SEBUAH RAHASIA TERBONGKAR

1949 Words
Hari ini adalah hari senin. Hari yang paling dibenci semua siswa, khususnya siswa Ardinanta High School. Siswa mana yang ingin berpanas-panasan dibawah terik matahari. Kalau hanya sebentar mungkin tidak masalah. Tapi nyatanya untuk mendengarkan amanat kepala sekolah saja sudah memakan waktu hampir satu jam, ditambah lagi dengan rentetan acara upacara lainnya. Kurang lebih satu setengah jam upacara senin akhirnya selesai. Para siswa berlari cepat untuk sampai ke koridor sekolah demi menjauh dari teriknya matahari. Bahkan beberapa orang terlihat menyipitkan mata karena sinar teriknya yang begitu kuat. "Di, lo duluan aja ke kelas, gue mau ke toilet dulu," ujar seorang siswa laki-laki bernama Tara pada teman disebelahnya saat sudah sampai di koridor. Dion, laki-laki yang menjadi lawan bicaranya pun mengangguk, "Oke, gue duluan ya bro," ucap Dion sembari berlalu. Tara, laki-laki dengan tinggi badan kurang lebih 173 cm itu berjalan cepat menuju toilet. Toilet Ardinanta High School berada di pojok koridor sekolah. Cukup jauh dari kelasnya. Beberapa saat kemudian Tara keluar. Dalam perjalanan kembali ke kelas, suara bising terdengar samar-samar dari arah halaman belakang toilet. Toilet yang berada di pojok koridor itu memiliki halaman belakang yang cukup luas dan kosong. Berhubung sudah lima belas menit sejak bel masuk berbunyi, harusnya semua orang saat ini sudah berada di ruang kelas, namun jika ada suara samar-samar dari halaman belakang toilet itu berarti menandakan bahwa pasti masih ada orang disana. "Sekarang, lo masih berani ngelawan kita?!" Seorang laki-laki bertubuh gempal bertanya dengan kasar. Terlebih ketika telunjuk tangannya mendorong kepala sosok yang sedang terduduk di tanah. Sosok yang terduduk di tanah hanya diam tak bergeming. Tidak ada keberanian sama sekali untuk melawan. Bagaimana bisa menang jika satu lawan lima, pikirnya. Lagipula dirinya tidak cukup berani untuk melakukan itu. Lima orang dihadapannya bukan sosok biasa. Mereka berlima adalah sosok yang paling ditakuti seluruh siswa di sekolah. Mereka dikenal dengan sebutan siswa gila. Bersikap sesuka hati, terkadang berani melawan guru, bahkan menindas adik kelas yang tidak menuruti keinginan mereka. Ya, di Ardinanta High School masih mempertahankan sikap senioritas. Mereka berlima terdiri dari Asrul, Rizky, Tono, Edi dan sang ketua kelompok yang berbadan gempal bernama Reza. Rentetan u*****n terdengar dari mereka berlima secara bergantian. Tidak henti - hentinya mereka berkata kasar, memaki, bahkan sesekali mendorong sosok tubuh yang sudah terlihat tidak berdaya itu. Tara yang baru saja kembali dari toilet memperhatikan orang-orang tersebut lalu berjalan menghampiri mereka. "Udah pada puas maki-makinya?!" Tanya Tara sinis saat tiba tak jauh dari hadapan kelima orang yang merasa jagoan tersebut. Enam orang tersebut termasuk sang korban terdiam lalu menoleh ke asal suara. Melihat siapa yang berbicara, sosok laki - laki gempal yang tidak bukan merupakan ketua pembulian bernama Reza tersebut wajahnya seketika berubah menjadi masam. Tara menatap tajam ke lima orang tersebut sesaat sebelum menyandarkan tubuhnya ke tembok. Kedua tangannya dimasukan ke dalam saku dengan masih menatap tajam kelima orang itu secara bergantian. "Masih zaman ya sekarang bersikap sok jagoan di depan adik kelas?!" tanya Tara dengan penuh penekanan. Mendengar pertanyaan itu Reza dengan segera menjauh dari korban. Lalu berjalan maju sedikit mendekat ke arah Tara. "Ngga gitu Tar," bantah Reza. "Kita tadi awalnya cuma bercanda, tapi nih Ridho malah nganggap serius," ujarnya lagi membela diri sembari menunjuk ke laki-laki yang terduduk di tanah. "Iya. Bener. Kita cuma bercanda ko," Edi serta ketiga teman Reza ikut menimpali. Tara tersenyum miring, lalu berdecih pelan. "Nggak usah banyak alasan!" ucapnya kasar lantas mendekat ke arah lima orang tersebut. "Sekarang kalian minta maaf, terus cabut!" perintah Tara sembari mencengkram kerah baju Reza. Tanpa banyak bicara akhirnya mereka berlima menuruti titah tersebut. Mereka meminta maaf pada sosok yang menjadi korban atas ulah mereka serta membantunya untuk berdiri. Jika sudah berhadapan dengan Tara siapa yang berani melawan titahnya? Seantoro sekolah jelas mengenal laki-laki itu. Sebagai seorang siswa paling berprestasi di Ardinanta High School sekaligus anak dari pemilik yayasan tersebut. Tumbuh di keluarga yang berada, memiliki otak cerdas dan dikarunia paras tampan bak dewa menjadikannya terlihat sempurna. Kelima orang tersebut bergegas meninggalkan halaman. Tak terkecuali si korban yang bernama Ridho pun juga ikut meninggalkan halaman dengan tersenyum tipis pada Tara menandakan terimakasih. Tara sebenarnya tidak suka ikut campur urusan orang lain, namun baginya menolong orang lain seperti tadi tidaklah termasuk dalam arti mencampuri. **** Bugh!! Sebuah buku yang dibawa seorang perempuan berkuncir satu terjatuh menimpa Tara yang tengah berjalan di koridor. “Eh, sorry Tara! Gue buru-buru,” maaf perempuan tersebut sembari mengambil kembali buku yang terjatuh menimpa laki-laki yang ditabraknya. Tara membenarkan bajunya seraya berdiri. Ia menatap perempuan dihadapannya dengan kesal. “Buru-buru sih boleh An! Tapi nggak usah nabrak juga!” keluhnya sembari mengusap-usap bajunya yang terkena debu. “Yang terpenting gue kan udah minta maaf," balas perempuan dihadapannya membela diri. Setelah selesai merapikan buku perempuan itu berdiri. "Udah deh Tar! Marahnya dilanjutin ntar lagi aja!" ucapnya cepat. "Tapi..." Belum sempat Tara melanjutkan, ucapannya langsung dipotong."Gue beneran lagi buru-buru Tar,” kata perempuan tersebut dengan cepat seraya pergi berlari meninggalkan Tara yang masih terlihat kesal. Perempuan tersebut adalah Anzela. Perempuan yang baru saja kembali setelah menikmati libur panjang di Bandung. Anzela berada di IPA 1, sedangkan Tara berada di IPA 3. Kelas mereka tidak berjauhan, hanya berjarak satu kelas yang mengapit di antara keduanya. Dalam seminggu mereka selalu bertemu tiga kali. Mereka berdua terkenal sebagai pemilik posisi teratas di bidang akademik dan keduanya menjadi saingan. Dalam setiap semester terkadang Anzela yang berada di juara umum, tapi di beberapa semester lainnya Tara yang berada di juara umum. Selalu bergantian. Tahun ini sekolah mereka mengikuti kompetisi tingkat nasional. Anzela dan Tara yang menjadi perwakilan. Padahal mereka sudah berada di kelas XII, seharusnya mempersiapkan diri untuk ujian. Namun sekolah tetap menunjuk mereka dengan alasan untuk menjadi pengabdian yang terakhir kali sebelum lulus. Oleh sebab itu dalam seminggu mereka bertemu tiga kali untuk latihan. *** "Pak ini bukunya," ucap Anzela sembari meletakan tumpukan buku di meja. "Iya, terimakasih An. Silahkan kembali ke tempat duduk," sahut pak Andre, guru biologi. Anzela mengangguk. "Baik pak." “Anak-anak hari ini saya ada urusan mendadak. Jadi itu adalah alasan mengapa saya meminta Anzela untuk mengambil buku teori di ruangan saya,” jelas Pak Andre ke seluruh siswa IPA 1. “Hubungan ngambil buku sama bapak izin apa pak?” Tanya Rio yang duduk di bangku paling belakang. Pak Andre menyahut sembari membenarkan kacamatanya. “Saya minta kalian untuk menulis rangkuman pada halaman 1-10 dari buku yang akan dibagikan." “Hah! Yang bener pak? Kenapa nggak di fotokopi aja? Kan lebih mudah pak!” protes Edo teman sebangku Rio. “Iya pak, bapak nggak kasian sama kita?” Tanya siswa lainnya yang bernama Erga. “Iya pak, bener kata Erga,"tambah siswa lainnya yang bernama Gilang membenarkan argumen Erga. Untuk kedua kalinya, Pak Andre membenarkan kacamatanya seraya mengedarkan pandangan ke seluruh siswa. "Memfotokopi dan merangkum itu berbeda anak-anak. Kalo kalian cuma memfotokopi belum tentu kalian membaca. Kalau merangkum sudah pasti kalian baca," jelas pak Andre. "Tapi, jangan gini juga dong pak caranya," keluh seorang siswa laki- laki. "Kenapa Lang? Masalahnya di mana?" balas pak Andre. "Masalahnya adalah kita sebagai siswa juga punya perasaan pak. Yah... walaupun perasaan itu nggak pernah terbalaskan,” sahut Gilang lagi, diikuti dengan tawa oleh seluruh siswa dikelas. Dia Gilang. Siswa yang dalam satu semester telah mengungkapkan cinta pada tiga orang namun semuanya ditolak. “Woy!” Erga melemparkan pulpennya dan mengenai Gilang. “Lo ngapain curhat bambang?” Gilang melemparkan balik pulpen itu ke arah Erga. “Lo ngapain marah Ga? Gue kan cuma ngebantuin argumen lo!" protes Gilang tidak terima. “Sudah-sudah. Jangan ribut. Kalian ini SMA, bukan anak TK!" tegur Pak Andre. "Pokoknya lakukan sesuai perintah bapak. Bapak tinggal dulu. Dan untuk bukunya saya minta ketua kelas untuk membagikan. Satu meja satu buku untuk dua orang,” jelas Pak Andre lagi seraya meninggalkan ruangan dan dibalas dengan anggukan seluruh siswa. Memang, siswa selalu malas kalau sudah disuruh mencatat. *** Bel pulang sekolah berbunyi. Halaman parkir dipenuhi banyak siswa yang ingin mengambil kendaraan. Sesekali mereka berdesakan agar lebih duluan keluar. Namun tidak dengan seorang perempuan yang duduk di bangku bawah pohon tak jauh dari parkiran. Anzela dengan santai menunggu sampai semua sudah agak sepi. Ia terlalu malas untuk berdesakan. Lagipula baginya tidak ada sesuatu yang penting untuk disegerakan. "Kalo ngelamun jangan di sini!" seorang laki-laki datang tiba- tiba dan duduk tepat di sebelah Anzela. Anzela menoleh, melihat siapa gerangan yang menganggu ketenangannya. "Eh sembarangan! Siapa juga yang ngelamun?" balasnya dengan baik bertanya. 'Lo." "Gue nggak ngelamun," tegas Anzela. "Gue lagi menikmati sejuknya angin sekalian ngabisin nih makanan," celotehnya seraya menunjukkan donat yang ada di tangannya. "Lo sendiri ngapain duduk di sebelah gue?" "Inikan tempat duduk umum. Jadi ya terserah gue mau duduk apa nggak!" sahut lawan bicaranya dengan ketus. "Iya deh terserah lo aja Resky Tara Ardinanta yang terhormat!" balas Anzela dengan mengeja nama lawan bicaranya satu-satu dan perlahan. "Udah agak sepi tuh, nggak mau pulang lo?" Tanya Anzela pada Tara sembari menunjuk ke arah parkiran menggunakan isyarat kepala. "Belum," sahut Tara singkat. "Masih ada yang ditunggu?" "Nggak ada." "Lah terus kenapa nggak pulang?" Tanya Anzela bingung. "Lo sendiri juga nggak pulang," kali ini Tara menyahut dengan kata yang lebih panjang. "Lo kan liat sendiri, gue masih ngabisin ni makanan," sahut Anzela sambil menyuapkan donat yang ada di tangannya kedalam mulut. Tara menoleh. "Lo kalo makan, terus di sebelah ada orang, nggak ada niat buat nawarin?" tanya Tara dengan nada rendah namun lebih terdengar menyindir. Anzela menyodorkan donat terakhir di tangannya ke Tara. "Lo mau?" Tawar Anzela. "Tapi udah bekas gue," lanjutnya terkekeh pelan dengan wajah meledek. "Udah telat!" Sahut Tara sembari pergi meninggalkan Anzela menuju parkiran. Sementara Anzela hanya tertawa geli. Jika sudah bertemu, dua orang tersebut memang tidak pernah lepas dari yang namanya perdebatan. *** Anzela mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Sambil sesekali ia bersenandung. Langit kali ini terlihat jauh lebih gelap, mungkin karena tadi pagi sudah terlalu panas, jadi sore ini sepertinya akan turun hujan, biasanya siklusnya seperti itu. Memasuki komplek perumahan, ternyata gerimis sudah mulai turun. Dengan segera Anzela mempercepat laju kendaraannya. Tiba di rumah, ia memasukan motornya ke dalam garasi seraya berjalan menaiki teras rumah untuk masuk. Belum sempat naik ke kedalam rumah, sebuah mobil Pajero sport berhenti tepat di depan rumahnya. Matanya menelisik tajam, memperhatikan siapa yang akan turun. Ternyata sesuai dugaannya. Seorang wanita paruh baya turun dari mobil, lalu kaca pengemudi terbuka memperlihatkan sosok lelaki paruh baya. Setiap hari selalu saja ibunya diantarkan dengan lelaki yang berbeda. Semenjak perceraian dengan ayahnya tiga tahun silam, ibunya selalu saja berganti-ganti pasangan. Tanpa mempedulikan kehadiran ibunya, Anzela bergegas masuk ke dalam rumah. Namun belum sempat ia masuk, dengan tatapan tajam Anzela melihat lelaki itu melambaikan tangan ke arah ibunya seraya berlalu bersama mobilnya. Kaki Anzela melangkah cepat menaiki teras rumah, meninggalkan ibunya yang masih berdiri di depan halaman rumah. Belum sempat masuk, tiba-tiba ibunya berteriak lirih, ucapannya terdengar meracau, bahkan berkali-kali badan ibunya hampir terjatuh karena tidak seimbang. Anzela akhirnya terpaksa membalikkan badan dan membatalkan niatnya untuk masuk ke dalam rumah. Sebenarnya dia ingin tidak peduli, namun bagaimanapun wanita itu tetap ibunya. Anzela mencoba memapah ibunya untuk masuk ke dalam rumah. Namun, alih-alih masuk ke dalam rumah justru ibunya jatuh pingsan. Dalam keadaan sadar pun sudah terlalu sulit memapah ke dalam rumah. Apalagi ketika pingsan seperti sekarang. Bingung bagaimana cara membawa ibunya ke dalam rumah Anzela menoleh ke kanan-kiri dengan maksud apakah ada tetangga yang bisa dimintai pertolongan. Namun, saat matanya tertuju ke kanan refleks dirinya berbalik terkejut. Sepasang mata ternyata mengamatinya sedari tadi. Sepasang mata yang sedari awal memperhatikan Anzela akhirnya beranjak dari duduknya. Itu adalah Tara, saingan terberatnya disekolah dan teman berdebatnya. Ia baru tahu hari ini bahwa Tara adalah orang yang menjadi tetangga barunya. Anzela masih mencoba memahami keadaan hingga tanpa sadar Tara sudah berada tepat di sebelahnya seraya mencoba membantu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD