3. Playboy m***m

1779 Words
Cowok tampan itu memang pencuri. Tepatnya pencuri hati! *** Seperti biasa, sebelum bel masuk berbunyi. Gledys dan Chacha akan mengobrol banyak di bangkunya. Entah membicarakan pelajaran, gosip, atau laki-laki tampan yang menjadi incarannya. "Eh, tau enggak?" Gledys memulai pembicaraan. "Apaan?" Ujar Chacha antusias. "Gue kan pernah cerita sama lo, Kalo tiga bulan yang lalu gue di todong cowok ganteng di toilet!" Dengan sedikit pelan Gledys berkata. Agar siswi lain tidak mendengarkan apa yang ia katakan. "Terus?" Chacha semakin antusias. "Lo percaya enggak?" "Apaan?" Chacha mendekat dengan perlahan, sepertinya gadis itu cukup antusias dengan apa yang akan diceritakan sang narasumber. "Ternyata cowok gila itu ada di sekolah ini!" dengan kembali berbisik Gledys menyampaikan. "Whaattt! Serius lo?" Chacha membelalakkan kedua matanya. "Iya Cha, gue enggak nyangka sekolah elit kaya gini, nampung teroris kaya dia. Heran deh," sebal Gledys. Pikirannya kembali berbaur pada pertemuannya di ruang musik kemarin, teroris itu telah mengganggu waktunya saat bermain piano. "Kok iya, sih, ya. Padahal, sekolah kita itu tempatnya orang - orang yang berkualitas kaya kita," ujar Chacha dengan gaya alaynya. Seakan ingin menjelaskan kalau dirinya termasuk salah satu dari orang-orang yang berkualitas itu. "Lah, mana?" Gledys melirik kanan dan kiri. "Apa?" Chacha bertanya. "Orang yang berkualitas?!" Sindir Gledys, terdengar menyebalkan. Tak ayal membuat Chacha mengerucutkan kedua bibirnya. "Enggak lihat, apa? Muka gue, segini beningnya. Ini teh, tanda, kalo gue manusia berkualitas!" "Lah, iya tah?" Gledys menatapnya seolah ingin meyakinkan. "Iya dong, gue itu meski sering nyontek, tetep berkualitas tahu!" Memegang dagunya dengan sombong, lalu menaik turunkan kedua alisnya. "Eh, tapi beneran ya, terorisnya ada di Sekolah ini?" Tanya Chacha lagi dengan wajah takutnya. Gledys mengangguk mantap, "Iya, lo harus hati-hati. Sekarang tuh, banyak teroris bermuka manis! " Gledys bergidik. Ia pernah melihat kisah seorang korban yang di ikuti pencurinya, lalu akhirnya korbannya itu di bunuh si pencuri setelah sampai di rumahnya. meski cerita itu hanya kisah dalam sebuah film saja. Namun tak ayal membuat gadis itu merinding ngeri. "Eh, kita bilangin ke ketua OSIS aja, biar dia bilang ke pihak sekolah, kalo keamanan harus diperketat!" Ide Chacha bangga dengan pemikirannya sendiri. Selain itu ia juga bisa ber-interaksi langsung sama ketua OSIS gantengnya tersebut. Kan, tidak menutup kemungkinan keberuntungan berpihak padanya. Siapa tahu ketua OSIS gantengnya itu menerima dia jadi pacarnya, siapa tahu kan? Gledys menatap sahabatnya yang senyum-senyum sendiri, "Wey! Ngebayangin apa sih?" Cewek itu menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah sahabatnya tersebut. "Ah, lo ganggu aja!" Cha-cha mengerucutkan bibirnya kesal, tentu saja, karena lamunannya. Dengan si pangeran tampan terganggu. "Itu, ide lo boleh juga. Siapa nama Ketua OSISnya?" "Sean Alexy! Namanya keren kan?" Ujar Chacha. "Dikit," balas Gledys datar. "Ah, lo mah, gak asik. Kak Sean itu, enggak cuma keren namanya doang. Tapi, wajahnya juga ganteng, perfect deh," bangga Chacha, ia memang amat memuja laki-laki tampan itu. Sama seperti gadis lainnya di Mutiara Bangsa. "Iyain aja, deh, gue bingung ngomongya," Gledys hanya mendesah lelah. "Dari pada kaca sekolah pada bolong, gara-gara lo!" tambahnya, dengan kuluman dikedua bibirnya. "Lo kata, gue kuda lumping!?" protes Chacha merenggut. "Ya, kali aja. Saking ngefansnya sama Sean Alexy lo itu. Sampai lo gigit kaca sekolah!" "Dih, nyebeliiinnn, terus aja ledek gue. Gue sumpahin, lo juga bakal suka sama dia!" Gledys terkekeh. Menggodanya sahabatnya itu, seperti ia mendapatkan hiburan gratis. Di saat ia sedang gundah. Memikirkan dirinya yang sedang di kejar rasa bersalah pada seseorang. Yang saat ini sedang terkapar di rumah sakit sana. Gadis itu memejamkan kedua matanya. Mencoba menenangkan dan meyakinkan dirinya, bahwa ini bukanlah salahnya. _My Sean_ Bel istirahat berbunyi membelah suasana hening dan tegang di ruang kelas masing-masing. Hal itu seperti sebuah Dewa penolong, bagi para siswa yang saat ini sedang mengalami berbagai penyakit. Diantaranya; lemah, karena terlalu keras berpikir soal matematika yang ada di depannya, namun hasilnya malah salah. Lalu panas, karena melihat teman yang sudah duluan menyelesaikan soal, sementara dirinya masih keleyengan sampai waktu habis, hanya karena menyelesaikan satu soal saja. Kemudian, lesu. Karena perut sudah waktunya meminta diisi. Dan hal itu meluap begitu saja, ketika suara bel sudah berbunyi. Seolah sebuah jeruji besi yang menghalangi kebebasannya sudah terbuka. Sehingga mereka menarik napas lega. Lantas berlari ke arah tempat yang mereka mau. Ada yang ke kantin, ada juga yang toilet. Dan seperti kedua gadis ini, mereka terlihat antusias berjalan ke arah kantin. "Kita mau makan apa Nih?" Gledys bertanya, dengan sesekali menghindari senggolan secara tidak sengaja, dari para siswa lain. Yang berniat mendahuluinya. "Lo tau enggak. Bakso setan yang geude segede pala lo, Tuh, enaaak banget," kelakar Chacha sambil menoyor kepala sahabatnya. "Gila! pala gue di samain sama bakso," protes Gledys dengan merenggut. Chacha terkekeh, "Ini tuh, baksonya enak banget, Gled. Pokoknya lo wajib nyoba," merasa takut sahabat barunya itu tersinggung. Chacha melingkarkan lengannya di leher Gledys. "Tapi kan geude banget. Emang mau abis?" Sahut Gledys sambil merapikan anak rambut ke belakang telinganya karena terpaan angin. Tanpa ia sadari dari jauh seorang cowok tampan terus memperhatikan gerak-geriknya. Manis ... Si tampan tersenyum kecil, seraya pergi ke tempat yang ditujunya. "Ya kita share lah," ucap Chacha. "Harganya berapa?" "Ya ampun Gledys, murah kok, cuma 15 ribu per-mangkok. Kitakan mau share. Jadi setengah-setengah bayarnya." sahut Chacha sambil terus menarik tangan sahabatnya itu masuk kantin. Gledys memang selalu perhitungan menyangkut masalah uang. Pertama, karena ia bukan dari keluarga berada. Kedua, karena uang jajannya itu bukan dari orang tuanya. Melainkan pemberian dari kakak sepupunya yang memang sangat baik padanya. Dan orang tuanya? Ah, sudahlah. Gledys tidak mau mengingat mereka, hanya membuatnya ingin menangis saja. "Gled, lo tunggu di sini aja. Gue yang antri, takutnya kalau lo ikut antri kaya kemarin. Kursi kita ada yang dudukin. Lo enggak mau kan kita enggak kebagian duduk, kaya kemaren?" Memang benar, beberapa hari yang lalu kursi mereka di pakai murid lain. Ketika mereka berdua sedang mengantri makanan. Tentu saja karena murid lain berpikir, kursi itu belum ada yang mengisi. Gledys mengangguk saja. Ia juga sangat malas kalau harus makan sambil berdiri seperti kemarin-kemarin. Gara-gara tidak kebagian bangku. Tapi menit berikutnya tiba - tiba saja perutnya melilit. Gledys meringis, kemudian ia segera pergi keluar kantin. Dan masih sama, dari kejauhan seorang cowok tampan terus menatapnya intens. Sesekali cowo itu tersenyum, dalam hati ia mengakui bahwa gadis itu memang berbeda. Terbukti, ketika mereka bertemu di ruang musik tempo hari. Gadis itu tidak jatuh dalam pesonanya. Malah gadis itu sangat ketakutan padanya, apakah pesonanya tidak berlaku untuk gadis itu? "Kamu natapin siapa Sean?" Tanya Niken, masalahnya Sean disampingnya, memegang tangannya. Tapi tatapannya malah pada gadis lain yang ia sendiri baru melihatnya hari ini saja. Sean tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Dia ... Anak baru, kayanya," ia menatap ke arah anak baru itu. Lalu mengusap lembut wajah Niken, "Kamu tahukan? Aku suka sekali melihat gadis - gadis cantik, apalagi kalau gadis itu menolakku seperti dia!" Sean mengarahkan dagunya pada gadis yang saat ini berjalan keluar kantin. Niken tahu, selama ini Sean memang selalu dekat dengan dirinya. Namun ia juga tidak pernah melarang Sean untuk dekat dengan gadis lainnya. Karena ia amat yakin, Sean akan tetap kembali padanya pada akhirnya. "Kamu suka gadis itu Sean?" Tanya Niken terlihat cemas. Sean senyum tipis, namun amat menawan seperti biasanya. Sean memang selalu menawan. Laki-laki tampan itu mengusap pipinya amat lembut, "Seperti biasa, aku akan mendapatkannya. Lalu aku akan meninggalkannya!" Niken tersenyum. Ia tahu, Sean tak akan pernah meninggalkannya. "Lakukan apa yang kamu mau Sean, dapatkan dia. Kemudian kembali padaku, setelah kamu puas." Ujar Niken mengelus rahang si tampan penuh sayang. Sean mengangguk, "Akan aku dapatkan!" *** Gledys berjalan cepat menuju toilet. Beruntung sepi, jadi ia bisa segera menuntaskan panggilan alamnya itu. Entah kenapa perutnya berontak, padahal ia belum mengisinya dengan apapun. Akhirnya seperti inilah Gledys pergi ke toilet meninggalkan Chacha sahabatnya di kantin. Hampir sepuluh menit. Akhirnya selesai juga, Gledys keluar dengan menarik napas lega. Namun ia terkejut ketika di luar pintu seorang cowok sedang berdiri dengan begitu gagahnya di sana. Dia lagi ... Seakan tidak ingin peduli dengan pemandangan indah itu. Gledys berjalan melewati mahluk tampan tersebut. Hingga ia terhenti ketika suara cowo tampan itu menyebut namanya. "Gledys Fransiska!" Tegasnya. Lalu ia berjalan ke depan gadis itu, dan berhenti tepat satu langkah di depannya, "Aku yakin, kita pernah bertemu. Bisa kamu katakan di mana kita bertemu?" sambung Sean, menatap lekat kedua mata gadis itu. Gledys senyum kecil, "Kenapa? Anda yakin, anda mau tahu di mana waktu itu kita bertemu? Yakin, gak akan nyesel?" Gledys malah balik tanya. Anda ... saya ... _Sean tersenyum simpul. Gadis itu memang beda. Pikirnya. "Katakan! Dimana kita bertemu?" Sean mencondongkan wajahnya. Membuatnya bisa melihat wajah cantik itu dalam radius dekat. Gledys mendorong dadanya Sean agar menjauh, "Jaga batasan anda. Saya tidak suka dengan tingkah tidak sopan anda!" Tegas Gledys, semakin membuat Sean tertarik pada gadis itu. "Baiklah, katakan dimana?" Sean menarik wajahnya. "Saya tidak mau mengatakannya!" Tegas Gledys. lagi pula, menurutnya. untuk apa dia harus repot-repot memberitahukan pertemuan mereka pada laki-laki teroris itu. "Kenapa?" Tanya Sean heran. "Karena anda sangat memalukan waktu itu. Saya baik hati, dengan tidak mengatakan bagaimana anda begitu memalukan saat itu!" Karena laki-laki itu manusia yang tidak sopan dan menyebalkan. Sehingga tidak ada untungnya bagi Gledys untuk beramah tamah dengannya. "Kamu ngomong apa? Sean tidak pernah mempermalukan dirinya sendiri!" Entah kenapa ia merasa kesal mendengar pernyataan gadis itu. seumur-umur ia belum pernah mendengarkan hal yang menyebalkan, Seperti yang disampaikan gadis di depannya ini. Sean ..._geming batin Gledys. "Kenapa diem?" Sean melangkah lebih dekat. "Jadi kamu Sean?" Tanya Gledys setengah terkejut. Ia tidak menyangka kalau Sean yang dibanggakan sahabatnya adalah justru cowok yang menodongnya di toilet waktu itu. Sean mengangguk bangga, ia yakin sekali gadis itu sudah pernah mendengar nama besarnya. Dan hal itu membuatnya semakin percaya diri. Siapa sih, cewek di Mutiara yang tidak kenal Sean, si tampan mempesona? "Ya, aku Sean. Sudah dengar bukan? Apa kamu juga berminat jadi pacarnya saya yang kesekian?" Ucap Sean menatap lekat kedua mata cantik itu, seakan ingin mengatakan. Bahwa inilah Sean yang sebenarnya. Inilah Sean yang menawan, inilah Sean yang perfect. Dan inilah Sean yang ... "Apa! Hahahaha!" Gledys terbahak. Menghadirkan kerutan di keningnya Sean. "Saya rasa anda memang gila atau setres ya? Saya belum pernah menemukan cowo segila anda!" Dengan tatapan menelisik dari ujung kaki sampai ke ujung kepala, lengkap dengan senyuman mengejeknya Gledys berkata. Tentu saja kalimat itu membuat Sean kesal. Ia menggelengkan kepalanya, serasa ada api yang keluar dari kedua telinganya. Gadis itu benar - benar telah berani menginjak harga dirinya. s****n! "Oya, fine! Aku memang setres!" Merasa emosinya menguap. Sean menarik gadis itu kedalam dekapannya. Membuat Gledys terkesiap dan melotot sempurna. "... dan kamu adalah obat setres itu! Bagaimana?" bisik Sean tepat di telinga Gledys. Membuat gadis itu menahan napasnya, dan menelan salivanya yang mendadak kering di tenggorokan. Asli! selain teroris dan playboy dia juga cowok m***m ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD