci mobil dengan tangan sedikit gemetar karena rasa guncangan yang ia rasakan tadi ketika melihat Reno yang ternyata menjadi orang tua angkat Diva. Tidak lama mesin mobil menyala dan berderum. Mobil Clara bergerak menjauhi rumah Reno. Mobil yang tadinya terparkir di bahu jalanan itu kini melesat kencang di jalan raya. Berpacu dengan cepatnya kendaraan mobil yang lainnya. Butuh waktu sekitar empat puluh lima menit untuk sampai di kediaman Clara yang megah. Rumah Clara sangat besar dihiasi pilar-pilar cantik dan kokoh. Mobil Clara langsung masuk ke dalam halaman rumah ketika pintu gerbang otomatis terbuka. Setelah Clara memakirkan mobil sekenanya. Ia turun dari dalam mobil menuju pintu utama rumah yang sangat besar, tinggi dan lebar. Di teras depan sudah terlihat Wildan yang duduk di kursi menungguinya. Karena tidak membuat janji, Clara sedikit terkejut dengan kedatangan kekasihnya itu. “Kemana aja sih ... Abis syuting langsung pergi gitu aja ...?” tanya Wildan. “Bukannya kamu masih ada syuting ya? Kan di take 678 kamu ambil bagian.” “Kan udah beres syutingnya. Malah kamu pemeran utamanya ga ada.” “Aku udah minta ijin ke bang Jack untuk pulang lebih dulu. Lagi ga enak badan," kta Clara memberitahu. “Ayo masuk ... Ngapain nggu di depan gitu. Dah kaya orang engga dikenal aja.” Wildan masuk ke dalam rumah. Mengekor di belakang Clara. “Katanya kamu lagi engga enak badan. Tapi bukannya cepet pulang malah masih kelayapan gitu.” Wildan masih penasaran dengan kemana Clara pergi tadi. Clara merasa tidak nyaman, Wildan terlalu ingin tau hal privasinya. Mereka telah menjalin kasih baru delapan bulan. Namun semakin lama, bukannya semakin nyaman. Clara malah semakin risih dengan sikap posesif Wildan. “Kok kamu perginya tumben sendiri sih?” tanya Wildan yang masih berjalan mengekor di belakang Clara. Clara masih belum menjawab. Ia duduk di atas sofa ruang keluarga dan mengambil remote tv. Lalu menyalakannya. “Bi ... Bi Ijaah...," panggil Clara dengan suara nyaring. Tidak usah menunggu lama, bi Ijah datang dengan tergopoh-gopoh. “Iya ... Apa Nyah?” tanya Ijah yang menyebut Clara dengan panggilan Nyonyah. “Hm ... Maaf dong bi ... Bikinin aku teh lemon tea hangat. Dan kamu mau di bikinin apa Wil?” tanya Clara sambil menoleh ke arah Wildan. “Kopi hitam aja. Jangan terlalu manis.” Sahut Wildan sambil tersenyum. Wildan merubah posisi tempat duduknya dan mendekat pada Clara. “Kamu kemana sih sebenarnya?” tanya Wildan sambil memainkan rambut Clara yang jatuh ke depan, berantakan. Clara terdiam. Ia tidak ingin mengatakan pada Wildan kemana ia pergi. Kenyataan bahwa Clara sudah memiliki seorang putri saja, Wildan tidak mengetahui. “Aku cuma cari angin aja,” jawab Clara berbohong. Tidak lama bi Ijah datang membawa segelas lemon tea dan secangkir kopi hitam manis untuk Wildan. Bi Ijah menaruh kopi dan lemon tea itu di atas meja. Clara mengambil lemon tea dan menyesapnya perlahan. Rasa segar langsung mengalir di tenggorokan Clara. Wildan memperhatikan Clara dari jarak dekat. Walau Clara tidak memberitahunya soal kemana ia pergi barusan, Wildan sudah menerka dari mana Clara tadi. "Aku tau, kamu dari mana ...." Clara langsung menoleh menatap Wildan yang duduk di sampingnya. Kedua mata Clara membulat. Hampir saja ia tersedak lemon tea yang baru saja ia minum. "Memangnya kamu tau, aku dari mana?" tanya Clara dengan perasaan sedikit takut jika Wildan mengetahuinya. Wildan tersenyum tipis. "Aku tahu, kamu sedang mencari seseorang kan?" Clara mengerutkan dahinya. Ia tidak menyangka Wildan mengetahui sesuatu yang sangat ia rahasiakan. Kedua mata Clara menatap berkaca-kaca pada Wildan. Wildan merasa aneh mendapat tatapan seperti itu oleh Clara. Kenapa kedua mata Clara kerkaca-kaca dan ingin menangis? “Apa yang kamu tau?” tanya Clara dengan tatapan tajam. Wildan merasa tidak nyaman dengan pandangan Clara yang menatapnya dengan tajam. “Kamu kenapa sih?” tegur Wildan yang merasa Clara tidak seperti biasanya. “Engga kenapa-kenapa ...," sangkal Clara sambil menenggak kembali lemon tea miliknya. “Kamu tau aku kemana dan mencari seseorang dari mana?” tanya Clara sambil menyembunyikan perasaan kekesalannya. “Tau aja ... Kenapa kamu jadi sewot gitu?” tanya Wildan ikut kesal karena terbawa suasana. “Memangnya masalah kalo aku tau sesuatu?” Clara mengatupkan bibirnya. Terlihat tidak nyaman. Ia menghela nafas panjang. “Katakan kamu tahu apa saja ... Dan dari mana kamu tau berita itu. Dari media?” Wildan mengalungkan lengannya di leher Clara. Menarik Clara ke belakang. Agar tubuh Clara yang langsing itu dapat ia peluk. Sebuah ciuman mendarat di pipi Clara setelah Wildan berhasil memeluk Clara dari belakang. “Aku hanya bercanda ko ... Kenapa kamu cepet marah amat sih ... Aku ga tau kamu kemana. Sikap kamu yang seperti itu malah buat aku penasaran," bisik Wildan lembut. Clara masih terdiam. Belum terhias senyuman di bibirnya. Ia masih kesal dengan candaan Wildan yang ia rasa tidak lucu. “Tapi aku memang masih penasaran kamu nemuin siapa sampe ga dianter sopir," lanjut Wildan. Clara menekan keningnya yang terasa penat. Terkadang ia merasa ingin pergi dari Wildan yang posesif dan selalu mengekangnya. Pedahal selama ini, semenjak Clara meninggalkan Reno begitu saja. Clara menjalin hubungan tanpa cinta. Ia hanya akan bersama seorang pria jika hubungannya itu dapat berpengaruh positif dengan kariernya sebagai artis. Clara mencoba menahan egonya. Wajahnya yang ditekuk, berusaha dilenturkan. Sebuah senyuman berusaha ditampilkan oleh Clara untuk Wildan. “Hm ... Tadi bukannya banyak fans yang datang ke lokasi syuting ya?” tanya Clara mencoba mengalihkan pembicaraan. “Iya, mereka nyariin kamu," jawab Wildan sambil menyesap kembali kopinya yang sudah hangat. Tidak panas seperti tadi. Clara sedikit tertawa mendengarnya. Ada sedikit kepuasan di sebagian hatinya. “Bisa aja kamu ...," kata Clara mencoba berendah hati. “Mereka nyariin kamu. Bukan aku.” “Nyariin kamu. Kan sekarang kamu lebih terkenal dari aku. Hehehe ...," sahut Wildan sambil terkekeh. “Oia dan kemarin sore tuh ada seorang anak kecil, fans fanatik kamu. Nitipin kado buat kamu.” “Anak kecil?” seru Clara bertanya. Wildan menganggukan kepalanya. “Iya, kemarin dia ke lokasi syuting. Tapi sayangnya dia datang saat kamu dan aku sudah pulang.” Wajah Clara langsung berubah lebih bersemangat. Entah mengapa moodnya berubah seratus delapan puluh derajat seketika itu. “Karena ga ketemu kamu, dia nitipin kado ulang tahun buat kamu ke om Roy kemarin," terang Wildan sambil mengambil sebuah bingkisan yang ia taruh di atas meja. Tadi kedua mata Clara tidak melihat bingkisan yang ada di atas meja, depan matanya. “Om Roy yang suka bawain mikrofon itu kan?” Wildan menganggukan kepalanya. “Iya, kado kamu ia taruh di ruang ganti. Dan om Roy baru inget sekarang kalo ada anak kecil yang jauh-jauh datang ke lokasi syuting untuk ngasih hadiah.” Clara tersenyum senang mendengarnya. Walau ia telah banyak menerima kado dari para fansnya. Entah mengapa perasan Clara saat menerima hadiah ini berbeda. Seorang fans anak kecil, terasa berbeda. Karena anak kecil memiliki perasaan tulus dan natural. Wildan memberikan sekotak persegi berukuran besar yang terbalut bungkus kado berwarna pink. Clara membuka hadiahnya. Saat semua bungkusnya telah terbuka terlihat sebuah boneka panda berukuran enam puluh centimeter. Berwarna putih dengan beberapa warna hitam di bagian tertentu. Clara mengambil panda itu dari dalam kotak dan memeluknya. Secarik kertas ucapan yang terselip jatuh ke dalam kotak. Clara memungutnya dan kemudian membaca secarik kertas yang terjatuh tadi. “Hai Tante Clara idolaku, aku adalah salah satu fans beratmu. Aku sangat suka suara tante bernyanyi dan juga ketika aku melihat tante sedang muncul di tv rumahku. Aku diantar bundaku untuk bertemu tante Clara yang cantik. Semoga suatu saat tante dapat menyanyikan sebuah lagu tidur untukku ya .... Aku ingin sekali bertemu dengan Tante... Salam hangat dan sayang, Diva Fransisca.” Senyuman terhias di wajah Clara ketika membaca satu persatu kalimat yang tertulis di secarik kertas. Tulisan khas anak kecil yang tidak terlalu bagus. Senyuman di wajah Clara bercampur ekspresi terkejut ketika membaca nama si pemberi hadiah. “Diva Fransisca ...?” desis Clara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD