Part 2

1029 Words
Lana tidak tahu sejak kapan dia duduk di halte bus. Ia pun tak tahu sejak kapan jalanan di depannya mulai lengang. Langit mulai terlihat memutih, meski kegelapan masih mendominasi. Menjelang pagi, matahari belum terlihat ufuknya. Udara dingin yang menusuk kulitnya sudah tak terasa lagi. Sepertinya tubuhnya mulai kebal dengan rasa dingin tersebut setelah duduk di sana entah berapa jam lamanya. Kakinya sudah tidak pegal, karena sekarang rasa pegal itu berganti menyerang tulang punggungnya yang terlalu lama duduk. Lana menggeliat pelan, meregangkan tulangnya demi sedikit meredakan rasa pegalnya. Sekarang, ia pun masih tak punya tujuan. Kembali ke rumah seorang diri? Atau ke hotel? Apakah wanita itu masih di sana? Tiinnn .... Suara klakson membuat wajah Lana terangkat. Melihat SUV hitam berhenti di depannya. Pintu mobil terbuka dan ia melihat Liam duduk di balik kemudi. “Masuklah.” Lana hanya termangu. “Masuklah, Lana,” perintah Liam sedikit lebih keras. Lana pun bangkit terduduk. Naik ke dalam mobil. Sesaat Liam mengamati wajah pucat Lana, kemudian berpaling dan melajukan mobil. Tak ada percakapan apa pun sepanjang perjalanan. Hingga mobil berbelok ke halaman gedung apartemen, melaju terus dan masuk ke basement. Liam membawa Lana masuk ke dalam lift, yang berhenti di lantai paling atas. “Ini untukmu.” Liam menyodorkan kartu berwarna hitam metalik ke arah Lana setelah pintu lift terbuka dan langsung dihadapkan pada sebuah ruang tunggu. Tatapan Lana naik dari kartu yang disodorkan Liam ke wajah pria itu. “Kita harus bicara.” Liam menatap mata Lana. “Bicaralah.” “Aku ingin bercerai.” Liam terpaku, kerutan samar muncul di keningnya sebelum kemudian ia tertawa tipis. “Sekarang? Sehari setelah pernikahan meriah yang dirayakan kedua orang tuamu.” Lana mengangguk. “Setidaknya paling cepat dua atau tiga bulan kita baru bisa bercerai, Lana. Untuk menjaga wajah orang tuamu dan harga dirimu sebagai wanita. Tak baik menyandang status janda di usiamu yang semuda itu.” Lana terdiam. “Apa kau tak khawatir dengan predikat janda yang akan kau pegang nanti?” Lana tampak ragu, tapi segera menguatkan tekadnya. “Itu akan menjadi urusanku.” “Lalu bagaimana dengan kekasihmu Dennis itu? Apa dia sudah menghubungimu? Menjelaskan ketidakhadirannya mungkin.” Bibir Lana terkatup rapat. Dennis, apa yang terjadi pada pria itu? Apa yang membuat pria itu ragu dan membatalkan pernikahan mereka? Ribuan kali pertanyaan itu berputar di kepalanya yang masih tak membuahkan jawaban hingga detik ini. “Jika dia kembali, apakah dia bersedia menerima dirimu setelah menjadi jandaku?”  Keraguan sekali lagi menyelimuti raut Lana. “Itu juga bukan urusanmu.” “Baiklah. Jika kau sudah siap menghadapinya.” Liam mengangkat kedua tangannya. “Aku akan menceraikanmu.” Lana bernapas, tapi kenapa ada sesuatu yang membuat napasnya terasa tak bebas. Ada cubitan kecil dengan begitu mudahnya Liam melepaskannya. Seperti yang pria itu lakukan satu tahun yang lalu. “Tidak sekarang.” Bola mata Lana melebar. “Setidaknya untuk tiga bulan ke depan. Aku tak ingin orang tuamu berpikir aku mempermainkan putrinya. Apa kauingin menunggu?” Lana berpikir sejenak. Tiga bulan? Sepertinya itu tawaran terbaik yang bisa diberikan oleh Liam untuknya. Orang tuanya pun tak akan setuju jika ia bercerai dengan Liam sehari setelah pernikahan mereka. Lana pun mengangguk. “Aku akan menunggu.” Liam mengangguk. Tak membiarkan Lana bernapas dengan bebas begitu saja. “Tapi aku juga punya syarat untuk permintaanmu itu.” “Apa itu?” “Untuk semua kebaikan dan muka yang kuberikan untuk keluargamu. Selama tiga bulan menjadi istriku, layani aku sebagai suamimu.” Lana tersentak mundur, wajahnya yang pucat karena semalaman terkena udara malam, kini kembali memucat. Sebelum kemudian ekspresinya terlihat mengeras, dan menolak mentah-mentah syarat gila yang diajukan oleh Liam. “Aku tidak mau!” “Itu hakku sebagai suami dan kewajibanmu sebagai istri.” “Jika kau memang butuh kehangatan di ranjang, kau bisa mendapatkan wanita mana pun seperti yang kaulakukan tadi malam, Liam. Di malam  yang seharusnya menjadi malam pertama kita.” “Apa aku mendengar kecemburuan dalam suaramu, Lana.” “Aku tak punya alasan untu merasakan perasaan itu lagi.” “Baguslah. Kalau begitu kau tentu tak keberatan aku menyentuhmu, kan. Juga untuk wanita-wanita yang kukencani.” Lana tak bisa menahan kaca membentuk di matanya. Apakah Liam mencoba menjadikannya sebagai salah satu p*****r pria itu? “Hanya dua pilihan yang akan kuberikan padamu. Lakukan tugasmu sebagai seorang istri dengan baik dan aku akan menghadiahimu sebuah perceraian, atau kita berperan sebagai suami istri untuk selamanya di depan umum, tanpa semua orang tahu kebusukan dalam rumah tangga kita. Aku tak akan menyentuhmu, tapi kau tahu aku pria dewasa sehat dan normal yang mempunyai kebutuhan.” Tidak ada dari keduanya yang lebih baik. membiarkan Liam menyentuh tubuhnya atau terjebak dalam pernikahan untuk selamanya sebagai istri pajangan untuk pria itu. “Kenapa kau lakukan ini padaku, Liam?” “Jadi? Mana yang akan kaupilih?” Seringai terbentuk di sudut bibir Liam. “Kenapa kau menikahiku?” “Kenapa kau mengkhianatiku?” Pertanyaan telak Liam kali ini membuat Lana tak berkutik. Air matanya pecah. Semua pernikahan ini, semua sikap pahlawan pria itu yang menyelamatkan wajah keluarganya. Adalah balasan dari dosa yang pernah ia perbuat pada pria itu. “A-apa kau masih belum memaafkan kami?” Liam mendengus. “Kata maafmu tak pernah sepadan dengan semua hal buruk yang kau lakukan di belakangku, Lana. Kau butuh mengorbankan sedikit hal di hidupmu sebagai bayarannya. Apakah permintaanku terlalu serakah?” Lana mundur ketika Liam maju ke depan. Dengan satu langkah cekatan, pria itu berhasil menangkap kedua pundaknya. “Jadi, katakan pilihanmu, Lana,” desis Liam di depan wajah Lana. Menggoyang tubuh wanita itu menuntut jawaban secepatnya. Setelah satu tahun berlalu, ternyata pria itu masih tak bisa melupakan dosa besarnya. Saat ia melenggang pergi dari hidup Liam, hanya kata maaf yang bisa diberikannya untuk pria itu. “Aku ingin bercerai,” putusnya dengan suara lirih. Setidaknya biarkan Liam membalas perbuatannya dan Lana tak perlu lagi merasa berhutang pada pria itu untuk seumur hidupnya. Biarkan ia menebus kesalahannya dengan tubuhnya. Jika memang itu yang diinginkan oleh Liam. “Pilihan yang tepat.” Seringai di bibir Liam semakin tinggi. Pria itu langsung meraup wajah Lana dan melumat bibir wanita itu dengan rakus. Sebelum kemudian mengangkat tubuh Lana dan membawa wanita itu ke tempat tidurnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD