2. Bersama Nyonya Bos

1822 Words
Dua Minggu setelah gosip di tabloid, hubungan Heni dan Bu Ratih mulai membaik. Mereka kembali akrab seperti semula. Mereka sangat dekat satu sama lain tentu saja karena Bu Ratih hanya memiliki satu anak perempuan yang tinggal jauh darinya di Belanda. Sementara 4 orang anaknya yang lain yang semuanya laki-laki tak ada yang tinggal di Jakarta. Ia kesepian makanya ia sudah menganggap Heni seperti anaknya. Soal kasus beberapa Minggu yang lalu itu karena ia terlalu posesif sama suaminya ditambah beberapa pihak yang mengompori. Sekarang ia sudah kembali percaya kepada Heni. Percaya 100%. " Minggu depan Dany pulang ke Jakarta." Bu Ratih memulai percakapannya ketika ia dan Heni berada di sebuah Cafe sehabis shopping di Mall. Hari Minggu memang jadwal mereka ngemall. " Pulang selamanya atau cuma liburan?" Heni bertanya seraya menatap perempuan paruh baya itu. " Entahlah, dia susah diprediksi. Padahal Papinya ingin sekali dia balik ke Jakarta. Kuliahnya kan udah lulus. Tapi gara-gara pacarnya itu dia betah di sana. Sebenarnya di sana dia ga ada kerjaan. " Perempuan berusia 56 tahun yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda itu berbicara sambil menghela nafas panjang. Terlihat perasaan yang kurang semangat saat membicarakan anak ke 4 nya itu. Anak yang palibg bandel diantara ke lima anaknya. "Tante yang sabar ya...mudah-mudahan dia cepat berubah." Heni menenangkan Bu Ratih. " Semoga saja, walaupun Tante ga yakin." " Udah setahun aku ga ketemu dia." " Terakhir pulang saat hari Raya Idul Fitri tahun kemarin. Itu juga cuma beberapa hari saja" katanya. Terkadang Heni merasa kasihan dengan keluarga pak Yusuf. Anak perempuannya jauh di Belanda, anak ke 2 nya yang memiliki 2 orang isteri tinggal di Bali. Sementara anak ke 3 nya 2 tahun lalu menikahi pembantunya dan ikut pindah ke Yogya membuka usaha batik di sana. Anak ke 4 yang sedang dibicarakan ada di Amerika dan terakhir yang bungsu masih kuliah di Australia. Yang terakhir memang paling baik dan penurut. Sayangnya dia anak Mami. 3 tahun yang lalu saat pertama tinggal di sana Bu Ratih menemaninya sampai 2 bulan lamanya ditambah lagi ia meminta pembantunya yang mengasuhnya sejak kecil ikut tinggal di sana tentu saja sampai hari ini. Heni tahu banyak tentang keluarga Pak Yusuf karena sebelum bekerja di perusahaannya ia sudah bersahabat baik sejak SMP dengan putri sulungnya Diana. Persahabatan mereka renggang karena Diana kuliah di Belanda sementara Heni sendiri pindah ke Bandung. " Udah sore nih, kita pulang yuk." Heni mengajak Bu Ratih pulang. " Iya bener nih ntar Om Yusuf ngomel-ngomel deh. Minggu depan kita jalan-jalan lagi ya." Mereka meninggalkan Cafe itu setelah membayar tagihan. " Makasih ya kamu udah nemenin Tante, Tante senang banget". Bu Ratih tersenyum bahagia. " Ok sama-sama Tante. Makasih juga buat traktirannya." Heni mengangkat semua tas belanjaannya yang jika dirupiahkan mungkin bernilai jutaan rupiah. **** Heni mengemudikan mobilnya dengan perlahan. Ia sangat hati-hati. Bukannya ia baru bisa nyetir tapi ia selalu mengutamakan ketertiban dan keselamatan lalu lintas. Ia memiliki trauma terhadap kecelakaan beberapa tahun yang lalu yang merenggut nyawa suaminya. Hanya butuh waktu 30 menit keduanya telah tiba di depan pintu gerbang kediaman keluarga Yusuf Hadiwijaya. Tempat dimana Bu Ratih dan keluarganya tinggal. Pintu gerbang otomatis terbuka dan mobil Toyota Yaris warna putih yang dikendarai Heni pun memasuki kawasan rumah mewah dua lantai. " Tante maaf ya, aku ga lama. Soalnya nanti ada yang mau datang ke rumah." Heni keluar dari mobilnya begitupun Bu Ratih. " Ya, udah tapi kapan-kapan kamu main ya kita masak bareng. Tante ingin nyoba praktek resep baru masakan China." Bu Ratih tampak kecewa namun ia tak memaksa sekretaris suaminya itu. Bukankah seharian ini mereka sudah cukup lama menghabiskan waktu bersama. " Iya Tante. Sekali lagi makasih buat hari ini." Jawabnya. " Iya sama-sama Hen" " Bye Tante." Heni berpamitan sambil cipika cipiki dengan istri bossnya itu. " Bye..Hati hati di jalan." Heni pun kembali masuk ke dalam mobilnya. Sebelum meninggalkan Bu Ratih yang masih berdiri dengan memegangi tas belanjaan yang berjumlah 10 itu ia lalu melambaikan tangan sambil membunyikan suara klaksonnya. Perempuan usia 35 itu lalu meninggalkan kediaman keluarga Hadiwijaya untuk melanjutkan perjalanan ke rumahnya yang letaknya tidak terlalu jauh. 20 menit lagi ia akan tiba di rumahnya jika tidak macet. **** Sudah seminggu Dany anak ke 4 Pak Yusuf dan Bu Ratih berada di Jakarta. Pemuda itu memutuskan pulang kampung setelah 5 tahun tinggal di Amerika. Selama di Jakarta Waktunya ia habiskan untuk nongkrong di Cafe milik Vicky sekedar nonton bareng siaran langsung sepakbola atau ke club malam bareng teman-temannya. Seringkali ia pulang larut bahkan sampai pagi. Tak jarang ia pulang dalam keadaan mabuk. " Keren lo udah punya cafe." Dany mengomentari usaha Vicky. Ketika dirinya berada di salah satu Cafe milik Vicky. Ia sengaja datang untuk nonton bareng acara sepakbola. Tentu saja ia tidak akan melewatkan taruhan. Sebutlah pemuda itu salah satu penjudi bola kelas kakap. " Baru punya 5 cabang aja." Vicky merendah. Pria bernama Vicky itu belum satu tahun membuka usaha Cafe. " Gua belum kepikiran mau usaha apa." Seru Dany. Pemikirannya tidak sejauh Vicky. " Putus cinta dari Caroline bikin otak lo mampet ya." Cibir Vicky. Pria itu tahu Dany pulang ke Jakarta gara-gara patah hati diputuskan dan ditinggal menikah oleh kekasihnya. " Tenang aja Papi gua duitnya banyak." Dany tidak perduli. Orang tuanya selalu menjamin semua kebutuhan finansialnya. " Itu kan duitnya." Ucap Vicky tidak setuju dengan Dany yang masih menggantungkan hidupnya pada orangtuanya. Padahal pria itu sudah lulus kuliah dan seharusnya segera mencari pekerjaan. Waktu menunjukkan pukul 8 malam, pengunjung cafe sangat ramai terutama mereka yang akan nonbar liga Inggris. Dany pun telah berada di barisan terdepan kerumunan masa. Mencari tempat yang paling nyaman. *** Di Suatu pagi yang cerah ketika Pak Yusuf, Papinya Dany sudah berangkat ke kantor. Dany mendekati ibunya yang sedang asyik membaca majalah wanita di teras belakang rumah. " Mami, Dany minta uang dong." Dany to the point menyampaikan maksudnya. Semalam ia kalah taruhan bola. Uangnya terkuras habis. " Dany, kamu tuh pulang ke rumah cuman buat mau minta duit aja." Sang Mami meletakkan majalahnya menatap ke arah putra ke 4 nya yang selalu membuatnya jengkel. " Uang Dany udah habis Mi." Tanpa rasa malu Dany memberi alasan. " Habis? Papi transfer buat keperluan kamu sebulan, masa sih seminggu udah habis lagi. harusnya kalau tinggal di Jakarta kamu bisa lebih hemat. Emangnya kamu pake buat apa tuh duit?" Wanita itu berubah galak. Sebenarnya dia bukan sosok yang pelit namun melihat Dany yang boros dan tidak tahu uangnya dipakai apa Bu Ratih sangat kesal. " Mami mau ngasih ga sih." Dany mulai kesal. " Ga akan." Ibu beranak 5 itu berdiri dari tempat duduknya meninggalkan Dany. " Mi, Mami tega ya sama Dany." Dany berusaha mengejarnya namun sang Mami malah cuek. Buat seorang Dany dunia belum berakhir walaupun Mami Papi tidak memberinya uang, masih ada kakak-kakaknya yang bisa diandalkan untuk memberikannya kucuran dana. Deri adalah abangnya yang paling baik dan dekat dengan Dany. Setiap apa yang dimintanya pasti dikabulkannya. Kali ini pun anak ke 3 Bu Ratih dan Pak Yusuf menjadi dewa penolong Dany. Dany selalu dengan ikhlas mentraktir teman-temannya dalam segala hal, belum lagi hobinya yang menguras banyak uang tentu saja pundi-pundi rupiah yang berada di rekeningnya mudah terkuras. *** Beberapa hari kemudian. " Lo bilang ga ada duit." Ujar Vicky. Keduanya sedang berada di sebuah super Mall. Dany dengan royalnya membeli beberapa peralatan pribadinya. Bahkan Vicky pun ditraktir beli sepatu futsal. " Minta sama bang Dimas dan Deri" Jawab Dany. Keduanya kini berada di dalam restoran mall itu. " Lihat tuh ada Mami lo, sama cewek cantik." Vicky menunjuk ke arah meja yang jaraknya cukup jauh dari mereka. Bu Ratih duduk manis sambil mengobrol dengan seorang wanita cantik. " Iya, sama siapa tuh?" Dany diam-diam memperhatikannya. Kayanya wanita itu tidak asing. " Mbak Heni, sekretaris papi lo." Jawab Vicky yang kenal baik dengan wanita yang dimaksud. " Oh" ujar Dany. Ia mulai mengingatnya. " Lo ga tertarik sama dia? cantik en seksi." Vicky berusaha menggoda Dany yang saat ini berstatus jomblo. " Sorry gua ga selera, gua masih males menjalin hubungan sama cewek apalagi deketin cewek level dia. Kaya ga ada kerjaan en ga ada cewek lain aja." Dany menanggapi ocehan Vicky dengan nada sebal. " Sekali-kali cobain sama janda." Bisik Vicky. " Ha..ha..gua masih bujangan en perjaka ya Vicky, jadi gua mau nyari yang masih perawan." Dany tertawa. Sahabatnya itu memang paling konyol. " Gayanya..." Cibir Vicky sambil membaca menu. " Lo aja yang nyoba." Dany melotot. " Gua udah punya cewek." Ujar Vicky sombong. " Eh, ntar subuh liga Champions. Gua mau ke Cafe lo." Ucap Dany. " Tapi gua ga kan ada di Cafe, Soalnya gua harus nganter Papa ke Anyer." Vicky berkata dengan nada penuh sesal. " Gua tetep ke Cafe." Keukeuh Dany. " Oke, ada si Firman dan yang lainnya." Jawab Vicky. Di Cafe itu banyak juga para gembong judi bola. Keduanya asyik berbincang sambil menikmati makan siangnya. Dany dari tadi sengaja agak sembunyi. Dia tidak ingin bertemu sang Mami. Beberapa hari ini dirinya sedang kesal kepada ibu kandungnya itu. *** Di tempat yang sama di meja lainnya Bu Ratih dan Heni asyik mengobrol dan menyantap hidangan yang tersedia. Bu Ratih sengaja ke kantor suaminya dan mengajak sekretaris itu menemaninya makan siang. Kebetulan Pak Yusuf sedang pergi ke luar kota. " Tante itu hampir tiap hari pusing." Wanita itu mulai curhat. " Pusing kenapa Tante? Tekanan darah Tante naik lagi ya?" Tanya wanita berkulit putih itu. " Biasalah, Dany selalu bikin ulah. Dikit-dikit minta uang, di rumah ga ada kerjaan selain tidur dan makan. Belum lagi keluyuran terus. Kapan dewasanya." Bu Ratih mengeluh tentang anak lelakinya. " Sikap Tante sama Om Yusuf gimana?" Heni menatap Bu Ratih sambil mengunyah makanannya. " Udah ditegur juga tetap aja begitu." Bu Ratih tampak sedih. " Seminggu yang lalu dia baru merusak mobil mewah Papinya. Tabrakan gara-gara nyetir mobil dalam keadaan mabuk. Pokoknya kelakuannya menyebalkan. Tante udah tidak mau ngasih uang sama dia. Masa sih cepat amat uangnya habis." Bu Ratih mengeluh tentang Dany. Heni hanya bisa mengerutkan keningnya. " Sabar ya Tante, mudah-mudahan saja dia berubah secepatnya. Harusnya dia dikasih pelajaran semacam hukuman gitu. Mungkin Om Yusuf harus bertindak tegas. Blokir saja semua fasilitasnya" Heni memberikan usulan. " Tetap aja dia masih bisa minta sama kakak-kakaknya." Sanggah Bu Ratih. " Tante menyesal punya anak dia." Bu Ratih mengumpat. " Sst, Tante jangan ngomong gitu walau bagaimanapun dia anak Tante lho." Heni menyadarkan istri bosnya itu. " Anak yang cuma nyusahin dan bikin malu orang tua sejak dari kecil." Seru wanita itu. " Tante berdoa saja demi kebaikan dia. Seburuk-buruknya orang suatu saat kalau kalau Allah berkehendak dia bisa berubah." Heni berkata bijak. " Betul juga Hen, mudah-mudahan Dany dapat hidayah. Eh ngomong-ngomong barusan Tante kaya lihat Dany sama temannya deh." Bu Ratih tanpa sengaja tadi melihat sosok Dany keluar dari pintu Restoran. " Mana?" Heni penasaran. Ia jadi ingin tahu rupa Dany seperti apa. " Kayanya ke luar dari tempat ini juga." Seru Bu Ratih. ***** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD