Bab 2

1421 Words
“s**t!” umpatku sambil meremas kertas catatan gemas begitu selesai membacanya. Langsung meraih tasku dan mengacak-acak isinya, begitu mendapatkan apa yang kucari aku segera membuka benda tersebut. Benar saja, salah satu kartu kreditku tidak berada di tempatnya. Aku mengambil ponsel, berniat menelepon sekretarisku. Tapi kejadian kemarin terlintas dalam ingatanku, kembali aku mengumpat. Sambil mengatur napas, aku diam beberapa saat, mencoba berpikir dengan kepala dingin. Akhirnya kuputuskan untuk membiarkan pria itu beberapa hari. Kartu kredit yang dibawanya bukanlah kartu dengan limit tertinggi, aku tidak akan jatuh miskin hanya dengan membiarkan benda itu terlepas dariku selama beberapa hari. Lagipula aku mendapatkan kepuasan darinya semalam, entah berapa kali. Anggap saja aku membayar gigolo. Gigolo? Keningku berkerut ketika menyebutkan kata itu dalam hati. Mungkin saja dia memang gigolo. Melihatku yang kacau dan memanfaatkan itu untuk mendapatkan klien. Ya, dia pasti gigolo, pria normal tidak akan mau bercinta dengan wanita sepertiku. Mengingat suamiku sendiri memilih untuk memasuki lubang wanita lain daripada milik istrinya. Aku memutar bola mata dan beranjak bangun menuju kamar mandi. Berendam dalam air hangat akan membuatku segar.  *** Dari hotel aku langsung menuju kantor, mengenakan baju yang sama dengan kemarin, plus berangkat terlalu awal. Saat keluar dari lift aku berpapasan dengan salah satu office boy, aku menyapanya ringan, sementara dia malah terbengong melihatku, tapi kemudian seolah tersadar dia menjawab sapaanku dengan gugup. Bisa dimaklumi karena bukan hal yang wajar melihatku di kantor sepagi ini. “Tolong buatkan kopi ya,” pintaku padanya sebelum masuk ke ruanganku. “Ya, Bu.” Aku membuka pintu perlahan, menoleh ke arah sofa dan denyutan nyeri itu kembali hadir. Bayangan Viona yang melonjak-lonjak di pangkuan Bram melintas dalam benakku, bahkan gambaran payudaranya yang kecil juga bisa kulihat dengan jelas. Ditambah suara erangan dan dengusan napas memburu dari keduanya. Seolah-olah mereka benar-benar berada di depanku saat ini. Aku mendekati sofa, berdiri sambil memandangi benda itu dengan sorot mata jijik. Ketika mendengar pintu diketuk aku menoleh dengan cepat, melihat office boy yang tadi kuminta membuatkan kopi berdiri di sana. “Letakkan di meja,” kataku. Dengan sungkan dia masuk dan meletakkan kopiku ke atas meja. Keningku mengernyit ketika melihat dua potong pastel di atas piring kecil ikut diletakkan di sana. “Aku tidak meminta pastel,” ucapku dengan nada heran. “I-iya, maaf … maaf,” gumamnya gugup sambil mengambil kembali piring berisi pastel tersebut. “Biarkan saja.” Aku berjalan mendekatinya. Office boy itu urung mengambil kembali, dia agak menunduk ketika mundur selangkah. Aku mengambil satu pastel dan menggigitnya. “Hmm … enak, dari mana kamu dapat ini?” tanyaku sambil mengunyah pelan. “I-ibu saya yang bikin, Bu,” jawabnya gugup, “saya ingat Ibu suka sekali pastel jadi saya bawa,” dia melanjutkan dengan kepala yang semakin tertunduk. Aku merasa terharu dengan perhatiannya, sambil tersenyum aku pun mengucapkan terima kasih. Dia terlihat senang. “Siapa namamu?” tanyaku, mengambil tisu untuk membersihkan tanganku dari minyak. “Aldebaran.” Aku mengangkat kedua alisku, agak heran mendengar namanya. Bukannya diskriminatif, tapi rasanya aneh mendengar nama itu untuk seseorang dengan jabatan office boy. “Okay, Ald….” Sesaat otakku seolah berhenti bekerja, kemudian kembali dengan tiga huruf yang baru saja kusebut berjajar rapi seakan-akan sedang berbaris di dalam kepalaku. Ald? Aku berdeham dan berkata lagi, “Aku harus memanggilmu apa?” “Al, Bu. Panggil saja saya Al.” “Baiklah, Al. Aku butuh bantuanmu sekarang,” ujarku sambil menedekati sofa. “Bisakah kamu membuang sofa ini? Aku mau menggantinya dengan yang baru.” Jariku menunjuk ke arah sofa laknat tempat Viona dan Bram bercinta. “D-dibuang, Bu?” “Ya. Dibuang,” tegasku. Meski terlihat bingung, Al tetap menuruti permintaanku. Dia meletakkan nampan yang dibawanya ke atas sofa dan mulai menyeret benda itu keluar dari ruanganku. Tak sengaja mataku tertuju pada otot lengannya yang mengeras, di luar kehendakku, bayangan lengan berotot pria yang berada di atasku semalam hadir begitu saja, membuat napasku memburu selama beberapa detik. Aku memutar tubuh menghindari pemandangan itu, berjalan menuju mejaku dan duduk di baliknya, kemudian mulai menyiapkan pekerjaanku. “Saya permisi, Bu,” pamit Al begitu sofa sudah keluar sepenuhnya dari ruanganku. Aku hanya mengangguk tanpa melihatnya. Entah berapa lama aku berada di ruanganku, tapi dari suara-suara di luar, aku tahu orang yang kutunggu akan datang sebentar lagi. k****a lagi surat yang baru saja kuprint, lalu membubuhkan tanda tangan di sudut bawahnya. Tersenyum puas dengan hasilnya.   Baby, I want you, na na Can't keep your eyes off my fatty Daddy, I want you, na na Drunk in love, I want you   Indera pendengaranku menangkap suara yang kukenal menyanyikan Drunk In Love. Aku baru menyadari dia terlalu sering menyenandungkan lagu itu, dan mendengarnya saat ini membuatku berpikir lagu itu ditujukan pada Bram. Kuputar kursiku agar aku bisa berdiri, berjalan mendekati pintu dan membukanya perlahan. Sepertinya Viona tidak menyadari jika aku sedang memperhatikannya, dia terus bernyanyi sambil menggoyangkan bokongnya dengan gerakan sensual. “Oh baby, drunk in love we be all night….” “Viona!” panggilku yang segera menghentikan nyanyiannya dan membuat gadis itu berbalik ke arahku. “Y-ya, Bu.” “Ke ruanganku sekarang!” perintahku ketus, langsung berbalik dan kembali ke kursiku. “Saya tidak tahu Bu Dewi sudah datang,” kata Viona memasang senyum palsu termanis. Aku melihatnya tanpa berkata apa-apa selama beberapa saat. Pandanganku tertuju pada lehernya, ada tanda bekas kecupan di sana, tidak hanya satu tapi banyak. “Sepertinya kamu bersenang-senang semalam,” gumamku sambil menopang dagu dengan kedua tanganku, menatapnya tajam. Dia terlihat bingung. Viona baru mengerti ketika aku menunjuk lehernya. Dia tersipu. “Kencan dengan pacar?” tanyaku datar. Dia mengangguk, wajahnya terlihat berseri-seri. “Make f**k?” Viona melongo mendengar pertanyaanku. Dia benar-benar pandai berpura-pura jadi gadis lugu. “Forget it!” Aku melepaskan topangan daguku, lalu mengambil amplop yang sudah kusiapkan. “Ini,” kataku menyodorkannya pada Viona. Viona menerima amplop tersebut, ekspresi penuh tanya terpasang di wajahnya. “Itu surat pemecatan, mulai sekarang kamu tidak bekerja di sini lagi,” ujarku santai. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi aku mendahuluinya. “Kamu tahu kenapa sofa yang di sana tidak ada?” Aku menunjuk tempat yang semula diisi sofa. Dia menoleh mengikuti ujung jariku kemudian menggeleng. “Aku membuangnya,” ucapku tajam. “Aku tidak mau ada sofa yang terkena s****a suamiku setelah dia meniduri sekretarisku berada di ruanganku,” lanjutku menekankan kata demi kata sambil menatapnya tajam. Wajah Viona memerah, tanpa mengatakan apa-apa dia segera berlalu dari hadapanku. Aku sadar usahaku mengeluarkan Viona dari perusahaan tidak akan mudah, meski aku mempunyai hak untuk melakukan itu, tapi Bram pasti tidak akan tinggal diam. Dia bukan type suami takut istri, kami sama-sama kuat, sama-sama keras kepala. Benar saja, selang tiga puluh menit aku memecat Viona, Bram datang ke ruanganku. Lebih cepat dari perkiraan waktu yang kujadwalkan. “Kamu tidak bisa memecat orang seenaknya!” teriaknya langsung begitu menutup pintu dengan kasar. “Kamu sudah tahu?” gumamku tanpa menoleh padanya. “Tentu saja! Dia ke ruanganku meminta kea—” “Kamu sudah tahu kalau aku tahu kamu ada Affair dengannya?” Aku memotong ucapannya, menghentikan aktifitasku dan menatapnya datar sambil menyandarkan punggungku. “Affair?” Aku mengangguk. “Dengan Viona?” Kembali aku mengangguk. Dia tertawa. “Kamu ngigau? Dia karyawan di sini, wajar kalau dia mengadukan perbuatan kamu yang semena-mena padaku!” Aku menatap Bram, demi Tuhan aku pernah sangat mencintai pria itu. Mungkin masih. “Aku melihat kamu bercinta dengannya di sini kemarin,” gumamku datar, tanpa ekspresi. Bram terlihat tenang. Dia pasti sudah bersia-siap dengan ini. “Begitu?” gumamnya sinis. “Kamu menuduhku selingkuh untuk menutupi apa yang sudah kamu lakukan semalam?” Aku menegakkan punggungku, menatapnya penuh selidik. “Memangnya apa yang kulakukan?” “Seseorang mengirimiku fotomu yang berada di club semalam, mabuk dan dalam pelukan seorang pria.” Tanpa sadar tanganku terkepal. “Kapan kamu menerima foto itu? Ketika sedang bercinta dengan Viona di apartemennya?” desisku. Aku menyadari kalimat yang kuucapkan membuat Bram bereaksi, terlihat dari rahangnya yang  mengetat dan sorot matanya yang terlihat penuh amarah. “Kamu tahu kamu tidak bisa melawanku, Dewi!” geramnya. Melihat matanya, ada rasa ngeri yang menggangguku. Tapi aku menaikkan dagu dan balas menatapnya dengan sorot mata menantang. “Kita lihat siapa yang paling kuat,” jawabku datar. Bram terlihat kesal. Dia keluar dari ruanganku setelah sebelumnya melemparkan sorot mata kebencian. Lalu menutup pintu ruanganku dengan kasar, meninggalkan bunyi berdebum keras yang terus terdengar olehku meski suara sebenarnya sudah menghilang. Tahukan kalian bagaimana rasanya dibenci oleh orang yang pernah kalian cintai? Atau masih kalian cintai…. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD