DUA

1061 Words
Faktanya, Elang tak bisa membantu apa-apa dan berakhir dengan Tari yang mogok bicara dengan Elang bahkan memblokir nomor pria itu karena terus menerus menghubunginya.   Tari menghela napas menatap restoran keluarganya. Ibunya tiba-tiba memindahkan lokasi makan malam mereka di Edelweiss Resto. Tatapan Tari beralih menatap ponselnya yang terus berdering, telpon dari Ibunya.   Rasanya Tari ingin menangis saat ini juga, tetapi sayang ia memakai mascara bukan yang waterproof.   "Tenang Batari. Alasan banyak kok" ucap Tari memasang senyumannya di kaca spion tengah mobilnya. Setelah menghela napas dan menghembuskannya, Tari meraih clutch nya dan melangkah keluar dengan tegas.   Tetapi malam itu sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak padanya. Saat Tari hendak membuka pintu utama restoran, seseorang menyebut namanya membuat Tari menoleh. Ia memandang laki-laki dengan kacamata yang menghiasi wajahnya.   "Arsen?!" pekik Tari kaget. Lelaki itu tersenyum canggung. Tari menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk memastikan situasi aman.   "Sen, gue mau minta tolong boleh ya?"   Tari dapat melihat wajah gugup Arsen, pria itu masuk ke dalam jajaran pria yang dulu mengangumi seorang Batari dan Tari tentu saja juga mengagumi Arsen yang cerdas dan wajahnya juga menggemaskan, apalagi tingkah lakunya yang kebanyakan malu-malu di depan Tari.   "Tolong apa Batari?"   Tari tersenyum senang lalu menceritakan rencananya pada Arsen.   "Cuma pura-pura kan?" tanya Arsen memastikan. Tari mengangguk antusias lalu ia menggandeng tangan Arsen dan melangkah dengan yakin.   "Ibu.. Ayah.. Ini Arsen pacar Tari" ucap Tari dihadapan kedua orangtuanya. Arion menatap tajam pria berkacamata didepannya sedangkan Calya menyipitkan matanya penuh selidik.   "Benar nak Arsen?" tanya Calya. Arsen tersenyum canggung.   "Benar.. Tante" jawab Arsen sopan.   "Sejak kapan kalian saling mengenal lalu pacaran?" giliran Arion yang bertanya. Sesi introgasi di mulai bahkan kedua orangtua Tari tak perlu repot mempersilahkan Arsen untuk duduk.   "Kami.. Mengenal sejak SMA dan baru berpacaran.." ucapan Arsen terhenti saat melihat Raja yang baru keluar dari toilet dan melangkah mendekat. Arsen tertegun dan menggelengkan kepalanya.   "Maaf om, tante. Kami baru bertemu kembali beberapa menit yang lalu. Permisi" ucap Arsen dan pergi begitu saja meninggalkan Tari yang menatapnya kaget.   "Arsen!" panggil Tari hendak menyusul pria berkacamata itu tetapi sang Ayah menahan langkahnya.   "Batari, duduk."   Tari menghela napas lalu menarik kursi kosong dan mendudukinya bersamaan dengan Raja yang melangkah mendekat.   "Yah--"   Arion mengangkat tangannya, menyuruh putrinya untuk tetap diam. Tari memasang wajah cemberutnya lalu melipat tangannya di depan d**a. Dalam hati ia merutuki Arsen.   "Sebenarnya kamu punya pacar atau tidak?" tanya Arion.   "Pu--"   "Jawab yang jujur. Kamu tau Ayah tidak suka orang berbohong" potong Arion tegas.   "Gak punya Yah" jawab Tari malas.   "Lah kok bohong? Dosa loh nak" ucap Arion. Tari mengalihkan pandangannya.   "Karena aku gak mau dijodohin sama Raja. Please, jangan paksa Tari Yah. Walaupun itu hanya sekedar mencoba Tari gak mau." jawab Tari dengan mata berkaca-kaca lalu ia bergegas pergi tak memedulikan panggilan Ayahnya. Napasnya benar-benar sesak karena kebenciannya pada Raja.   ***   "Kakak kenapa?" tanya Freya takut saat melihat Tari yang masih menangis. Tari hanya menggelengkan kepalanya dengan wajah yang tenggelam di bantal.   "Siapa yang sakitin kakak?" tanya Daffa dingin. Tari kembali menggelengkan kepalanya.   "Kak, ada apa?" giliran Evan, kakak kembar Freya yang bertanya.   "Kalian diem aja kenapa sih?" ucap Tari ketus lalu ia menyeka air matanya dengan kasar.   "Udah sana kalian keluar." Tari beranjak dan mendorong satu persatu bahu adiknya untuk keluar dari kamarnya.   Setelah ketiga adiknya keluar, Tari menenggelamkan wajahnya diantara lutut nya yang ditekuk. Dia benar-benar benci karena harus bertemu lagi dengan Raja.   Ketukan pintu dikamarnya membuat Tari mendongakkan kepalanya.   "Batari"   Tari menghela napas, suara Ayahnya. Tari memilih diam.   "Kak, buka dong pintunya" kali ini sang Ibu yang bersuara.   "Batari.. Ayah mau bicara nak"   Tari menyerah, ia beranjak lalu membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk membiarkan kedua orangtuanya ikut masuk.   "Ibu minta maaf nak" ucap sang Ibu. Tari menggelengkan kepalanya.   "Ibu gak salah"   Calya menatap sang anak. Reaksi mereka dalam hal jodoh menjodohkan jelas berbeda. Jika dulu Calya dijodohkan dan ia hanya bisa menerima tetapi Tari jelas menolak, bahkan Calya tau anaknya itu pasti akan mogok bicara.   "Ayah hanya ingin yang terbaik untuk kamu" ucap Arion. Calya melotot, meremas lengan kokoh sang suami.   "Kalau kakak gak mau gak apa-apa, Ibu sama Ayah gak maksa" ucap Calya tersenyum, jelas ia tidak ingin sang anak marah pada mereka.   "Cal" Arion menatap Calya sengit.   "Mas! Gak usah dipaksa anaknya" ucap Calya sebal. Arion memijit pelipisnya dan beranjak pergi. Calya tersenyum pada putri sulungnya lalu mengelus pundak Tari   "Kakak istirahat saja, biar ibu yang bicara sama ayah. Tidak usah terlalu dipikirkan" ucap Calya lembut lalu ia melangkah keluar menyusul sang suami.   Tari kembali menenggelamkan wajahnya. Ia jelas tidak mau jika disandingkan dengan Raja.   ***   Tari memilih menyibukkan diri di rumah sakit. Ia tak pernah mau memenuhi panggilan sang Ayah, juga mengabaikan panggilan telpon sang Ibu. Ia yakin kedua orangtuanya membahas perjodohan terkutuk itu.   "Dok, anda dipanggil prof. Ridwan keruangannya"   Tari menganggukkan kepalanya lalu segera meraih snelli nya dan beranjak menuju ruangan pemilik rumah sakit itu.   "Siang. Prof manggil saya?" tanya Tari memastikan. Prof. Ridwan tersenyum dan mempersilahkan Tari untuk duduk.   "Batari, pendaftaran relawan kamu saya tolak juga perekrutan kamu sebagai ketua" ucap prof. Ridwan membuat Tari terkejut. Ini pasti perintah Ayahnya.   "Perintah ayah saya ya prof?" tanya Tari memastikan.   "Saya minta maaf"   Tari mengusap wajahnya dan ia menganggukkan kepalanya.   "Tidak apa-apa prof. Kalau begitu saya permisi" ucap Tari lalu ia beranjak keluar dan melepas snelli nya. Jika ia menghampiri Ayahnya sekarang, pasti Ayahnya itu akan merasa menang. Tari harus bisa ikut menjadi relawan tanpa harus dalam pengawasan Raja.   Tari duduk bersedekap di taman rumah sakit. Wajahnya tertekuk sebal. Ponselnya kembali berdering, telpon dari Ibunya dan Tari kembali mengabaikannya.   "Es melon?"   Tari mendongakkan kepalanya dan mendapati seseorang yang paling ia hindari kini berdiri dihadapannya sambil menyodorkan gelas plastik berisi es melon.   Tari hanya melengos malas dan mengabaikan keberadaan lelaki dihadapannya.   "Tari.. Saya ingin--"   "Mending lo pergi deh" potong Tari sebal. Ia benar-benar malas mendengar alasan apapun yang nanti akan dilontarkan Raja.   "Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Kamu kenapa sebenarnya?"   Tari mengepalkan tangannya lalu sebelum Raja bereaksi, Tari sudah mengambil es melon dari tangan Raja lalu menyiramnya pada wajah dan seragam Raja. Rasa dingin langsung menembus kulit Raja.   "Tidak ada yang perlu diperbaiki lagi kalau lo aja gak tau masalahnya apa." ucap Tari dingin dan ia berbalik pergi meninggalkan Raja dengan perasaan dongkol.   "Harusnya tadi gue tendang atau tonjok dulu" gumam Tari dan sekali lagi ia menoleh pada Raja yang kini mengusap wajahnya. Tari tersenyum sinis dan kembali melanjutkan langkahnya.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD