Bab 2

982 Words
Seorang pria terlihat duduk sendirian di sebuah Cafe. Menatap ke luar dengan pandangan menerawang, seperti melamunkan sesuatu. Hanya pandangannya yang melihat dengan mata yang terbuka, tetapi pikirannya entah kemana. Seolah banyak beban yang menggelayut dalam kehidupan ini membuatnya tak mempercayai satu pun orang bahkan ayahnya sendiri, yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan harta yang baginya tak akan pernah dibawa mati. Dikhianati membuatnya kehilangan kepercayaan, bahkan kepercayaan dirinya. Ternyata apa yang dianggapnya baik selama ini belum tentu adalah yang terbaik untuk segala hal yang menjadi prioritasnya. "Pak, ingin pesan lagi?" tanya seorang pramusaji kepadanya. Ia menoleh. "Ya, coffe latte tanpa gula ya!" katanya menyebutkan pesanannya. Pramusaji itu mengangguk dan izin kembali, setelahnya dia menatap kembali ke luar jendela Cafe tersebut karena kebetulan hari sedang hujan dari tadi pagi tidak berhenti. Sampai hari mulai petang gerimis melanda tak mau reda membasahi bumi dengan rajinnya. Terlihat seorang pria seumuran dengannya berjalan dengan santai sambil memasukkan sebelah tangannya ke dalam kantong celana bahannya dengan style cool, tersenyum memikat kepada setiap pengunjung lalu duduk tepat di depan seseorang yang sedang melamun itu. "Seperti orang galau tanpa arah saja, padahal punya uang dan harta. Lalu untuk apa semua itu jika tidak bisa dinikmati? Oh, come on, Dude, kamu harus bisa bersenang-senang dan menikmati hidupmu," ceramahnya panjang lebar yang tidak berfaedah sama sekali bagi lelaki itu. "Jika bukan sahabatku, mungkin aku sudah melemparmu dari Cafe ini dari tadi," kata Dave, membalas ocehan Sean yang tidak bermanfaat baginya. Ya, orang yang dari tadi melamun adalah Dave, dan temannya yang baru datang adalah Sean. Sean baru datang dari London setelah beberapa bulan di sana mengurusi bisnisnya. Dia adalah anak yang bebas tanpa beban. Baginya menikah adalah halangan untuk hidupnya yang sempurna tanpa gangguan dari pasangan yang banyak tuntutan. Berbeda dengan Dave, yang memang ingin menikah dulu, sebelum penghianatan oleh orang terdekatnya hampir menghancurkan hidupnya yang sempurna. "Bagaimana London? Dan kapan kau tiba?" tanya Dave pada Sean yang memainkan ponsel pintarnya "Kemarin malam. Aku tidak pulang ke rumah atau apartemen atau pun penthouseku. Aku di Bar Ewan semalaman. Dan London tidak ada yang berubah, semua masih sama, apalagi wanita sexy yang semakin bertambah," ucapnya dengan senyum sumringah tanpa beban. Dave mendengus mendengarnya. Dia hapal bagaimana peringai sahabatnya jika berkaitan dan berbicara tentang wanita. Dia juga dulu ketika hidup di London seperti itu hampir 10 tahun yang lalu, tapi setelah kembali ke Indonesia dan menemukan wanita yang dicintainya 5 tahun yang lalu, semuanya berubah. Tapi apa yang terjadi? 3 tahun menjalin hubungan rupanya hanya membuahkan penghianatan. Apa yang dia dapat dari memberikan sebuah cinta pada wanita yang salah? Kejadian itu sudah dua tahun yang lalu, namun masih terngiang di kepalanya. Bagaimana dia dipermalukan di depan semua orang dan keluarganya. Bahkan ayahnya yang dari awal menganggap dia tak ada semakin menjadi dan tak pernah ada. "Kejadian itu sudah lama berlalu. Dua tahun juga bukan waktu yang sebentar, harusnya kamu bisa menata diri dan hatimu, Dave,” ujar Sean sambil menerima coffe latte tanpa gula. "Aku pesan Espresso Americano, dengan sedikit gula, agar manis namun jangan kemanisan karna nanti dia akan kalah oleh senyummu,” kata Sean mencoba merayu pramusaji yang tadi mengantar pesanan Dave, dengan mengerlingkan sebelah matanya membuat si wanita pramusaji itu tersipu malu. Setelah si pramusaji itu pergi, Dave berkata, "Jangan selalu menebar pesona dan memberikan harapan pada orang lain, Sean, apalagi wanita itu. Dia kelihatannya masih muda dan polos. Tidak baik memperlakukan mereka seperti itu,” nasihat Dave padanya. "Oh, come on, Dude. Nikmatilah hidupmu. Jangan terlalu ditahan dan mencoba membuat tembok pengaman untuk dirimu, Dave. Lagipula gadis itu memang kelihatan polos, tapi jangan salah, sekarang banyak yang terlihat polos tapi ganas, di ranjang," ucap Sean disertai siulan menggoda. "Terserah padamulah, Sean, jika suatu saat karma terjadi padamu, kaulah yang menanggungnya. Yang penting aku sudah memperingatimu!” kata Dave kesal. "Tenang saja, Dave. Dan sebentar lagi wanita yang di sana akan datang kemari. Aku akan mendapatkan nomor handphonenya," ujar Sean dengan angkuh. "Coba saja, dan kita bertaruh jika kau tidak akan mendapatkkannya," ucap Dave terlihat tertaangkuh Si pramusaji itu akan mengantar coffe Espresso Americano pesanan Sean yang sebenarnya dipesankan oleh Sean untuk Dave yang baginya hidupnya kurang manis dan berwarna, maka dia pesankan Espresso sedikit gula. "Ini pesanan Anda, Tuan," kata si wanita pramusaji itu kepada Sean. "Terima kasih, Cantik. Kau memang manis sekali dan juga indah," rayu Sean. "Ini Espresso untukmu, Dave, agar hidupmu sedikit lebih manis, minumlah!" suruhnya. "Terima kasih," kata Dave kepada si pramusaji itu. Si pramusaji mengangguk sambil membungkuk dan berlalu, bahkan tanpa sempat Sean memulai sebuah pembicaraan kepadanya. Dave hampir saja tertawa karena Sean tidak pernah diacuhkan oleh siapa pun, kecuali si wanita pramusaji itu, walau dia terlihat tersipu malu tetapi dia tidak menggapi ucapan Sean. Biasanya mereka para wanita akan membalas dan mencoba genit kembali. Namun, tidak dengan wanita itu. Maka dari itu Dave sangat senang karena sebentar lagi Sean pasti akan mencoba merayu dan mengejar wanita itu. "Aku bertaruh kau tidak akan mudah mendapatkannya sekali ini, Sean," kata Dave dengan senyum licik di bibirnya. "Aku yakin akan mendapatkannya di saat kau juga akan mendapatkan cinta yang baru nanti, Dave, kita akan impas," ucap Sean dengan penuh percaya diri. Dave tidak berbicara, namun ia menyesap sedikit Espresso pesanan Sean dan kelihatan dia menikmati minuman itu, padahal dengan sedikit gula sangat nikmat daripada tidak sama sekali dari yang selama ini dia minum. Dia menemukan rasa yang berbeda. Rasa baru yang akan membawanya pada lembaran baru hidupnya yang monoton. Tapi dia tidak akan pernah menyadarinya. Dave mengeluarkan uang dua lembar ratusan lalu meletakkan di atas meja, untuk pembayaran minuman mereka. Dia akan berlalu, namun sebelumnya dia berhenti sejenak melihat ke arah Sean dan berkata, "Kita lihat saja nanti, Sean, sekarang aku akan pulang dulu." Dave berlalu pulang. Meninggalkan Sean yang memikirkan bagaimana caranya mendapatkan kontak si wanita pramusaji itu. Dave mengenal temannya itu dengan baik. "Permainan baru dan kisah baru akan dimulai," kata Dave dalam hati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD