KTA'S 01 - She's Laisa

2099 Words
Suara deru kasar mesin cuci yang berputar menggilas beberapa pakaian kotor berhasil membuat cowok bersetelan celana boxer sepaha dengan kaos hitam berkali-kali menggaruk kepala. Nanta menggerutu uring-uringan karena lagi-lagi ide menulisnya harus lenyap seketika oleh suara mesin cuci itu. Ia mendengus. Suara berisik itu cukup mengusik paginya yang tenang. Ditambah lagi dengan lantunan lagu lawas yang terdengar dari ruang depan, mengisi ke seluruh ruang hingga sudut belakang bangunan. Jalan satu-satunya untuk mengembalikan inspirasi menulisnya yang hilang adalah dengan menyumpalkan earphone ke telinga. Setidaknya suara-suara deru kasar itu redam dan bergantian dengan suara lantunan musik indie yang menjadi favoritnya. Ah, nahas. Earphone itu sudah lama ia potong-potong menjadi tiga bagian hanya karena microsound-nya mati sebelah. Menyebalkan memang. Ia semakin menghela sabar. Saat suara obrolan dari arah ruang tamu terdengar tak mau kalah dengan suara deru mesin cuci juga lagu lawas di radio. Maklum saja. Punya tempat tinggal di tanah perantauan dengan biaya sewa cukup terjangkau saja sudah harus bersyukur. Ya, bersyukurlah, Ananta. Dengan malas ia bangkit menuju dapur indekos yang ada di ujung lorong. Menghampiri Teddy yang sedang menyikat sepatu. "Tanggal 19 mau ada demo tolak UU KPK dan RKUHP. Lo ikut?" tanya Teddy saat tahu di belakangnya ada Nanta yang malah mengedikan bahu. Nanta mengangguk singkat. "Entah." Lalu menghela sebentar. "Pamflet udah disebar, loh. Pak Bustomi sama dosen-dosen yang lain aja nyuruh mahasiswanya kuliah di jalan." "Iya, gue tau. Yang nyebar pamfletnya pun anak-anak dari tim jurnalistik kerjasama sama anak-anak BEM," lanjutnya. "Eh, iya. Gimana, tuh, Laisa? Masih bete sama lo?" Teddy mengalihkan pembicaraan ke arah yang tak terduga. Nanta berdecak malas. "Udahlah. Nanti juga sembuh sendiri. Biasalah, dia mau datang matahari." "Datang matahari?" Teddy mengernyit bingung. "Lah, itu, tamu bulanan cewek." "Datang bulan, Coeg!" "Iya tau." Nanta terkekeh. "Udahlah, cepet nyucinya! Abis itu kita ke warsun. Laper, nih!" "Giliran urusan perut cepet, lo!" Teddy memaki sebal. Sementara Nanta berlalu tak acuh kembali ke kamarnya setelah mencuci muka. Bagi Nanta, mencuci muka saja sudah cukup. Laisa pun memberi pendapat bahwa kadar gantengnya tidak akan menurun hanya karena tidak mandi seharian. *** Warung Sunda Bu Wati terlihat tidak begitu ramai dan hanya terisi oleh beberapa mahasiswa yang sedang bersantai ria usai mengikuti jam mata kuliah. "Hei, Bro!" Dari arah pintu terdengar seruan Maul dan Rezky yang lantas menyerbu kursi kosong di sebelah Nanta. "Rajin amat lo, jam segini udah dateng," komentar Teddy agak takjub dengan dua anak manusia yang kali pertama ia temui saat ospek. "Gue, sih, abis nganter Eliana. Nah, dia? Nganter angin." Rezky menahan diri untuk tidak terbahak saat dirinya menunjuk ke arah Mail dan agaknya Maul menjadi sebal. Cowok itu hanya berdecak. "Enjoy ajalah. Daripada riweuh kayak si onoh, noh," celetuk Teddy lalu menunjuk Nanta. "Lagian, nih, ya. Di mana-mana, tuh, lebih enakan jadi jomblo," lanjut Teddy mengompori. Brak! "Nah, bener banget!" seru Maul menggebrak meja, setuju dengan pendapat Teddy. Nanta menepuk kening. Rasanya harus benar-benar sabar menghadapi Teddy saat sedang menyatu dengan Maul yang membuat keduanya seperti satu rangkai yang tak terpisahkan. Rezky yang mengerti betapa peningnya Nanta melihat kelakuan Maul dan Teddy yang disatukan menepuk-nepuk bahu Nanta dengan pelan. "Sabar, orang sabar disayang Tuhan," bisiknya. Nanta mengangguk. Lalu mendekati Bu Wati yang berdiri di balik etalase kaca. "Nasi campurnya satu, ya, Bu. Pake sayur buncis sama telur dadar aja," pesannya. "Lo nggak makan, Ky?" tanya Teddy. "Nggak dong. Gue kan ada Eliana cinta kasihku yang masakin setiap hari," sahut Rezky membanggakan diri. "Heleuh, sombong amat! Putus tau rasa, lo!" sebal Teddy. "Eh, itu mulutnya bagus banget, ya, Mas." Suara lembut itu sontak membuat ketiga cowok yang sedang duduk menoleh ke arah pintu. Terkecuali untuk Nanta yang tampak tidak begitu memedulikan obrolan mereka. Terlihat jelas Eliana sedang berjalan mendekat. Kehadirannya berhasil membuat Teddy bungkam. "Inget, loh, ya. Ucapan adalah doa. Jangan ngasal kalo ngomong. Takutnya malah berbalik sama lo dan bikin lo malah jadi jomblo seumur hidup," kata Eliana. "Iya, Nyai, iya." Teddy terlihat berserah. Lagipula memang salahnya sendiri yang selalu asal kalau bicara. Eliana melengos begitu saja melewati Teddy, lantas ikut duduk di samping Rezky tepat di depan Nanta. "Lo nggak jemput Laisa?" tanyanya terselip rasa penasaran yang ia simpan baik-baik agar tidak kentara. "Udah saya chat, belum dia bales." Nanta menyahut sekenanya. "Mending samperin aja, deh, ke apartemennya. Gue khawatir sama dia, dari kemaren ada kating yang nguntit dia terus." Dengan suara pelannya Eliana memberi saran. Sebelah alis Nanta terangkat. Menatap Eliana yang sepertinya memang sedang tidak berbohong. "Nih, ya, Nan. Gue kasih tau. Lo pacaran sama dia dari jaman lo masih baru jadi ubur-ubur. Jadi, jangan cuma karena salah paham lo ngebiarin hubungan lo sama Laisa retak gitu aja." Rezky memberi nasihatnya. "Saya udah agak malas," jujur Nanta. "Coba sekarang gue tanya, lo malas sama Laisa karena apa?" tanggap Eliana. "Keyakinan kami berbeda. Dan ... rasanya itu cuma buang-buang waktu." Teddy berdeham kecil. "Keyakinan lo buat mempertahankan hubungan lo selama ini ke mana? Keyakinan lo buat bawa Laisa ikut sama lo ke mana? Sorry, nih, gue nggak ada maksud buat ikut campur. Tapi, ya, seenggaknya lo bisa komitmen sama janji lo sendiri waktu itu." "Ted, apa lagi yang mau dipertahankan? Hubungan saya sama Laisa sejak awal nggak pernah disetujui sama Tante Asri. Ditambah lagi dengan keyakinan kami yang memang berbeda. Semuanya cuma buang-buang waktu yang ada. Laisa berhak buat dapetin laki-laki yang lebih layak buat dia." Nanta menyanggah tanggapan Teddy. "Tapi, kan, bokapnya-" "Udah, ya, Ted. Saya lapar, belum makan dari kemarin," sergah Nanta mengakhiri pembicaraan berat yang semakin membuat suasana hatinya ambruk. Teddy diam. "Nan, selama lo sama Laisa belum putus, seenggaknya lo masih wajib buat jagain dia." Eliana menambahkan dengan hati-hati. Takut kalau Nanta justru akan meledak dengan emosinya yang memang sulit ditebak. "Jagain mulu, ntar yang ada nggak putus-putus." Pedas. Telak. Final. Itu yang Eliana rasakan saat patahan kata itu keluar dari mulut Nanta tanpa diduga. "Ya, gue, sih, cuma ngingetin doang," ketus Eliana mulai agak sebal dengan Nanta. Pandangan Rezky jatuh pada gadis itu. Dengan tatapannya ia berusaha meredam kekesalan Eliana. Selesai menghabiskan makanannya tanpa banyak bicara pada kelima temannya, Nanta melesat begitu saja. Membawa tubuhnya membelah lalu lintas padat merayap menuju kawasan apartemen elit yang sejujurnya cukup membuat Nanta sungkan untuk datang ke tempat ini. Telunjuknya menekan tombol bel di samping pintu. Tak lama kemudian muncul sesosok gadis yang sebenarnya begitu ia rindukan. "Hai, La," sapa Nanta. Mau bagaimana pun laki-lakilah yang harus memulai lebih dulu. "Ya." Suara pelan Laisa merayap ke gendang telinganya. "Aku mau jelasin." "Seminggu menghilang dan kamu baru mau ngejelasin?" "Bukan gitu, La. Aku cuma-" "Cuma apa? Cuma temenan sama dia? Tapi peluk-pelukkan." "La." "Kenapa lagi? Bener, kan?" Nanta menyapukan telapak tangannya ke wajah. "Aku tau kamu selalu welcome sama semua orang, Nan. Bahkan orang gila di jembatan pun kamu nggak segan kamu bersikap terbuka. Tapi kenapa harus peluk-pelukkan gitu sama temanmu itu, hah?" Nanta menghela berat. Kata-kata yang ingin ia ucapkan seperti dicegat oleh sekelompok pembajak yang mendiami pikirannya. "Maaf." Dari sekian ribu kata yang hinggap di isi kepalanya hanya satu kata itu yang mampu ia keluarkan. "Maaf, La. Kalau saya belum bisa jadi laki-laki yang baik buat kamu. Maaf, kalau selama ini saya masih banyak kekurangan buat jadi laki-laki kepercayaanmu." Akhirnya, usai menahan sesak yang menyergap dadanya ia bisa mengutarakan kata-katanya. Laisa diam menatap Nanta dengan kedua tangan bersedekap. "Janji?" Tarikan napas berat terdengar dari sepasang hidung Nanta. "Saya udah nggak bisa janji apa-apa lagi, La. Udah terlalu banyak janji yang ternyata nggak bisa saya tepati." Nanta tertawa sumbang. "Nanta." Suara lembut dari seorang Laisa menyentuh gendang telinganya. Suara yang rasanya sudah cukup lama tidak Nanta dengar, tepat sejak peristiwa itu. Peristiwa saat dirinya memeluk Tiffany yang lantas membuat Laisa marah. "Aku pernah janji sama diriku sendiri, kalau aku akan selalu memaafkan kamu, apapun itu yang menjadi kesalahanmu." Inilah Laisa. Gadis pujaan yang selalu Nanta banggakan atas kelapangan hatinya, atas ketulusan dari perasaannya, atas cinta yang hadir sendiri tanpa harus memaksanya. "Maaf." Suara bernada sesal itu telah meruntuhkan tembok cemburu yang telah Laisa bangun seminggu lalu. Suara yang amat berbeda dari kebanyakan laki-laki saat meminta maaf. "Iya, aku maafin. Lagipula kalo kamu bohong pun itu bukan urusanku, tapi urusanmu sama Tuhanmu." "La." Dan ini, nada penuh permohonan agar Laisa percaya kepadanya. "Bener, kan?" tanya Laisa. "Iya, sih." Nanta terlihat pasrah. Sedangkan Laisa justru tertawa kecil. Tangannya terulur untuk mengusak rambut tebal Nanta dengan gemas. Sekalipun dirinya harus mengangkat tumit tinggi-tinggi. "Aku percaya sama kamu karena kejujuran kamu, Nan," ujarnya. "Makasih udah mau selalu jujur sama aku." Memang, lagipula siapa yang ingin percaya pada kebohongan? Kedua tangan Nanta terulur, merengkuh tubuh Laisa dengan erat. "Maaf juga karena saya sering hampir menyerah. Sering berpikir kalau hubungan ini akan berujung sia-sia." "Aku juga," aku Laisa dengan jujur. Lima belas detik memeluk Laisa, Nanta mengulurkan dekapannya. "Sejak dulu kita memang pemaksa, Nan. Kita egois." Nanta tertawa. Tak lama kemudian Laisa ikut tertawa. Tangannya yang terulur menarik Nanta untuk masuk ke dalam flat miliknya. I don't know. I don't know what to do for us. Ah, for you. You are too precious for me to just let go. Lalu memberikan sehelai handuk pada Nanta. "Kamu bau asem. Mandi dulu, nanti aku siapin baju kamu. Abis itu kita jalan-jalan," ujarnya. "Masa, sih?" tanya Nanta tidak percaya sembari menciumi bau tubuhnya sendiri. "Ih, nggak percayaan, deh." "Tapi tadi, kok, Teddy sama Rezky nyaman aja, tuh." "Mereka nggak bisa ngomong jujur aja, Nan. Kan nggak enak." "Bukankah jujur lebih baik meski pahit daripada kebohongan yang manis?" Laisa menghela napas. "Iya, iya. Mulai, deh, ngeluarin senjatanya," sindirnya. Nanta hanya tertawa sebelum dirinya melesat masuk ke kamar mandi. *** "Sebat, Nan?" Hans menyodorkan sebungkus rokok ke arah Nanta. Nanta melirik pada sebungkus rokok yang Hans sodorkan. "Super, nih, kesukaan lo," tambah Hans. Baru kali ini ia mendapati wajah Nanta yang terlalu menimbang-nimbang untuk menerima tawarannya. Tapi akhirnya Nanta pun mencomot sebatang rokok yang kemudian ia selipkan di antara bibir, lalu menyulut api dari pemantik yang Hans berikan. "Heran saya sama aparat. Pada Pasal 13 Perkapolri 9 tahun 2008 dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara atau demonstrasi, aparatur pemerintah atau Polri berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia. Tapi banyak di antara teman-teman kita yang mendapatkan perlakuan aniaya yang dilakukan oleh beberapa oknum polisi." Adi yang tengah asyik menyaksikan video penyiksaan yang dilakukan oleh oknum aparat di ponselnya berkomentar. "Anarkis kali, Bang. Makanya ditindak gitu." Nanta menanggapi tanpa mau pikir panjang. "Melihat kondisi di lapangan pada saat terjadi demonstrasi, memang kadangkala diperlukan adanya upaya paksa. Namun, dalam Pasal 24 Perkapolri 9 tahun 2008 ditentukan bahwa dalam menerapkan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, seperti tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, misalnya mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul." Adi mengajukan pembelaan. "Udahlah, Nan. Nggak usah debat sama Profesor Adi yang kerjaannya ngehapal pasal-pasal." Hans menengahi. "Adi itu bukti the real of law student." Teddy membubuhi dengan sedikit memberi pujian. Adi malah berdecak jengah dengan pujian yang Teddy lontarkan kepadanya. "Nggak cuma mahasiswa hukum yang harus melek hukum. Orang awam pun sebenarnya punya kewajiban untuk melek hukum." "Nah, ini. Bakal gue kasih judul di mading fakultas, judulnya Ketika The Legend mulai Bersabda." Hans menimpali dengan jenaka. Nanta tertawa. "Okelah, ide bagus. Kita bisa inovasikan ke rubrik," setujunya. "Gue pikir Ketika The Legend Bertasbih," kelakar Teddy yang lantas sukses membuat Hans tergelak. "Boleh, deh. Biar doa-doa kita lebih bisa diterima sama Tuhan," komentar Hans. "Ya, gak gitu juga, Bajuri! Doa itu sifatnya individual. Nggak bisa disamaratakan," sanggah Nanta menahan gemas. "Kecuali kalo tujuan setiap umat sama." Teddy menambahkan. "Oh, iya, Brad." Teddy kemudian beralih menatap penuh ke arah Nanta. "Betewe, gimana tadi? Udah aman?" tanyanya kemudian entah mengarah ke mana. "Apanya?" Nanta berbalik tanya tidak mengerti. "Ya, lo sama cewek lo, Bedul!" gemas Teddy. "Lah, tau-tau bahas cewek saya." Nanta berdecak. Teddy selalu saja mengawali pembicaraan yang berada di ranah pribadi pada tempat yang tidak tepat. "Oh, jadi ada yang lagi galau, nih?" Hans berseru sambil menunjukkan senyum jahilnya lebar-lebar. "Makanya, Nan. Cari pacar, tuh, yang sekeyakinan." Adi pun ikut berkomentar. "Emang yang sekeyakinan pun udah tentu bisa berjodoh, Bang?" Telak. Adi si jawara debat akhirnya bisa dibuat bungkam oleh seorang Nanta. "Ya, seenggaknya lo nggak capek kayak gini, kan?" kilah Adi tak mau kalah begitu saja. "Kalo nggak mau capek mending jomblo aja, Bang." Nanta memberi titik finalnya. Lantas memilih beranjak dari tempatnya, membuang puntung rokok yang masih tersisa setengah dan berjalan menghampiri Laisa yang tampak melangkahkan kaki ke arahnya. Meski sebenarnya Nanta tahu, menghampiri Laisa saat tubuhnya tercium bau tembakau sama saja mendekati algojo yang siap memasungnya. Ah, tapi sepertinya itu terlalu berlebihan. TBC...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD