KTA'S 07 - Too Sad To Cry

2107 Words
Aroma obat-obatan menyengat indera penciumannya. Dengan berat Laisa membuka kelopak matanya yang tertuju langsung pada atap putih. Ia menolehkan kepala ke arah dua orang di sampingnya. Ada Eliana yang tengah duduk juga Panji yang tengah mendekap tangannya di depan d**a. Ia meringis saat rasa nyeri kembali berdesir di sekitar perutnya. "Tadi lo pingsan di depan kelas. Terus ada Panji yang bawa lo ke sini." Eliana menjelaskan. Tapi ada satu tanya yang Laisa harap Eliana dapat mengerti meski tak ia ucapkan. "Tadi Nanta ke sini, tapi dia nggak bisa ninggalin jam mata kuliahnya. Jadi dia minta gue yang ke sini," lanjut Eliana mengerti dengan raut tanya Laisa. "Mau langsung pulang? Kebetulan gue udah siapin mobil di depan." Panji bersuara. Dengan senyumnya yang pucat Laisa menolak secara halus. "Nggak perlu. Takut ngerepotin lo. Gue bisa pulang sama Eliana," ucapnya dengan lemah. "Kita bisa naik taksi, kok." Eliana menambahkan. "No. Kali ini gue maksa." Panji menegaskan. "Ya, gue takut lo kenapa-kenapa," lanjutnya. "Nggak perlu, Kak. Makasiiih banget." Laisa menangkupkan kedua telapak tangannya di depan d**a. Panji menaikkan kedua alisnya seolah tidak yakin dengan Laisa. "Gue janji." Laisa meyakinkan. Tapi Panji justru menggelengkan kepala. "Kali ini nggak boleh nolak," ujarnya. "Pan-." "Laisa." Eliana pun tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya menganggukkan kepala sekilas pada Laisa bersama senyum tipis yang mengembang penuh arti. "Oke," putus Laisa setengah malas. Namun menjadi penyebab senyum Panji mengembang tuntas. Laki-laki itu pun gegas membantu Laisa menuntun menuju mobilnya dengan sigap. Meski tampak jelas Laisa terlihat enggan. "Gue bisa sendiri." Laisa melepaskan cekalan tangan Panji. Membuat laki-laki itu mau tak mau membiarkan Laisa berjalan tertatih dengan dibantu Eliana. Lalu ia hanya membukakan pintu mobil untuk Laisa. Namun kedatangan sepatu compass dengan warna putih lusuh membuat Laisa menghentikan langkahnya. Perlahan tatapannya merambat ke pemilik sepatu yang berdiri sambil menenteng tas punggungnya. Nanta melepaskan kacamata baca yang bertengger di pangkal hidungnya. Lalu memasukkan ke dalam saku kemeja kotak-kotaknya. Ia tak pernah betah berlama-lama memakai benda itu. Tak lama disusul dengan suara klakson mobil yang Rezky tekan dua kali. "Sorry, Bang. Mungkin Laisa pulang sama kami. Karena ada urusan juga sama papanya. Tadi telepon saya," ucap Nanta tanpa basa-basi. Panji hanya diam. Menatap Nanta dengan kedua bola matanya yang tampak menyala. "Makasih banget udah mau jagain Laisa." Nanta melemparkan senyum manis maskulinnya pada Panji. Lalu tangannya meraih lengan Laisa dan membawa gadisnya menuju mobil milik Rezky. Meninggalkan Panji yang mematung sendiri sambil menahan emosi. Ah, itu haknya untuk marah. Karena hal terpenting, Nanta yang paling berkewajiban untuk menjaga Laisa bagaimanpun resikonya. Lagipula ia tak peduli dengan Panji yang akan menyimpan perasaan tidak suka padanya. Baginya itu bukan masalah besar. Ya, selama masalah itu tidak menyangkut antara dirinya dengan sang ayah. Mendadak Nanta terdiam dengan tangan yang tanpa sadar meremas-remas ponsel di tangannya. "Sakit apa, La?" Pertanyaan Rezky membuat Nanta tersadar dengan di mana ia tengah berada. "Maag gue kambuh," jawab Laisa lemah sambil bersandar dengan nyaman di sandaran jok mobil. Nanta menoleh ke arah gadisnya, lalu tangannya terulur memberikan sebotol air kelapa hijau yang ia beli di dekat pertigaan dekat gerbang kampus. "Biar agak mendingan," ucapnya. Laisa menerima pemberian Nanta. "Makasih," balasnya seraya tersenyum hangat. Lalu meneguknya pelan-pelan. "Aduh! Kalian tuh so sweet banget." Eliana mulai heboh. "So sweet apaan, muka si Nanta datar begitu." Rezky menyelak. "Yang so sweet tuh gini." Lalu ia bersiap memeragakan bagaimana bersikap manis yang sebenarnya. "Nih, Sayang. Diminum, ya. Tadi aku beli di depan kampus, spesial buat kamu. Biar perut kamu agak mendingan," ucap Rezky. Laisa terkekeh dengan kelakuan pacar Eliana. "Itu, sih, bukan so sweet, tapi lebay," komentarnya. "Dih, lo tuh ya. Bukannya ngedukung gue, malah gitu." Rezky menahan kejengkelannya. "Kita nggak bisa memukul rata atas segala sikap dan perhatian setiap orang, Ky," ujar Laisa mengeluarkan jurus andalannya. "Nah, ini nih. Pasti diajarin sama si Nanta." Rezky menunjuk Nanta. "Ya, selama itu hal baik, kenapa nggak?" Nanta menyahut. "Udah, ah. Ribut mulu." Eliana menengahi. Laisa menggeser posisi duduknya mendekati Nanta. Lalu menyandarkan kepalanya di bahu Nanta dengan nyaman. Baginya, Nanta bisa selalu menjadi apapun yang ia butuhkan. Seorang kakak dari gadis tunggal keluarga Hestamma, seorang sahabat dari gadis kesepian, atau bahkan menjadi musuh dalam sekali waktu hanya karena pertengkaran yang dimulai sepele. "Makasih," ucap Laisa pelan. Halus menyentuh telinga Nanta. Nanta hanya mengangguk. Disusul dengan tangannya yang bergerak untuk merangkul Laisa dengan hangat. Lalu kecupan manis jatuh mendarat di kening Laisa dengan lembut. "Pak Supir, nanti berhenti di depan aja, ya. Barangkali puter baliknya kejauhan. Pak Supir kan mau nge-date kan?" "Eh, sue lo! Dari pagi bikin orang naik darah mulu kerjaan." Rezky menyahut dengan sebal. "Harus sabar, Pak. Hidup ini ujian." Nanta justru terkekeh. "Terserah lo, terserah! Bodoamat!" Dengan kesal Rezky menginjak pedal rem secara mendadak setelah menepikan mobilnya, hingga membuat Nanta nyaris terantuk jok depan. "Ah, tidak berguna ya anda," maki Nanta menahan rasa kesalnya. Ia gegas turun dari mobil Rezky. "Eh, eh. Bukannya bilang makasih." Rezky meraung tidak terima. "Iya, makasih banyak Bosku." Nanta terkekeh. Lalu kedua tangannya meraih kepala Rezky dari arah jendela dan mengecupnya sekilas dengan gemas. "Emuah!" "Nanta sialan!" Rezky semakin meraung keras. Namun Nanta tampak tidak peduli. Ia terus melanjutkan langkahnya sambil menggandeng tangan Laisa menuju lift apartemen. "Sampe ke Rezky-Rezky kamu cium." Laisa berkomentar dan sontak membuat Nanta terbahak. *** Suara ramai dari beberapa bumbu dapur yang Nanta masukkan ke dalam minyak panas memecahkan keheningan ruangan. Kali ini ia harus menggunakan kemampuannya untuk Laisa. "Kamu sering bilang kalo saya jangan sampe telat makan. Tapi kamu sendiri justru lupa." Nanta mengungkapkan rasa cemasnya. "Maaf, abis aku dikejar deadline." Laisa menyandarkan tubuhnya pada sandaran empuk di sofa setelah menelan butiran obat yang Nanta berikan untuk meredakan rasa perih di perutnya. "Sepenting apa, sih, La?" "Ya, penting banget, Nan. Kamu tau sendiri kan, gimana aku pengen banget buat menangin kompetisi karya tulis ini biar aku bisa jadi perwakilan kampus untuk pertukaran pelajar di Irlandia." "Percuma kamu menang, kalo penyakitmu itu ikut tumbuh." Laisa diam. Di posisi ini Nanta seakan menjelma menjadi seorang kakak yang mencemaskan adiknya, bukan seorang pacar yang tengah mengkhawatirkan keadaannya sekarang ini. Keheningan melingkupi. "Sorry, saya nggak marah sama kamu. Tapi seenggaknya kamu sadar diri sama keadaanmu itu, La," ucap Nanta menghancurkan sunyi yang mulai melesak di sekitar atmosfernya. "Kamu marah." Laisa mengelak. Jelas Nanta sedang marah dengan caranya. "Nggak." Bagi Laisa satu kata yang terucap itu berarti 'iya'. Laisa diam. Malas berdebat karena rasanya akan terlalu lelah jika menghabiskan energi untuk melawan Nanta. "Kamu sendiri gimana?" tanyanya. "Gimana apanya?" "Kamu sendiri punya riwayat infeksi paru-paru, kenapa masih merokok, sih, Nan?" "Itu cuma sesekali." "Kamu juga sama nggak sadar dirinya, kok." Pergerakan tangan Nanta saat memotong sayur berhenti. Ia membalikkan tubuhnya ke arah gadis yang tengah duduk di sofa depan televisi. "Apa?" tanya Laisa lebih ke arah menantang. Nanta memandangi Laisa dengan sorot mata menunjukkan keengganannya untuk membahas hal yang sama. Sejenak ia menghela napas lalu kembali melanjutkan aktivitas memasaknya. "Emangnya kamu nggak ingat pesan Agam yang udah rela donorin paru-parunya buat kamu?" Hening. Nanta hanya mendengarkan pertanyaan itu tanpa berniat memberikan jawabannya. "Kasian Agam. Kalo ternyata paru-parunya dirusak dan bukannya dijaga." Laisa masih melanjutkan. "Udah lah nggak usah dibahas." "Pasti Agam bakal marah banget kalo paru-parunya nggak dijaga sama orang nggak tau diri macam si Ananta Sadewa!" "La." "Kasian deh Agam. Mengorbankan semuanya dengan sia-sia." "Laisa." "Andai aku jadi Agam dan tau semuanya akan seperti ini, aku nggak akan pernah mau berkorban sejauh itu cuma buat sahabatnya yang nggak tau diri!" "Ya Tuhan." "Huft ... aku nggak habis pikir-." "Laisa Puti Andrean." "Apa?! Mau marah?!" Nanta menarik napas panjang. Berusaha menormalkan desir emosi di dalam kepalanya. "Harusnya kamu tuh sadar loh, Nan. Dan bukannya bertindak bodoh seperti yang kamu lakukan itu." Lalu memilih untuk tidak memedulikan Laisa dan gegas menyelesaikan masakannya. "Aku tau, Nan. Dan aku paham, kenapa kamu ngelakuin itu semua." "Makan dulu." Nanta datang sambil menyodorkan semangkuk dimsum alakadar buatannya. "Nan, kamu denger aku nggak sih?" "Nggak." Dan kembali, Laisa menahan napas sekaligus menahan debar jantungnya agar mampu bersabar menghadapi Nanta yang mulai seperti ini. "Makan dulu." "Kamu tau antonim dari cinta?" "Makan dulu." "Jawab aku!" "Makan dulu, La." Dengan nada yang terdengar tenang Nanta tidak memedulikan ucapan Laisa. "Nan-." "Mau saya suapin sekalian? Saya juga lapar." "Kamu bisa nggak sih, dengerin aku dulu?" Nanta menatap Laisa lekat di sepasang irisnya yang indah. "Saya tau, La. Ya, saya lebih dari paham dengan semua yang kamu bilang tadi." "Empat tahun kita bersama dan kamu sama sekali belum berubah." Laisa menggeleng pelan. Satu tangan Nanta terangkat lalu menangkup wajah Laisa. Lalu mendekatkan wajahnya, menatap Laisa di jarak yang hanya tersisi dua inci. "Dan selama itu kamu mampu bertahan dengan saya. Hebat," ucapnya mengulas sebuah senyuman hangat. Laisa menahan napas melihat senyum Nanta yang seperti itu. Bibir merahnya yang mengembang manis dan hanya perlu sedikit bergerak untuk menautkannya. Diikuti dengan debat jantungnya yang berharap Nanta mengecupnya dengan hangat. "Maaf, kalau selama ini saya masih banyak kurangnya untuk kamu." Nanta melirih seraya menahan dadanya yang menyesak. Ditatapnya setiap inci wajah Laisa yang seakan menampakkan seluruh keluh dan tidak dibiarkan untuk luruh. "Aku cuma mau kamu berhenti menyakiti tubuh kamu sendiri, Nan." Laisa menahan cekat pada suaranya. Rasanya begitu sulit untuk mengucapkan setiap patah kata yang menumpuk di dalam benaknya. Seperti ada tulang-tulang yang menyesakkan jalan napasnya. Tangan Nanta bergerak mengusap puncak kepala Laisa. "Udah. Kita makan dulu. Saya nggak bisa lama-lama. Sore ini harus kumpul di warung Abah." Nanta kembali pada posisinya semula lalu mengambil sumpit dan mewadahi beberapa butir dimsum ke dalam mangkuk kecil di tangannya. "Nih, cobain. Jarang-jarang saya mau masak begini. Kayaknya kamu harus sakit dulu baru saya mau masak," celetuk Nanta sambil menyodorkan dimsum buatannya ke mulut Laisa. Laisa berdecak. Antara sebal dan gemas menjadi satu. Dengan gerakannya yang cepat, ia mencubit lengan Nanta hingga laki-laki itu meringis. "Jahat." Bibirnya mengerucut. "Canda." Nanta terkekeh sambil menjejalkan sebutir dimsum ke mulut Laisa. "Makan yang banyak. Karena dua hari ke depan kamu harus menahan rindu," celetuk Nanta. Kedua netra Laisa membulat. Menatap Nanta dengan penuh tanya dan terbesit rasa ketidaksetujuannya. "Untuk bahan dialog interaktif minggu depan saya harus ke Kamojang di Bandung untuk riset pengembangan ekstraksi panas bumi yang ada di sana." "Oh." "Oh?" "Tumben minat?" Laisa menyantap suapan demi suapan yang Nanta beri. "Pak Samir yang minta saya buat maju jadi salah satu peserta." Laisa bergeming sambil terus menatap wajah Nanta. Perlahan atmosfer menjadi hening dan hanya dipenuhi semburat senyuman yang mengembang setiap kali tatapan matanya saling bertemu. "Nan." Laisa memanggil laki-laki yang kini bergantian fokus mengisi perutnya sendiri. Nanta menolehkan kepala sekilas sebelum kembali menyantap makanannya. "Kamu nggak ada niat, kah, buat dancing on my lips?" Pertanyaan yang lolos dengan lancar sukses membuat Nanta tersedak. Segera Laisa memberikan segelas air pada Nanta. "Ma-maaf." Laisa kikuk seraya menyodorkan segelas air di tangannya pada Nanta. "Kamu kenapa tanya gitu?" Nanta angkat suara usai mengontrol jalan masuk oksigen ke tubuhnya. "Ummm." Sedangkan Laisa menggumam tidak jelas. "Ng ... nggak apa, cuma tanya aja," jawabnya menahan gugup yang bercampur aduk dengan rasa bersalah. Nanta menghela napas lekas. Ia menaruh mangkuk kecil yang dipegangnya ke atas meja lalu menyandarkan tubuhnya pada sofa. "La, setiap laki-laki itu predator. Yang membedakan di antara mereka itu bagaimana cara mereka untuk menahan keinginan itu pada pasangannya. Dan aku." Nanta menggantung ucapannya, kemudian ditatapnya manik mata cokelat cerah di hadapannya. "Nggak mau menjadi laki-laki nggak beres buat kamu. Karena kamu itu mahkota." Tangan Nanta kembali menjulur untuk mengusap puncak kepala Laisa. "Tapi itu kan cuma-." "Iya, La. Cuma. Cuma yang berakibat fatal. Cuma yang barangkali membuat saya melakukan kesalahan paling besar." Nanta memotong. "Bodoh mana antara merokok dan menodaimu?" tanyanya kemudian. Laisa terdiam menundukkan kepala. "Maaf," sesalnya tak mau langsung menjawab pertanyaan Nanta. Ia menarik napas. "Bodoh kedua-duanya." Seulas senyum hangat terbit di sudut bibir Nanta. "Ya. Jadi, jangan membuat saya semakin bodoh, ya?" Laisa mengangguk kecil. "Dan ini." Nanta menjatuhkan buku jari telunjuknya ke bibir Laisa. Mengusapnya dengan lembut. "Untuk suatu saat nanti," lanjut Nanta bersama isi kepalanya ia kembali mengawang pada ketidakmungkinan. "Saat kita sudah menikah. Saat dua semesta sudah merestui kita. Mamamu dan ayahku." Kata-kata itu melesak ke dalam gendang telinganya. Berhasil menghanyutkan denyut penuh sesak di dalam dadanya. Laisa menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Nanta yang hangat. Pelukan yang akan selalu membawanya menuju jalan pulang usai sekian lama tersesat. "Nggak usah minta yang aneh-aneh lagi, ya? Saya nggak akan pergi kok, kecuali Tuhan yang memanggil saya atau kamu untuk kembali." Nanta kemudian tertawa. "Barangkali kita justru dipertemukan dan disatukan di nirwana sana." Laisa semakin menenggelamkan wajahnya ke pelukan Nanta. Berharap rasa sesak di dadanya dapat mereda. Berharap pemilik tangan yang kini tengah mengusap puncak kepalanya selalu ada di sampingnya seperti saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD