BERCERITA

1389 Words
Saat ini waktu sudah menunjukan pukul 21.00 WIB. Anzela yang sedari tadi berada di kamar tengah gelisah. Padahal beberapa menit yang lalu ia sudah mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Bahkan ia sudah siap untuk menarik selimut. Namun pikirannya tetap saja tidak tenang, hingga akhirnya ia kembali menghidupkan lampu kamarnya dan berjalan ke luar menuju balkon kamar. Jalanan komplek pada jam-jam seperti ini nampak sepi, hanya diterangi dengan lampu-lampu jalan. Semilir angin menyapa rambut hitam Anzela yang kali ini digerai. Ia berdiri menatap lurus ke arah rumah tetangganya yang baru saja ia ketahui tadi sore. Dirinya tidak habis pikir bagaimana bisa seorang Tara yang menjadi tetangganya. Masih tidak habis pikir dengan kejadian beberapa jam lalu yang membuatnya sedikit tercengang. Ia jauh lebih bingung, bagaimana bisa ia bercerita semudah itu tentang masalah keluarganya pada orang yang bahkan tidak masuk dalam listnya sebagai sahabat. Namun hal yang lebih mengagetkan, mengapa Tara justru mendengarkannya bercerita panjang lebar bahkan ikut memberikan solusi. Bodoh, umpatnya dalam hati saat mengingat kejadian tersebut. Sebuah kursi di dekat pohon mangga terlihat sedikit basah terkena gerimis hujan. Sementara Tara bersiap pulang, Anzela justru menahan dengan menarik lengannya untuk duduk di kursi tersebut. "Gue harap, lo bisa bantu buat simpan rahasia gue ya Tar," mohon Anzela pada Tara saat keduanya sudah duduk. Ada sedikit perasaan terkejut pada diri Tara saat tahu bahwa Anzela memiliki seorang ibu yang bekerja sebagai wanita penghibur. Namun dengan mudah Tara menyembunyikan keterkejutannya dibalik wajahnya yang selalu terlihat datar. Alih-alih menjawab iya pada permohonan Anzela, Tara malah menjawab dengan memberi pertanyaan lain. "Sekarang gue tanya, lo kenapa minta gue buat nutupin hal ini? Karena malu?" Suaranya terdengar sarkas. Anzela menghela napas dalam-dalam. Matanya melirik ke arah Tara lalu menatap lurus ke arah jalanan komplek yang terlihat sunyi. Sejak dibantu membawa ibunya masuk ke dalam rumah, kemudian ia menahan seraya menarik tangan Tara untuk duduk di kursi tersebut mereka berdua hanya berbicara sedikit sambil menatap ke arah jalan. Padahal biasanya mereka berdua selalu adu mulut jika bertemu. Keduanya masih sama-sama menggunakan seragam sekolah. Untuk beberapa saat di antara keduanya masih tidak ada yang berbicara, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Ibu Anzela sendiri semenjak kejadian pingsan tadi, mungkin saat ini masih tertidur. "Lo tanya kenapa gue minta lo buat nutupi hal ini?" Anzela mengulang pertanyaan Tara dengan nada merendah. Sorot matanya terlihat sendu. Tara menoleh pada Anzela seraya menaikan alisnya dan kembali menatap jalan. "Jujur, alasan gue nutupin semuanya karena gue cuma nggak mau dikasihani Tar dan juga nggak mau dijadikan bahan omongan. Gue mau hidup tenang seperti orang lain, setidaknya sampai gue lulus," jawab Anzela dengan nada sendu namun penuh penekanan.. "Oh," sahut Tara singkat. Jika tadi Tara menaikan alisnya, kali ini kedua alis tersebut tertaut bingung. Ia menoleh lagi pada Anzela. "Gue mau nanya tapi nggak bermaksud lancang dan cuma mau mastikan satu hal." "Nanya apa?" "Lo nggak kerja paruh waktu buat bayar biaya hidup dan juga sekolah kan?" Tanya Tara hati-hati. Mendengar pertanyaan itu, Anzela tertawa pelan. "Kenapa emangnya? Lo mau ngasih gue sekolah gratis ? Karena ayah lo yang punya ?" Tara tersenyum tipis lalu menggeleng. "Nggak sih. Cuma nanya," sahutnya singkat. "Takutnya karena lo kerja paruh waktu bakalan ngeganggu konsentrasi buat kompetisi nanti," kata Tara datar. "Yah..." Anzela menarik nafas panjang. "Sejauh ini nggak ko Tar. Karena ayah gue masih bertanggung jawab buat bayarin sekolah dan mencukupi kebutuhan gue," lanjut Anzela yang dibalas anggukan kecil dari Tara. Sesaat suasana menjadi hening. Di antara keduanya tidak ada lagi yang berbicara. Hanya ada beberapa kicauan burung malam yang terdengar menemani. Anzela menyandarkan tubuhnya di kursi, kakinya diayun-ayunkan ke depan, kali ini pandangannya tidak lagi melihat ke arah jalan melainkan menatap langit yang nampak gelap. "Dua tahun yang lalu, gue kira, gue adalah orang yang paling bahagia. Bisa berada di sekolah favorit, dapat beasiswa, jadi saingan lo di akademik, punya keluarga yang utuh, bahkan punya orang-tua yang selalu menghabiskan libur pekannya dirumah," Anzela mulai bercerita. "Jujur, nggak pernah terbesit sih sama sekali dalam benak gue kalo keadaannya bakalan berbanding terbalik seperti sekarang," cerita Anzela dengan tawa kecewa. Anzela memberi jeda pada kalimatnya, sementara Tara mendengarkan dengan seksama sembari ikut menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekalipun Anzela bercerita tanpa menangis, bahkan beberapa saat lalu sempat tertawa kecil, sebenarnya siapapun yang mendengar suaranya saat ini tahu betul bahwa mungkin hatinya yang sedang menangis. Anzela menghela napas untuk kesekian kalinya. "Semenjak perceraian orang tua gue saat itu, gue selalu menutup diri dari orang-orang. Yah... karena biasanya orang yang temenan sama gue pasti terlebih dulu nanya dengan pertanyaan, lo tinggal dimana? Kita boleh main kerumah lo nggak? Orang-tua lo kemana? Gue yakin hal yang orang tanyakan terlebih dulu pasti itu. Dan lo tahu... gue nggak mungkin cerita. Termasuk ke Melinda dan Meira." "Alasannya?" tanya Tara yang sedari tadi mendengarkan seraya menatap Anzela sebentar sebelum akhirnya kembali menatap langit. "Karena gue berpikir, mungkin setelah gue cerita, mereka bukannya malah mau temenan. Tapi justru malah menjauh karena takut mendapat pengaruh buruk dengan berteman sama gue yang merupakan anak dari seorang wanita penghibur. Dan seandainya gue cerita, mungkin mereka nggak akan ada yang bener-bener peduli." "Kata siapa?" Tanya Tara. "Kata gue," sahut Anzela cepat. "Karena gue udah pernah ngalamin. Gue udah pernah cerita sama seseorang yang paling gue percaya, sekali lagi orang yang paling gue percaya," lanjut Anzela dengan penekanan. "Lo tau nggak Tar? Gue udah ceritain ke dia dari awal sampai akhir. Nyatanya, dia malah ninggalin dengan membawa semua cerita yang udah gue kasih tahu ke dia. Maka dari itu, gue akhirnya nyimpulin kalau orang-orang terkadang hanya ingin tahu, bukan peduli," cerita Anzela lagi dengan suara parau. Tara mengangguk paham. "Terus, sekarang kenapa lo cerita sama gue? Lo nggak takut kalo gue juga bakalan seperti orang yang lo percaya itu?" Tanya Tara menatap Anzela bingung. "Karena lo tahu masalah ini secara nggak sengaja. Bukan karena keinginan gue sendiri. Makanya sekalian aja gue cerita, dan gue harap lo satu-satunya orang terakhir yang tahu masalah ini ya, please," pinta Anzela dengan menatap Tara sendu seraya menangkupkan kedua tangannya memohon. Tara hanya diam . Lalu kembali bersuara. "Lo percaya takdir nggak An?" tanyanya tanpa menatap Anzela. Anzela menurunkan tangannya yang tadi sempat ia tangkupkan lalu menggelengkan kepala. "Nggak." "Coba deh sesekali belajar percaya sama takdir An. Lo harus yakin kalo semua udah diatur sama semesta. Mungkin dengan percaya sama takdir lo nggak akan takut sekalipun semua orang tahu masalah lo." "Alasannya?" Tanya Anzela. Tara mengubah posisi kepalanya menghadap Anzela. "Alasannya?" Tara menjeda kalimatnya sebentar, lalu kembali melanjutkan. "Karena semesta udah nentukan siapa orang yang akan ninggalin lo dan siapa orang yang bakalan ada buat lo sampai akhir," jelas Tara masih dengan menatap ke arah Anzela. "Gue udah terlalu sering di kecewain sama takdir Tar. Semenjak itu terlalu sulit buat gue percaya lagi sama takdir. Berkali-kali gue selalu berbaik sangka sama takdir. Gue percaya sama apa yang udah diatur semesta. Tapi lo tau apa yang terjadi selanjutnya?" Anzela menjeda kalimatnya sebentar sebelum kembali melanjutkan. "Semua orang yang gue anggap telah diatur semesta buat ada sampai akhir..." Lagi, ia menjeda kalimatnya dengan tersenyum miris. "Pada kenyataannya pergi ninggalin. Semuanya!" Lanjutnya seraya menunduk. Tara mengangguk pelan mencoba memahami ucapan Anzela. Untuk beberapa saat ia diam. "Coba kasih kesempatan sekali lagi ke semesta, dengan lo coba untuk percaya lagi," saran Tara. Anzela mengembuskan nafasnya pelan. "Susah buat gue." Hari sudah semakin malam, untuk beberapa saat suasana kembali menjadi hening. Hingga tidak lama Tara bertepuk tangan pelan seraya berdiri, "Oke, gue balik ya An, udah malam. Saran gue coba lo kasih kesempatan lagi ke diri lo sendiri buat percaya sama semesta." Anzela hanya diam. Baginya sudah terlalu sulit untuk mempercayai semesta yang berulangkali mengecewakannya. "Dan untuk masalah lo ini, gue nggak yakin bakalan jadi orang terakhir yang tau. Tapi sebisa mungkin gue nggak akan pernah cerita ke orang lain," ujar Tara sembari berjalan menjauh meninggalkan Anzela. "Ko sebisa mungkin?" Protes Anzela. "Jangan sebisa mungkin Tara. Tapi harus," pintanya memohon. Tara mengedikkan bahu. "Gue nggak bisa janji," balas Tara seraya berjalan meninggalkan Anzela yang terdiam. "Intinya satu An. Jangan pernah berharap lebih dengan percaya sama gue, takutnya lo bakalan lebih banyak kecewa!" teriak Tara saat sudah berada di depan rumahnya sendiri. Anzela mengangkat kedua sudut bibirnya tersenyum tipis mengingat Tara yang masih saja berbicara dengan berteriak dari rumahnya. Emang gila sih Tara! Bisa-bisanya udah sampai rumah masih aja ngomong, pake acara teriak lagi padahal udah malam, gumamnya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD