MAKAN MALAM

1072 Words
      Lux baru saja menyelesaikan acara mandinya, gadis itu kini berdiri di depan kaca dan mengeringkan rambut hitamnya dengan hair dryer. Ia menatap cermin yang memantulkan bayangannya, memperhatikan iris emerald miliknya yang begitu jernih dan unik.    Di Universitas Leiden, banyak sekali orang yang mengagumi keunikan yang ia punya. Bahkan beberapa pria bangsawan mendekatinya dan mengajaknya untuk berkencan.       Mengingat hal tersebut membuat Lux tertawa kecil, ia memang terlihat berbeda dari banyak gadis dan itu membuatnya sangat dikenal.    Lux segera mengakhiri acara mengeringkan rambutnya, ia segera membuka lemari kecil di sudut ruangan lalu meraih celana pendek dan baju panjang tebal berwarna hitam. Segera saja gadis itu memasang pakaiannya, ia meletakkan handuk di dalam keranjang pakaian kotor dan kembali menuju ke arah meja rias.    Tok …    Tok …    Tok …    Suara ketukkan pintu terdengar agak keras. Lux tersenyum kecil karena membuat pria sesabar sang kakek harus datang dan mengetuk pintunya malam ini.    "Lux, kau lama sekali." Suara pria tua di luar sana terdengar, dan Lux hanya menggeleng karena tingkah sang kakek yang luar biasa tak bisa bersabar.     Gadis itu meraih pengikat rambut dan segera mengikat rambut panjangnya. Ia membuka pintu dan melihat kakeknya sedang berdiri, menunggunya untuk keluar dan bersama menuju ke meja makan.    "Kakek, aku baru selesai mengganti bajuku." Lux segera melangkah dan menutup kamarnya, ia menatap kakeknya yang hanya mengangguk dan berjalan lebih dulu.    "Bagaimana tugas kuliahmu?" tanya pria itu sambil menuruni anak tangga.    Mendengar pertanyaan sang kakek, Lux hanya tertawa kecil. "Yang jelas nilaiku tetap baik," sahut Lux kemudian.    Basilius Drecia, itu nama yang selama ini menjadi identitas pria tua itu. Berumur tujuh puluh tiga tahun, seorang Profesor Sejarah Ekonomi di Leiden University.  Orang-orang lebih sering memanggilnya Profesor Drecia, ia juga dikenal sebagai pria yang ramah dan murah senyum.    Lux kehilangan orang tuanya saat ia berumur kurang dari satu tahun, ayah dan ibunya meninggal akibat kecelakaan beruntun yang melibatkan 150 mobil. Kecelakaan maut tersebut terjadi beberapa saat setelah pukul delapan waktu setempat di jalan raya A58 antara kota Goes dan Middelburg di Belanda Selatan, yang berjarak sekitar 150 kilometer barat daya Amsterdam.    Dua menit berlalu begitu saja, keduanya kini sudah berada di meja makan dan Lux duduk lebih dulu. Memang, bagi orang Belanda wanita dari berbagai umur lebih diutamakan. Kaum pria akan duduk setelah wanita itu duduk lebih dulu, dan itu adalah hal yang menjadi budaya yang terus ditaati semua golongan.    Lux mengembuskan napas agak kasar saat sang kakek sudah duduk dengan tenang, ia mempersilahkan pria tua itu lebih dulu mengambil makanan dan akan melakukan bagiannya setelah sang kakek selesai. Bukan karena kakeknya lebih tua, tetapi sang kakek adalah tuan rumah dan dia sekarang hanya menumpang hidup kepada pria yang membesarkannya itu.    Setelah sang kakek selesai, Lux segera mengambil bagiannya. Keduanya mengabaikan menu utama dan menyantap menu pembuka terlebih dahulu. Menu pembuka malam ini adalah gerookte makreelpate terbuat dari ikan makarel yang ditambah daun seledri dan lobak. Rasanya sangat lezat dan menjadi makanan pembuka favorit bagi warga Belanda.    Menyantap makanan pembuka terlebih dahulu adalah kebiasaan lain orang-orang Belanda. Apalagi saat makan malam yang dianggap begitu spesial bagi semua orang yang hidup di sana.     Lux menatap kakeknya, pria itu terlihat tidak terlalu sehat malam ini. Wajah kakeknya terlihat pucat, di tambah dengan tangannya yang terlihat sedikit bergetar kala menyuapkan makanan ke dalam mulut.    "Apa kakek sakit?" tanya Lux tanpa berbasa-basi terlebih dahulu.    Sang kakek menatap ke arah Lux, ia memilih menelan habis makanan di dalam mulutnya sebelum menjawab. "Tidak. Kakek hanya merasa terlalu lapar karena menunggumu," sahut pria itu. Ia kembali melanjutkan acara makannya.    Keduanya kembali terdiam, mereka lebih fokus pada acara makan malam yang selalu dilewati berdua. Sesekali mata Lux mencuri pandang kepada sang kakek, tetapi ia tidak menemukan sesuatu yang aneh.    "Kakek. Apa buku tua itu masih ada di ruang baca?" tanya Lux kemudian.    Sang kakek menatap ke arahnya. "Apa kau ingin membacanya sekarang?" tanya pria tua itu tanpa menjawab pertanyaan dari sang cucu.    Lux menggeleng, ia kembali menikmati makanan yang kini bersarang di dalam mulutnya. "Tidak. Aku hanya penasaran," sahut Lux setelah menelan makanannya.    Lux menuangkan air mineral ke dalam gelas, ia memberikannya kepada sang kakek. "Minumlah, kakek terlihat kekurangan cairan."     Sang kakek hanya mengangguk, tangannya dengan segera meraih gelas yang berisikan air mineral dan meneguknya hingga tandas. Rasanya lebih baik, ia kemudian melanjutkan acara makannya dan tidak lagi bicara.    Lux memiliki persamaan dengan sang kakek, mereka sangat jarang bicara walau tinggal dalam satu tempat yang sama. Karakter yang dimiliki Lux tidak jauh berbeda dengan orang yang membesarkannya.    "Jika kau ingin membaca dongeng itu, maka Kakek akan memberikan buku itu padamu," ujar sang kakek kemudian.    "Tidak. Aku lebih baik membaca artikel tentang sejarah negara daripada sebuah dongeng klasik yang tidak jelas dan tidak bermutu." Lux menyudahi acara makannya, ia duduk bersandar pada kursi dan menatap televisi yang menayangkan tentang acara perkiraan cuaca.     Cuaca memang sedang tidak menentu akhir-akhir ini, terkadang akan ada hujan deras dengan angin yang berembus begitu kencang. Sama seperti sekarang, hujan telah berhenti bahkan tidak ada lagi rintik-rintiknya yang turun.    "Kakek, aku benar-benar kenyang malam ini." Lux menepuk perutnya, ia melirik sang kakek yang terkekeh pelan dan menggelengkan kepala.     "Baiklah. Kakek akan menyimpan makanan ini di kulkas dan kau bisa menghangatkannya jika lapar," ujar pria itu.    "Lalu, apa yang harus ku lakukan?" tanya Lux. Ia menatap sang kakek yang malah mengibaskan tangan, pria itu memberi kode agar dirinya segera pergi dan tidak mengganggu di dapur.    "Pergilah. Masuk ke kamarmu," ujar si kakek.     "Biarkan aku yang menyimpan makanan," kata Lux sambil berdiri dan menuju ke lemari kaca di sudut ruangan. Disana banyak kotak makanan, ada juga piring, gelas, sendok, dan perlengkapan makan yang lain.    Melihat kelakuan Lux, sang kakek hanya tersenyum. Ia kembali menuangkan air kedalam gelas dan segera meminumnya hingga tandas. Pria tua itu berdiri dan meregangkan otot-otot tubuhnya.    "Kakek, istirahatlah. Aku akan membereskan dapur terlebih dahulu," ujar Lux yang baru saja tiba. Gadis itu memindahkan makanan ke dalam kotak makanan, ia menatap kakeknya yang malah mencubit gemas hidungnya.    "Gadis ini benar-benar menggemaskan," ujar sang kakek.    "Kakek, berhenti mencubit hidungku!" Lux kembali menggelengkan kepalanya kasar, ia berusaha membuat sang kakek melepaskan hidungnya.    Suara tawa sang kakek terdengar begitu renyah, Lux juga merasa lega saat hidungnya terbebas dari siksaan tangan kakeknya.    "Kakek menunggumu di ruang baca."    "Apa Kakek ingin membaca dongeng itu lagi?" tanya Lux.    "Tentu. Cepat selesaikan pekerjaanmu," sahut sang kakek yang telah berlalu pergi dengan cepat.    Lux hanya bisa menatap jengkel, apa ia harus berdebat lagi dengan kakeknya? Dirinya benar-benar tak ingin mendengar cerita membosankan itu sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD