(Dua)

1052 Words
Wisnu dan Bu Parmi dirawat di ruangan yang sama, supaya lebih memudahkan Raras memantau perkembangan dua orang itu. Setidaknya Raras bisa bernafas lega, korbannya tidak tewas. Raras melihat Wisnu membuka matanya perlahan, dia meringis sakit, matanya mulai mengawasi ruangan dan berakhir di wajah Raras dengan pandangan bingung. "Kau sudah sadar?" Senyum Raras mengembang. "Aku harus memanggil dokter." Raras berlari keluar ruangan. Wisnu melirik bangkar di sampingnya, tidak jauh, cuma berjarak tiga meter dari bangkarnya sendiri. "Ibu, Ibu?" Suara berat Wisnu menggema di ruangan, kepalanya masih sakit. Dia mencerna kenapa dia bisa berakhir di rumah sakit, sore itu... dia berniat mengantarkan ibunya ke rumah sakit karena ibunya sering mengeluhkan sakit di bagian d**a dan tulang punggung, dan tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah mobil sport menabraknya. Setelah itu, dia tidak ingat apa-apa lagi. Mata Wisnu teralih ke pintu masuk ruangan, wanita tadi mengikuti seorang dokter yang berjalan tergesa- gesa. Memeriksa tensi darah dan beberapa bagian tubuh Wisnu yang lain. "Bagaimana, Dok?" "Malam ini dia harus dioperasi," jawab dokter. "Lakukan yang terbaik! aku mohon!" ucap Raras. "Sudah menjadi tugas kami." Dokter melirik bangkar Bu Parmi. Wanita tua itu belum juga sadarkan diri. Dokter menekan sedikit nadinya. "Kami akan merujuk Bu Parmi ke spesialis jantung, ada yang janggal di sini, tapi saya tidak berani memastikan." Wisnu yang dari tadi diam, melebarkan mata, spesialis jantung? Apa ibunya menderita sakit jantung? Memang beberapa tahun ini ibunya sering mengeluhkan sesak nafas dan sakit di tulang belakang yang menjalar ke bahu, dia sudah membujuk ibunya ke rumah sakit, tapi selalu ditolak dengan halus, mungkin sang Ibu tak ingin membebaninya karena hidup mereka yang miskin, hanya Wisnu yang menjadi tulang punggung keluarga semenjak ayahnya meninggal dunia. Wisnu menatap Raras, Raras terlihat lelah dan gusar. "Apa Anda yang menabrak kami?" tanya Wisnu. Raras mengangguk. "Maafkan aku! semua salahku," jawab Raras. Dia duduk di kursi di samping Wisnu. "Aku akan bertanggung jawab sampai kau sembuh." Tak ada jawaban dari Wisnu. Pemuda itu memilih menatap jendela rumah sakit, apa yang akan terjadi padanya dengan kaki yang patah begini, adik- adiknya akan kelaparan. Raras melihat wajah sendu itu, kemudian membuka suaranya. "Jangan khawatirkan apapun, aku akan bertanggung jawab terhadap biaya keluargamu," jawab Raras. Wisnu menatap sekilas, anak orang kaya selalu mencari jalan keluar melalui uang. "Malam ini kau akan dioperasi." "Dan setelah itu aku akan menghabiskan hariku di kursi roda," jawab Wisnu lemah, kedua kakinya patah, apa lagi yang akan dilakukannya. "Kau akan sembuh, aku janji kau akan pulih seperti sedia kala," jawab Raras. Wisnu kembali diam, laki-laki itu tidak suka banyak bicara dan cendrung tertutup. Raras sangat lelah sekarang, ayahnya menelfon berulangkali menanyakan keberadaannya, dia hanya mengatakan bahwa di baik-baik saja dan akan menelpon kembali. Raras berjalan perlahan ke sofa ruangan, merebahkan tubuhnya di sana, dia benar-benar lelah saat ini. Terlalu banyak kejutan yang datang padanya. Beberapa saat kemudian dia sudah tertidur. Wisnu melirik wanita itu, tanktop biru laut dipadukan dengan celana di atas lutut , sepatu sport dan sebuah topi melekat padanya. Semua hal yang melekat di tubuhnya adalah barang mahal khas anak orang kaya, pantas saja dia tidak khawatir dengan perkara uang. Wisnu melirik kembali ke bangkar sang Ibu, ibunya masih belum sadar, matanya terpejam dan beberapa perban melekat di beberapa bagian tubuhnya. Wisnu memejamkan matanya, hari harinya untuk ke depan akan berjalan dengan sangat berat, kakinya begitu dibanggakan untuk mencari nafkah, sekarang dia tak ubahnya akan seperti bayi yang tidak bisa melakukan apa-apa. *** Wisnu melakukan serangkaian tes sebelum operasi, proses itu memakan waktu satu jam lebih. Tak ada ekspresi dari wajahnya, dia dingin dan tak terbaca. Dia tidak mengatakan apa pun saat Raras memberinya kekuatan bahwa semua akan berjalan lancar. Wisnu lebih banyak diam mengatupkan mulutnya dengan mata kosong. Beberapa jam berlalu, operasi pemasangan pen berhasil dilakukan, tulang yang patah adalah tulang bagian betis, sedangkan tulang di bagian paha tidak mengalami cidera. Raras memijit kepalanya berulang kali, kepalanya terasa sakit dan perutnya yang melilit perih. "Maaf, Mbak, pasien atas nama Bu Parmi sudah sadar," kata seorang perawat kepada Raras. Raras membalikkan badan, mengangguk dan mengikuti perawat dari belakang. ******* Raras merosot ke lantai, cobaan bertubi- tubi menyerangnya. Dia hanya ingin hidup tenang, menghabiskan waktunya di alam bebas, menikmati kesendirian tanpa gangguan siapapun. Apakah Raras harus melakukannya?? Dia sudah berjanji pada bu Parmi, dia sudah mengatas-namakan Tuhan dalam janjinya, jika yang diminta Bu Parmi Raras membiayai keluarga yang ditinggalkan Bu Parmi seumur hidupnya, maka dia tidak akan sepanik ini. Tapi bukan itu yang diminta Bu Parmi, permintaan yang bahkan tidak pernah hadir dalam mimpi buruk Raras. Bu Parmi ingin Raras menikah dengan Wisnu, permintaan yang sangat mustahil, menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya, dia hanya mengenal Wisnu sebagai korban dari kecerobohannya. Bagaimana bisa seorang korban berubah menjadi seorang suami. Raras terhenyak, dosa apa yang dilakukannya di masa lalu, sehingga dia dihukum seberat ini, Raras tidak tahu harus mengatakan apa kepada Wisnu jika laki-laki itu sadar, ibunya sudah pergi untuk selamanya, meninggalkan amanah yang harus mereka tunaikan bersama, karena pernikahan tidak bisa berjalan sendiri. Raras tertegun, saat namanya dipanggil perawat untuk menyelesaikan bagian administrasi berkaitan dengan Bu Parmi. Pak Kumis dan beberapa orang warga sudah membawa jenazah Bu Parmi pulang dengan ambulan rumah sakit. Raras mengikuti perawat menuju ruangan tempat Wisnu setelah dipindahkan dari ruang operasi. Raras menggigit bibirnya, laki-laki tak berdaya itu tidak bicara apapun, matanya menatap Raras dengan makna yang tidak bisa dipahami Raras, ada kemarahan dan rasa benci di sana. "Apa yang kudengar itu benar? Bahwa ibuku meninggal dunia." Raras meremas jarinya sendiri kemudian mengangguk pelan. Wisnu meneguk ludahnya susah payah, tak ada air mata di wajahnya, dia diam tanpa ekspresi apapun. Kenapa dia tidak marah atau memaki Raras. Baru kali ini Raras bertemu laki laki seperti Wisnu, dia seperti robot yang bernyawa. "Dia meninggal bukan karena kecelakaan,tapi serangan jantung," jawab Raras, dia harus meluruskan di sini agar Wisnu tidak salah paham. Dia tidak ingin Wisnu mengira bahwa bu Parmi meninggal gara-gara kecelakaan yang disebabkan olehnya. Dia tidak ingin semakin dibenci oleh laki-laki itu dan dicap sebagai pembunuh. Wisnu diam, tidak peduli dan tidak merespon informasi yang disampaikan Raras, matanya menatap lurus ke arah kakinya, dia kembali mengatupkan mulutnya. Raras sangat lelah, bahkan ini sudah jam sebelas malam, dari tadi siang perutnya belum diisi sedikit pun. Awalnya dia berniat menyampaikan amanah Bu Parmi, tapi melihat ekspresi dingin itu dia mengurungkan niatnya, bukan waktu yang tepat saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD