KTA'S 04 - Coffe

2244 Words
Aroma pekat nan nikmat memenuhi ruangan dengan dekorasi antik. Alunan melodi santai pun terdengar merambat penuh damai. Memberi kesan tenang pada seluruh pengunjung yang berdatangan dan bercengkerama ria sembari menikmati pentas musik yang tengah berlangsung memberikan hiburannya. Hai, selamat malam. Pesan berbubuhkan emoji senyum meluncur, menyapa pengguna fasilitas personal chat yang ada di seberang. Ada harap-harap cemas setelah jemari itu berhasil mengetikkan dua kata yang membutuhkan waktu lama untuk bisa merangkainya. Teddy belum juga mengalihkan pandangannya dari ponsel setelah dua menit berlalu semenjak pesan itu meluncur ke seberang. Senyumnya perlahan mengembang tatkala tanda centang biru muncul. Namun, satu menit kemudian memudar bersamaan dengan munculnya garis kerut di kening. Bersama nampan di tangannya yang dipenuhi piring-piring kotor, Nanta menghampiri Teddy. "Mukanya aneh gitu. Kenapa?" tanyanya seraya menaruh piring-piring kotor itu di wastafel. Teddy berdecak pasrah. Rautnya menampakkan satu keputusan untuk memilih berserah. "Masa cuma di-read doang?" keluhnya. Nanta tertawa kecil. "Perjuangin dong." "Ya, gimana mau diperjuangin? Dianya aja nggak mau diperjuangin sama gue." Teddy memprotes. "Cewek emang gitu. Nggak akan mempan kalo modalnya cuma chat doang. Karena yang ngucapin 'Hai, selamat malam, pagi, siang, sore', akan kalah sama yang selalu ada di sampingnya." Ucapan Nanta seolah-olah memberi sengatan sindiran untuk Teddy. Teddy melirik ke arah Nanta dengan pandangan yang sulit diartikan. Antara ingin percaya, tapi di sisi lain ia pun membenarkan perkataan sahabatnya itu. "Betewe, lo waktu awal ngegebet Laisa gitu juga nggak?" tanya Teddy rautnya berubah penasaran. "Siapa tau gue bisa ngikutin langkah lo tapi versi gue. Ya, semacam referensi buat pedekate," tambahnya, masih terus menatap Nanta yang tengah sibuk mencuci piring. "Nggak." Nanta menggeleng. Gelengan kepalanya sukses membuat Teddy mengerutkan keningnya, seolah bertanya 'Maksud, looo?'. Nanta sadar kalau Teddy memiliki otak yang agak telat untuk berpikir. "Dia duluan yang ngegebet saya," jelasnya lekas. Teddy berdecak lagi. "Enak, ye, jadi elu. Nggak harus memendam rasa dan ngejar-ngejar cewek yang lo suka. Tanpa diminta pun lo udah banyak yang ngejar. Mana cakep-cakep lagi yang ngejar," ujarnya merasa iri dengan keberuntungan yang Nanta dapatkan. "Nggak juga. Godaannya berat. Harus bisa nahan sana-sini." Nanta meraih lap yang menggantung di dinding dan mengeringkan tangannya. "Apalagi bisa terbilang saya dapatkan Laisa dengan cara yang mudah, yang kemungkinan besar mudah juga untuk melepasnya." "Ya, jangan dilepas, b**o!" "Ya, makanya kan nggak. Santai aja kali. Ada masanya untuk melepas." "Nah, kan. Mulai lagi." "Gini loh, Ted. Setiap manusia atau makhluk hidup yang bernyawa—" "Iyalah, makhluk hidup mah bernyawa. Masa makhluk mati yang bernyawa." Teddy menyelam dengan gemas. "Iya itu." Nanya berusaha bersabar. "Kamu juga pasti paham, di antara makhluk hidup memiliki dua jodoh. Pertama, kematian dan kedua, seseorang yang telah ditetapkan Tuhan. Jadi, antara dua jodoh kita ini, entah siapa dulu yang akan menjemput. Nggak ada yang tau, kecuali Tuhan." "Iya juga, sih. Tumben otak lo bisa lempeng gitu." Teddy terkekeh gemas. "Tumben, ya." Nanta mengangkat kedua alisnya seraya ikut terkekeh. Ia pun kagum sendiri. "Bege." Tanpa segan Teddy menoyor kepala Nanta. "Jadi kesimpulannya, kejar terus aja. Jangan nyerah kalo emang kamu bener-bener cinta." Nanta menyemangati. Tangannya menepuk bahu Teddy pelan sebelum berhambur keluar menuju mini bar. Senyuman Teddy yang sempat meredup, kini mengembang kembali seakan ada tambahan bubuk baking soda dalam senyumannya. Ia pun menyusul Nanta ke depan dan kembali melanjutkan tugasnya untuk melayani pelanggan dengan baik. Namun pergerakan tubuhnya terhenti sejenak saat melihat sosok yang ia incar hatinya tengah berdiri di depan Nanta dan tampak sedang mengobrol kecil. Ia pun kembali bergerak dengan harap-harap cemas menghampiri cewek itu. Cewek yang berhasil menarik lubang kosong di dalam hatinya untuk segera terisi. "Hai," sapa Teddy pada cewek itu. Bersamaan dengan rasa gugup yang berderap ke dalam otak lalu meluncur bebas ke hatinya. "Hai, Ted." Cewek itu membalas seraya tersenyum manis ke arah Teddy. Ya, lagipula ia memang manis. Bahkan menjadi cewek paling manis yang pernah Teddy temui di bumi. Entah kalau di planet lain. "Tadi kok nggak dibal—." Ucapan Teddy terpenggal. "Oh, iya. I'm so sorry, pas mau bales HP gue mati dan nggak bawa power bank." Ucapan itu membuat Teddy lekas mengerti. Teddy mengangguk paham dan tersenyum. "Saya tinggal dulu, ya. Di belakang masih banyak kerjaan," alibi Nanta dan segera berlu tanpa menunggu persetujuan kedua orang di hadapannya. Lebih tepatnya, membantu Teddy untuk melancarkan aksinya. "Eh, Nan." Namun saat baru dua langkah Nanta harus membalikkan tubuhnya. "Ya?" sahutnya singkat. "Nih, gue mau ngasih flashdisk. Di situ banyak data-data yang lo cari," lanjut Tiffany memberikan sebuah flashdisk. "Oh iya, thanks," ucap Nanta menerima benda kecil itu. "Saya duluan," lanjutnya lekas pamit. "Mau pesan apa?" tanya Teddy. "Ada menu baru, loh, racikan dari Bang Johan," bubuhnya kemudian. "Oh iya?" "Iya. Mau coba?" "Boleh." Satu kata itu berdesir seperti aliran listrik yang menyengat hangat isi dadanya. Teddy gegas membuatkannya untuk Tiffany. Ah, bukan. Tapi membuatkannya spesial dan sangat spesial untuk Tiffany. Tiffany mendudukkan tubuhnya di kursi bar sampingnya. Memperhatikan Teddy yang tengah membuatkan secangkir kopi untuknya. "Sejak kapan lo suka kopi?" Ia membuka obrolan. "Gue juga nggak tau pasti. Tapi seinget gue, gue mulai suka kopi pas liat bokap ngopi santai di depan rumah. Dan bagi gue, itu hal yang jarang gue liat." Teddy berkisah sedikit tentang pahit dan nikmatnya hidup yang pernah ia lalui. Atau mungkin masih dan akan terus ia lalui. Tapi semuanya akan berubah terasa manis jika ada cewek yang tengah duduk di depannya ini. "Loh, kok jarang?" Tiffany menatap penuh tanya. "Iya, bokap gue kan pelayar. Jadi jarang di rumah. Bahkan waktu pertama kali gue liat bokap ngopi santai di depan rumah itu pas gue udah umur 12 tahun." "Terus?" Tiffany tampak tertarik dengan peristiwa kecil tapi manis yang Teddy kisahkan. "Apanya yang terus?" Teddy berbalik tanya lalu memberikan kopi buatannya pada Tiffany. "Spesial buat lo, racikan dari Bang Johan yang nggak pernah gagal," bubuhnya manis. "Thank you." Tiffany menerimanya. "Berapa lama bokap lo berlayar?" lanjutnya bertanya. "Lima belas tahun. Dan itu pun pulang setiap tujuh atau delapan tahun sekali. Tapi sekarang bokap tinggal menikmati hasil manisnya, tentu karena kerja keras bokap selama lima belas tahun berlayar di lautan." "Keren, ya, bokap lo." "Iya, gue juga bangga sama bokap. Dan bagi gue, bokap adalah teladan sejati. Gue pengin seperti bokap tapi dengan cara gue sendiri." Garis bibir Tiffany melengkung manis. "Semangat!" Tangannya mengepal ke udara. Teddy hanya tertawa kecil. Semangat yang dikatakan Tiffany dengan sesederhana itu rupanya mampu menyulut tekadnya. "Tentu. Demi seseorang." Teddy berlagak sok misterius. "Waw!" "Ya, biarpun kadang suka kesel sendiri karena doi nggak peka-peka." "Mungkin orang itu udah ada yang lain kali," canda Tiffany lantas terbahak. "Mungkin, ya. Tapi sebelum janur kuning melengkung, nggak ada alasan buat mundur kali, ya." "Ya, bisa jadi. Jodoh nggak ada yang tau." "Iya, nggak ada yang tau kecuali Tuhan. Siapa tau jodoh gue kelak itu cewek yang sekarang ada di depan gue." Hening. Tiffany mengangkat kerut keningnya. Tak lama kemudian kembali tertawa. "Haduh! Humoris banget lo, Ted," pujinya. "Ah, nasib jadi orang humoris gini amat, ya." Teddy mendesah. "Gimana? Kopinya enak?" tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. Baik Teddy, jangan terlalu jauh dulu. Biarkan dia menumbuhkan perasaan dengan sendirinya tanpa harus kamu paksa, batinnya mengingat kata-kata yang pernah Nanta ucapkan. "Enak." Tiffany mengangguk. "Nggak sia-sia, ya, gue bikin dengan sepenuh hati," ujar Teddy lagi membuahkan tawa Tiffany yang terdengar halus mengudara menyentuh gendang telinganya. "Ya, memang harus gitu kalo bikin kopi. Biar nikmatnya sampai ke hati." "Udah, ah. Jangan bawa-bawa hati. Nggak kuat, gue." Teddy menyerah. "Loh, kenapa?" "Hati itu kayak bunga, kalo kena dikit aja bisa jadi ambyar." Teddy tertawa. Membuat tanpa sadar Tiffany pun ikut tertawa karena melihat tawanya. "Abis ini mau langsung pulang?" tanya Teddy menyudahi tawanya. "Iya gitu rencananya." "Terus?" "Masih ada urusan lain sama anak-anak BEM Fakultas." "Oh ...." Pikiran Teddy sejenak melayang pada Laisa. "Berarti Laisa juga ada?" "Nggak. Ini khusus buat departemen gue. Kebetulan kumpulnya juga di sini, kok." "Oh ...." Teddy mengerti. "Kalo gitu gue temenin sampe mereka datang," ucapnya melancarkan kesempatan. Tiffany mengangguk-anggukkan kepala. "Boleh, boleh. Hahaha," terimanya dengan terbuka. Teddy merasakan perbincangan itu mengalir tenang seperti anak sungai Cano Cristales, sungai terindah di dunia yang menyuguhkan pelangi nyata saat musim kemarau. Sama halnya Tiffany yang menjadi pelangi nyata di depan matanya. Dengan setiap kata yang cewek itu ucapkan selayaknya berubah menjadi melodi indah yang tak rela ia jeda meski sesaat. Sayang, perbincangan itu harus berakhir tepat tatkala serombongan teman Tiffany datang dan meminta cewek itu untuk bergabung bersama mereka. Teddy merelakannya dengan sepagut senyuman di sudut bibirnya. Teddy beranjak begitu Tiffany bergabung dengan teman-temannya. Menghampiri Nanta yang rela menjadi penggantinya dan merangkap tugasnya sebagai pelayan. Kedua alis Nanta terangkat seolah menanyakan progres Teddy untuk mendapatkan cintanya. Dengan penuh semangat Teddy melayangkan tinjunya ke udara. "Yes!" Lalu menghela napas cepat. "Huh! Gue nggak salah nilai dia, dan dia emang bener-bener tipe gue," ungkapnya menggebu. "Pastikan lo juga bisa jadi tipe dia." Bang Johan menimbrung. "Oke, gue akan usaha!" Teddy berseru semangat. Lalu kembali menunaikan pekerjaannya yang sempat Nanta kerjakan. *** Malam kian merangkak pada pusatnya. Berderap pada sunyi yang kian lenyapkan bunyi. Sayup-sayup masih terdengar obrolan dan tawa. Lalu lenyap lagi ditelan pikiran yang meremas keseriusan. Dan ramai lagi dengan tawa. "Mereka masih nongkrong?" tanya Bang Johan selaku orang kepercayaan Bu Marissa, pemilik kafe tersebut. "Masih, Bang." Teddy menyahut dari pojok ruangan sambil menikmati hangatnya wedang jahe. Bang Johan menatap arlojinya. "Sepuluh menit lagi kita tutup," katanya. Teddy mengangguk. Asap mengepul ke udara saat Nanta menghela napas panjang. "Tuh, udah mau pada balik kayaknya. Gih, dah, waktunya petrus," ujarnya menyemangati Teddy. "Oke doain." Teddy terkekeh sambil melangkah keluar. Tak lama terdengar langkah berhambur menuju pelataran parkir. "Gampang, kosan gue kan deket," kata Tiffany saat teman-temannya saling berpasangan untuk berboncengan. "Sorry, ya, Fan." Teman Tiffany melambai sebelum pergi. Tiffany memaklumi. Lagipula tidak mungkin untuk bonceng tiga meski jarak yang ditempuh tidak sampai tiga ratus meter. "Fan," panggil Teddy pada cewek yang tengah berdiri di pelataran kafe sambil melambaikan tangan pada teman-temannya. Tiffany memutar tubuhnya. "Mau pulang sama siapa?" Teddy kembali melancarkan usahanya. "Sendiri. Lagian deket, kok," jawabnya santai. "Gue temenin, ya?" "Nggak usah, lo kan masih harus bantuin yang lain." "Nggak apa. Gue anter pake motor Nanta, ya." Teddy berharap Tiffany mengatakan iya atau minimal menganggukkan kepala tanda setuju. Tiffany menghela panjang. "Jadi maksa, nih?" "Jadi harus dipaksa, nih?" Teddy memutar balikkan perkataan Tiffany. Cewek di hadapannya pun tertawa. "Oke." Tiffany mengangguk. Sukses membuat senyum Teddy merekah seperti bunga mawar di kegelapan malam. "Tunggu sebentar." Teddy berhambur menghampiri Nanta yang tengah membereskan kursi dan meja di dalam. Meminta kunci motor dan kembali menghampiri Tiffany yang tampak menunggunya dengan senang hati. Meski sebenarnya entah, dan mungkin yang senang hanya Teddy saja. Nanta menarik satu kursi lalu duduk. Kedua matanya mengikuti ke arah mana Teddy pergi. Tak lama kemudian Bang Johan datang, lalu menarik kursi dan duduk tepat di depannya dengan tangan membawa dua gelas berisi kopi sisa miliknya dan milik Nanta. "Ngopi dulu lah kita. Jarang-jarang bisa begini. Apalagi belakangan kafe rame. Kayaknya butuh tambahan karyawan, deh." Bang Johan memulai. Sorot mata Nanta terjatuh pada corak gambar tribal sederhana yang menempel permanen di ceruk leher Bang Johan berhasil memberi kesan macho. Ah, siapapun dapat melihatnya. Nanta menarik cangkir berisi kopi hitam pekat miliknya. Lalu mengisap kretek yang sedikit lagi menyentuh puntungnya. "Dia yang lagi asrama, kita yang ribet," keluh Bang Johan mengudara. Nanta terkekeh. "Asmara, Bang." "Oh iya, asrama mah penjara, ya." Bang Johan tertawa dengan opininya. "Mana ada penjara seenak asrama, Bang." Bang Johan semakin terkekeh. Lalu menarik napas dan memulai kisahnya. "Omong-omong soal asrama. Dulu setelah kematian nyokap, gue pun pernah masuk ke pesantren. Lebih tepatnya Bude yang bawa gue masuk ke pesantren. Tapi nggak berlangsung lama dan cuma bisa bertahan dua bulan." Nanta hanya mendengarkan. Ini yang Bang Johan sukai dari Nanta. Sosok pendengar yang baik tanpa banyak mengeluarkan komentarnya. "Bagi gue, dua bulan itu bagaikan dua puluh tahun waktu yang harus gue lewati sekaligus dihadapi. Gue pikir, gue bisa mendapatkan apa yang gue butuhkan. Tapi yang gue dapatkan justru merusak semua hal yang gue butuhkan." Raut Bang Johan berubah sendu. "Di suatu malam, gue ditarik masuk ke kamar kosong paling atas lantai asrama, ramai-ramai mereka keroyok gue, melucuti gue hingga telanjang. Ternyata nggak cuma cewek doang yang bisa dilecehkan, karena sejak malam itu gue harus hilang keperjakaan." Bang Johan tertawa perih. Terlihat jelas di raut wajahnya yang menampilkan layar penuh kemelut masa lalunya. "Pahit, tapi harus tetap dinikmati. Seperti kopi." Nanta mengangkat kopi hitam miliknya. Bang Johan melengkungkan kedua sudut bibirnya ke atas. "Saya boleh cerita?" tanya Nanta yang lantas diangguki oleh Bang Johan. "Tentu." "Saya pun pernah mengalami hal yang sama." Bang Johan menyipitkan matanya. Menatap Nanta penuh tanya. "Diper—." "Bukan, bukan." Segera Nanta memenggal kata-kata yang hendak Bang Johan utarakan. "Atau lo ngelakuinnya sama La—." "Justru saya ingin menjaga kesucian miliknya." Nanta tegas menyanggah. "Terus?" Nanta terlihat tenang. Seperti tak pernah ada hal pahit yang terjadi dan menggerayangi hidupnya. "Sewaktu kecil." "Lo di—." "Iya." Bang Johan membungkam mulutnya. Sebelum kembali berbicara beberapa detik kemudian. "Terus dia ham—." "Nggak." "Oh, syukurlah." Hening. Hanya terdengar helaan napas Bang Johan. "Miris, ya?" katanya beberapa saat memecahkan keheningan. Nanta hanya tertawa samar. "Tapi itulah yang membuat saya untuk nggak menyentuh Laisa." Hening lagi. Bang Johan rupanya lebih tertarik untuk mendengarkan daripada memberikan komentar. "Walau hanya sekadar mencium bibirnya. Dan jika itu terjadi, saya akan merasa sangat bersalah." Bang Johan mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk bahu Nanta pelan. "Jaga dia. Bukan buat lo, tapi buat mempertahankan mahkotanya. Biar nggak bernasib sama kayak kita." Nanta mengangguk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD