Perjalanan Fene ke Swiss...

3410 Words
Adrian dan Kevin membawa Fene ke rumah sakit terdekat. "Cepat lakukan sesuatu." Teriak Adrian saat di rumah sakit. Dokter melakukan tindakan dengan cepat untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di bahu Fene. Sementara Adrian dan Kevin berada diluar ruangan sambil menunggu kabar dari Bram. Drrrrrt... Drrrrt... Hp Adrian bergetar... 'Bram' "Ya..." "Gimana kondisi Fene.?" Tanya Bram. "Masih diruang operasi, gue rasa tidak akan terjadi apa-apa. Semoga saja." Jelas Adrian. "Oke, minta Kevin temuin gue." Perintah Bram. "Ok." Adrian menutup telfon. Meminta Kevin segera menghubungi Bram. Tidak lama Kevin menjauh saat menelfon Bram, kemudian mendekati Adrian untuk segera pamit menemui Bram di suatu tempat yang tidak begitu jauh dari rumah sakit. "Gue jalan dulu, lo tunggu Fene disini." Kevin memukul pelan pundak Adrian dan berlalu. Adrian hanya mengacungkan jempol tanda setuju. Tatapan Adrian menatap pintu operasi sambil mengalihkan tatapannya kepunggung Kevin semakin menjauh. 'Aaaaaagh....' keluh Adrian sambil mengusap wajah dengan kedua tapak tangannya. Tidak lama menunggu, Dokter keluar dari ruangan operasi, mendekati Adrian. "Tenang... Semua baik-baik saja" Jelas Dokter kepada Adrian. "Syukurlah." Adrian menarik nafas panjang. "Nona Fene akan segera dibawa ke ruangannya. Saya tinggal yah." Dokter berlalu meninggalkan Adrian. Di suatu tempat Bram dan Kevin.. "Gue akan membawa Fene secepatnya Vin." Bram marangkul bahu Kevin. "Bagaimanapun Fene adalah sahabat kita. Gue harap kita bisa melindunginya." Kesah Kevin. "Gue bingung, cara menghadapi Adrian, tapi gue harus bicara langsung dengannya. Dia terlalu egois." Kesal Bram. "Ingat satu hal, jangan bawa perasaan dipekerjaan kita. Gue tidak setuju. Semoga lo mengerti maksud gue." Pinta Kevin. Bram terdiam menatap lekat wajah Kevin yang berdiri tepat didepannya. Bram hanya mengangguk. "Rombongan Jack coba melumpuhkan salah satu dari kita." Bram mengalihkan pembicaraan atas kejadian tadi. "Oya.." kaget Kevin. "Berarti tadi mereka yang menyerang kalian.?" Rahang Kevin menggeram. "Ya, mereka tau, kita yang menemui Mr. Huang saat di Shanghai." Lanjut Bram. "Secepatnya kita harus menyelesaikan ini." Tegas Kevin. Bram hanya mengangguk meminta Mr. Alberth segera menemani Adrian, sementara Bram dan Kevin melanjutkan pekerjaan mereka. Fene Claire Zurk... Adrian sudah berada di ruangan Fene sejak tadi, menunggu kesadaran Fene dari pengaruh obat bius hanya menggenggam tangan Fene sambil mencium punggung tangan itu berkali-kali. Adrian tidak tau, saat ini bagaimana hatinya. Bimbang, ragu. Fene bergerak perlahan membuka matanya. Menatap Adrian yang tertidur disampingnya sambil memeluk tangannya. "Dri..." Fene melepaskan perlahan genggaman tangan Adrian. Adrian bangun melihatkan kecemasan dalam wajahnya. "Lo baik-baik ajakan Fen.? Tanya Adrian. "Sakit sedikit." Ringis Fene. "Ya udah... Gue panggilin suster yah.?" Adrian mencium kening Fene sambil mengusap lembut rambutnya. "Nggak usah, gue cuma luka sedikit." Senyum Fene. Adrian tersenyum. Mencium bibir Fene. Cup... Fene hanya memalingkan wajahnya mencari keberadaan Bram dan Kevin disetiap sisi ruangan. "Bram mana Dri.?" Tanya Fene. "Hmmmm.... Bram dan Kevin lagi menyelesaikan project kita, jadi untuk sementara gue disini. Palingan besok kita sudah meninggalkan tempat ini." Senyum Adrian. "Lo mau balik ke Jakarta kapan.?" Fene berusaha memastikan perkataan Bram tadi sore. Jantung Adrian terasa berhenti mendengar pertanyaan Fene. "Hmmmm... Gue nggak tau, yang penting kita harus sama-sama." Jawab Adrian tak biasa, tanpa menatap wajah Fene. "Oya...?" Fene hanya mendehem mendengar penjelasan Adrian yang sengaja ditutupinya. "Lo nggak usah bohong ama gue Dri. Gue udah denger waktu lo telfonan sama Veni saat di Shanghai." Fene berusaha tenang mengeluarkan ucapannya. Adrian tersentak berdiri gelisah dengan ucapan Fene barusan. "Fen..." "Sssssst.... Nggak usah takut, gue udah pernah bilang, kita jalani dulu senyamannya. Jangan memaksakan keadaan." Ucap Fene pada Adrian. Adrian lebih memilih menghindari Fene keluar dari ruangan, menata hati dan pikirannya yang gelisah akan ucapan Fene. 'Oooooh God... Gue udah merusak hati Fene.' Adrian meremas rambutnya, Merasa frustasi dengan kenyataan ini. Membuat hancur sahabat sendiri. Wajah Adrian seketika mengeras marah akan kejadian malam itu. 'Gue udah berlaku tidak adil kepada Fene.' Mata Adrian memanas, ingin berteriak dan menangis. Menyesali perbuatannya terhadap sahabat kecilnya Fene. Dikamar.... Fene hanya menahan sakit hati, sambil mecari hp di laci nakas agar bisa menghubungi Bram. Fene membendung air mata yang hampir jatuh dihadapan Adrian barusan. Fene wanita yang sangat cerdik, dapat menyembunyikan perasaannya. Walau kadang terluka. Jujur dia menyesali perbuatannya bersama Adrian. Ingat akan pesan Kevin, bahwa Kevin memberi itu bukan untuk menghabiskan waktu bersama Adrian, melainkan bersama Bram. 'Ooooh God....' bisik Fene dalam hati. 'Bodohnya gue...' Jerit Fene dalam hati. Tiba-tiba Fene mendengar langkah kaki dari luar kemudian membuka pintu kamar. Fene melihat Bram, Kevin, disusul Adrian berdiri dibelakang Kevin. "Haaaaiii..." Fene tersenyum berusaha bersahabat walau hati sedang tidak bersahabat. "Sweety..." Bram mencium puncak kepala Fene sambil memeluk Fene yang sedang bersandar dikasur rumah sakit dengan kondisi sedikit duduk. "Aaaaauuuh..." Fene menepuk bahu Bram. "Kenapa..?" Bram melepas pelukannya secara refleks. "Gpp... Cuma sedikit sakit." Fene tersenyum. "Aku fikir... Hmmm" Bram terdiam... "Gue fikir tersentuh lukanya." Lanjut Bram sambil mengedipkan matanya. Adrian melihat tingkah laku Fene dan Bram. 'Aku..' batin Adrian. Kevin hanya berdiri di bawah kaki Fene sambil tersenyum melihat Fene yang mulai membaik. "Dri.... Lo jadi ke Jakarta besok.?" Tanya Bram sambil berlalu menuju sofa ruangan kamar Fene. "Hmmmm.... Ntahlah." Adrian memilih diam. "Tenang, semua udah beres, dan Fene besok juga udah bisa pulang, dan kita bisa lanjut ke Paris." Senyum Kevin sambil melirik Fene. Wajah Fene berubaha seketika, dia berteriak spontan mendengar ucapan Kevin membuat bahunya tidak merasakan sakit lagi. "Seriiiooosly Vin." Rona bahagia di wajah Fene membuat dia berdiri mengejar Kevin agar bisa memeluknya. "Iya." Sahut Bram sambil menatap Adrian. "Aaaaaaaaaaaaaaaaa..." Fene menjerit memeluk Kevin dan berlari ke Bram yang tampak bahagia. "Misi selesai." Lanjut Kevin. "Oooooogh yeeeeees." Fene merangkul Bram berkali-kali mencium wajahnya tanpa memperdulikan Adrian yang tampak memaksakan agar bahagia, dengan seribu pertanyaan didalam hati. Mr. Alberth masuk ke dalam ruangan kamar Fene membawa beberapa bingkisan untuk pesta malam ini. "Cheeers...." Mereka berempat menyulang bir yang dibawakan oleh Mr. Alberth. Pria kulit hitam yang menggendong Fene saat di stasiun amsterdam. Wajah Fene sangat bahagia, saat mendengar candaan yang dilontarkan oleh Kevin dan Bram. Adrian sedikit gelisah, karena Fene tidak begitu menghiraukannya. Bram menarik tangan Adrian keluar, dengan alasan merokok di roftop rumah sakit. Bram dan Adrian berlalu meninggalkan Kevin dan Fene. Memastikan Fene untuk istirahat, yang dijaga oleh Kevin. Roftop... Bram menghembuskan asap rokok ke awan... Sambil mengusap bahunya karena merasa sangat dingin malam itu. "Lo ada hati sama Fene.?" Adrian mencoba memulai pembicaraan mereka berdua. "Jujur YA." Jawab Bram tegas. "Fene sahabat gue." Ketus Adrian. "Sahabat...??? Hemm... Sahabat yang bisa lo tidurin gitu.?" Geram Bram. Adrian terdiam, menatap Bram sinis. "Maksud lo.?" "Lo paham maksud gue Adrian, lo nggak bodoh kan.?" Tanya Bram sinis. "Gue hmmm..." Adrian tampak linglung dalam menahan emosinya. "Lo adik gue Adrian." Jelas Bram sinis. "Gue tau semua tentang lo dan Fene. Dalam diam lo memanfaatkan Fene. Beda ama gue Adrian." Tegas Bram. "Apa kalian saling mencintai tanpa spengetahuan gue.?" Adrian mencoba tenang. "Ya." tegas Bram menunjukkan kemarahannya pada perlakuan Adrian. "Lo yang licik Adrian, selalu mencuri waktu untuk Fene, tanpa lo anggap gue Adrian. Lo mempermainkan Fene, tanpa lo sadari lo nyakitin Veni" Tegas Bram. "Heeeeeiiii... Itu kecelakaan Bram." Tatapan Adrian memanas melihat Bram yang memojokkannya. "Oya,,, tapi apa...?? Lo udah nyakitin dua wanita dalam waktu yang bersamaan. Lo nyakitin sahabat lo Fene, lo nyakitin Veni yang jelas-jelas dia kekasih lo. Lo lupa, malam itu Fene nggak normal dri." Jelas Bram mencoba mengingatkan kejadian sebelum mereka ke Shanghai. "Jujur Kevin menghubungi gue, segera ke apartemen Fene malam itu, tapi di basemen gue lihat lo naik kerumah Fene." Kenang Bram. "Fene yang meminta." Adrian mencoba membela diri. "Gue nggak tau sama sekali kondisi Fene malam itu." Adrian menjelaskan kepada Bram. "Sekarang...??? Apa rencanamu.?" Tanya Bram. "Gue akan membawa Fene pulang." Bram bertepuk tangan sinis "Pulang kemana.? Swiss, or Jakarta.?" Adrian terdiam. "Fene urusan gue, lo silahkan tinggalkan Netherland, jangan pernah ganggu Fene lagi." Tegas Bram. "Ooooogh.... Hanya karna Fene kita begini Bram.?" "Ingat dri.... Lo udah gagal untuk menjaga Fene. Ingat itu." Wajah Adrian serasa tertampar oleh ucapan Bram barusan. "Silahkan pergi." Bram meninggalkan Adrian dalam kekesalan. "Tapi Bram, apa Fene tau tentang Mami dan Daddy.?" Langkah Bram terhenti. "Udah gue kasih tau." Sahut Bram sambil berlalu meninggalkan Adrian. Adrian berteriak diroftop sambil menangis kesal. Mengacak rambutnya, berlalu pergi meninggalkan rumah sakit malam itu. Adrian Moreno Lim... Adrian mengirim pesan ke nomor Fene... 'gue balik ke Jakarta, maaf telah menyakiti lo... Kabari gue kalau ada apa-apa. I love you fen.' Adrian berangkat ke Jakarta pagi itu di temani Kevin. Tapi setibanya dibandara Adrian malah menukar penerbangannya untuk mampir ke Paris. Bagi Adrian keamanan Fene sangat utama. Adrian sangat merindukan Fene. Batinnya. Adrian menunggu seseorang untuk menemaninya selama di Paris. Veni Smith... Yah... Veni yang akan menemani Adrian untuk berlibur di Paris. "Adrian..." Veni memanggil Adrian yang menunggunya di salah satu caffe bandara. Adrian tersenyum memeluk tubuh Veni. "I miss you girl." Rangkul Adrian. Mengecup bibir Veni. "Miss you too." "Kita ke ruang tunggu sekarang." Veni tampak sumringah setelah beberapa waktu tidak bertemu Adrian. "Oke..." Tiba-tiba hp Adrian berdering. Drrrrt... Drrrrt.... "Sebentar, Bram menelfon." Adrian menjauh dari Veni saat menerima panggilan Bram. "Ya..." "Hebat lo mengalihkan keberangkatan lo ke Paris. Apa lo lupa omongan gue tadi malam dri.?" Tanya Bram. "Gue membawa Veni untuk berlibur Bram. Tidak ada urusan ama lo." Adrian sedikit berbisik. "Oke... Gue akan pastikan Fene aman sama gue." Bram menutup telfon. Adrian menarik nafas dalam dengan kesal. Tiba-tiba Veni mengelus punggung Adrian dari belakang. "Adrian... Kamu kenapa.?" Tatapan mata Veni yang sendu, membuat Adrian tenang. "Hmmmm... Nggak apa-apa." Senyum Adrian sambil merangkul bahu Veni. Jujur Adrian masih ingin menghabiskan waktu bersama Fene, tapi kondisi saat ini sangat berbeda. Mereka harus segera berpisah. Selain masalah pribadi bersama Bram dan Fene, orang-orang Jack sudah mengetahui keberadaan mereka untuk menghabisi mereka satu per satu. 'Lebih baik begini, daripada situasi makin mengancam keselamatan sahabatnya.' batin Adrian. Bram Lincoln... "Bram... Adrian udah berangkat.?" Tanya Fene karena tidak melihat keberadaan Adrian. Bram sedikit kaget akan pertanyaan Fene kemudian mengambil hp Fene memasukkan ke jacketnya. Mengalihkan perhatian dan pertanyaan Fene. "Hmmmm.... Kita harus segera meninggalkan Netherland, Jack sudah mengetahui keberadaan kita. Cepat, sebelum mereka menemukan kita." Tarik tangan Bram untuk segera meninggalkan ruangan rumah sakit. Bram terus berlari kecil sambil menggenggam jemari tangan Fene membawa keparkiran yang sudah ditunggu oleh Kevin. "Move... Move..." Teriak Kevin. Membuat mereka berlari dengan cepat hingga memasuki mobil dan berlalu menuju Paris. Bram menarik nafas lega. Mereka sudah aman. Drrrrrt... Drrrrt... 'Mr. Alberth' "Bram... Saya sudah menyiapkan segala fasilitas selama di Paris. Selamat berlibur. Semua aman, dan dana sudah masuk kerekening Bram." Mr. Alberth menutup telfon. Bram berteriak senang. Sambil membuka rekeningnya. "Ooooooh.... Yeeees... Sweety.... Money money money..." Bram melihatkan rekeningnya, dan ternyata nilai sangat fantastis... Membuat mata Kevin dan Fene berbinar-binar bahagia. "Aku akan segera mengirim ke rekening Adrian dan lo Kevin." Bram membagi rata kerekening sahabatnya, tapi tidak untuk Fene. 'Fene sangat spesial' bisik Bram. Sambil tersenyum sinis devil. Fene hanya menikmati perjalanan mereka menuju Paris. Tidak terasa sudah larut malam, Fene terjaga dari tidurnya. "Vin... Lo masih bawa barang spesial kemaren.?" Fene mengusap pelan mata indahnya. Cuaca sangat dingin membuat Fene terus mengusap-ngusap tangan ke pipinya. "Gue nggak mau ngeracunin lagi, inget kata Adrian, jangan jadi pencandu biar kaya. Hahaha..." Tawa Kevin begitu lepas, diikuti oleh Bram. Fene melihat supermaket, meminta Bram untuk menghentikan mobilnya. "Bram... Aku lapar." Fene mengelus dada Bram dari belakang. Seketika Bram menepi, dan memarkirkan mobil didepan supermarket untuk beristirahat sejenak. Fene berlari kedalam, karena merasa sangat dingin, 'semoga didalam pemanasnya menyala.' bisik Fene. Bram meminta Kevin membelikan expreso agar tetap segar matanya sepanjang perjalanan. Tanpa sengaja Bram mengeluarkan hp Fene dari saku jacketnya, melihat beberapa pesan. Ternyata Adrian beberapa kali menelfon Fene dan mengirim pesan dengan kata-kata love. 'sialan itu bocah, masih saja mengirim cinta-cinta' batin Bram. Bram tidak pernah mengerti akan pribadi Fene, kenapa dia tidak peka terhadap lawan jenis, kenapa dia seperti tidak peduli akan perasaan aku dan Adrian. "Heeeeeiii... Melamun mister.?" Goda Kevin sambil memberi kopi pesanan Bram. Bram tertawa, sambil membuka kursi untuk Kevin. "Fene dimana.?" "Toilet. Mau nyusul.?" Ledek Kevin. "Gila lo..." Wajah Bram tersenyum seketika. Tak lama mereka ngobrol, Fene berlari mendekati Bram dan Kevin sambil terengah, Fene menunjuk situasi dalam supermarket. Membuat Bram dan Kevin bertindak cepat untuk meninggalkan supermarket. Tanpa sadar Bram meninggalkan hp Fene diatas meja supermarket. Orang-orang Jack kehilangan Bram, Fene dan Kevin. Tapi tidak hp Fene. Paris... "Gue ada janji kecan bersama Nichole. Kalian disini dulu yah. Nanti hubungi gue aja." Kevin berlalu meninggalkan Bram dan Fene. Fene mencari-cari hpnya, dari kemaren tidak nampak. "Bram... Hp ku dimana yah.?" Tanya Fene panik. "Hmmmm...." Bram coba mengingat, ternyata "shiiiiit..." "Fen... Hp mu ada data kita.?" Tanya Bram panik seketika. "Ya adalah, Kevin mengirimkan data semua pada ku dari Jakarta, Shanghai, dan Netherland. Kemaren aku lihat terakhir ada yang masuk, tapi aku lupa. Atau tinggal di rumah sakit yah Bram.?" Bram hanya terdiam mencoba menghubungi operator untuk memblokir semua data di hp Fene. Tapi sayang, semua sudah di ketahui oleh Jack tanpa sepengetahuan mereka. "Kita kemana Bram hari ini.? Apa kamu ada janji seperti Kevin bersama gadismu.?" Ledek Fene. Bram mendekat kan wajahnya kewajah Fene, tanpa terasa sudah hanya berjarak beberapa senti. Tangan Fene berusaha menahan, tapi tidak dengan Bram. Berusaha mencium bibir Fene yang sudah ada dihadapannya. "Hmmmm Bram." Fene berusaha menahan tangan Bram yang sudah membuka kancing bajunya. "Kenapa...?" Bram terus menciumi wajah Fene hingga leher Fene. Fene sangat menikmati ciuman Bram yang penuh kelembutan walau sedikit liar. Fene menahan tangan Bram yang sudah hampir membuka bajunya "Stop, aku belum siap Bram." Ucap Fene lembut. "Why... What about Adrian.?" Bram menghentikan seketika karena membayangkan wajah Adrian. "Tapi kenapa dia belum menghubungi ku Fen.?" Fene berlalu meningglakan Bram untuk mengambil beberapa makanan di dalam kulkas apartemen mereka. "Halo Adrian." "Ya..." Jawab Adrian lemas. "Lo nggak jawab wa terakhir gue, jangan bilang lo lagi bulan madu bersama Veni." Kekeh Bram. "Gue lagi menikmati masakan kekasih kok." Jelas Adrian. "Makasih, semua udah gue terima, gue tunggu lo di rumah. Home sweet home Bram." Adrian memutuskan percakapan mereka. Bram hanya tersenyum sambil melirik reaksi Fene. "Adrian dan Veni di Swiss.?" Tunduk Fene. "Ya... Kita akan segera kesana." Pujuk Bram. Mata Fene terasa memanas tidak bisa membendung air matanya. "Cinta itu sakit yah Bram.?" Bram memeluk tubuh Fene erat, "Cinta itu indah, jika bersama orang yang tepat Fen." "Bram..." Fene memeluk erat tubuh Bram, menangis sesengukan hingga bahunya bergetar. "Heeeeiii.... Fen... Gue disini buat lo. Buat kita." Bram mengusap pelan punggung Fene. Berharap Fene tidak larut akan semua ini. "Gue salah Bram...." Tangis Fene makin keras. "Nggak ada yang salah.... Kevin yang salah..." Hibur Bram mencari kambing hitam. Fene mengusap air matanya seketika sambil tersenyum. "Iya, Kevin biangnya." Tawa Fene. "Gitu dong, jangan nangis... Semua kejadian ada hikmahnya. Gue tau Adrian. Dia tidak akan meninggalkan Veni." Pujuk Bram. "Ya, aku tau... Adrian sangat mencintai Veni." Jawab Fene sendu. Bram tersenyum lirih, membuat otak mesumnya bekerja walau sedikit kotor tapi Bram tidak mau kehilangan kesempatan bersama Fene. "Jadi sebenarnya kamu cinta sama Adrian.?" "Gue tu nyaman doang Bram, kayak sama lo, Kevin. Jujur Adrian type gue, tapi gue bingung membedakan cinta atau butuh." Jelas Fene. "Fen... I love you." Bram menatap mata Fene lekat. Seketika pipi Fene berubah menjadi merah merona. Tersipu malu senyum-senyum menatap mata Bram. "Lo yakin.?" Fene meyakinkan Bram. "Gue yakin Fen." "Gue nggak peka Bram, gue nggak baik, dan gue nggak bisa membedakan hubungan ini sebenarnya." Fene tertunduk. "Ditambah gue...." Fene makin menunduk. "Kamu wanita baik, dimata aku, Kevin, Adrian, Mami. Aku yakin, Aku cinta sama kamu, fen." Bram menangkup wajah Fene dengan kedua tangannya mencium bibir Fene kembali. Saat ini agak sedikit liar karena tadi agak drama. Fene tidak bisa menolak lagi, Fene sangat menikmati ciuman Bram, perlahan sentuhan Bram berubah menjadi gairah, gairah panas dibalur cinta mereka seperti sedang merekam desahan Fene di tiap sudut kamar apartemen. Bram tidak melewatkan sedetikpun masa indahnya pada tubuh mulus Fene. Berkali-kali Fene mendesah, sedikit menjerit manja merasakan kenikmatan. Begitu besar perasaan Bram terhadap Fene, Bram mencintai Fene, sangat mencintai dan benar-benar ingin memiliki Fene seutuhnya. Fene terjaga menatap wajah Bram yang berada disampingnya. Bram membuka matanya, sambil melihat wajah cantik Fene. Mengelus luka yang ada dibahu Fene, masih ditutupi plaster. Bram menciumi wajah Fene berkali-kali. "I love you Fen... kamu wanita hebat." senyum Bram. "Hmmmm... kamu juga hebat, membuat aku lebih nyaman." kecupan lembut Fene mendarat kebibir Bram. Tanpa mereka sadari Kevin sudah kembali dari kencannya membawa Nichole ke apartemen mereka. "Bram... Gue hitung ampe tiga, keluar atau gue dobrak ni pintu yah." Kevin ternyata menghabiskan waktu bersama Nichole asyik bermain game ala mereka. Fene hanya tertawa didalam kamar mendengar racauan Kevin. Sambil menikmati pelukan dan gendongan Bram menuju kamar mandi untuk mandi bersama. 'ternyata Bram lebih mesum dari Adrian.hahaha.' "Haiiii...." Bram keluar dengan senyum sumringah. "Hmmmmm...." Kevin mendekati Bram. Kevin melihat wajah bahagia Bram... "Seneeeeeng lo..." Ledeknya. Kevin mendekat menunjukkan sesuatu yang dikirim seseorang melalui hp Fene. Bram terdiam seketika. "Gue udh memblokir semua data Fene. Apakah terlambat.?" Mata Bram dam Kevin saling menatap. Tanpa ada tanda-tanda suara sniper dari kejauhan menembus kaca mengenai Nichole yang baru berdiri mendekati Fene. Fene berteriak seketika menyambut tubuh Nichole. "Braaaaaaam awas..." Teriak Fene. Suara tembakan dari gedung sebelah memporak porandakan seketika ruangan apartemen mereka. Kevin bersembunyi dengan membalikkan meja, sambil menyeret Nichole dan Fene berada dibelakang Kevin. Bram berlari kekamar mengambil senjatanya. "Vin, hp lo mana. Hubungi Adrian." teriak Bram. Kevin seketika mengeluarkan hp dan menghubungi Adrian memberi telfon kepada Fene. "Ya Vin..." "Dri... Gue, Fene. Kita diserang lagi." "What... Kalian dimana.?" "Kami di Paris, Nichole teman Kevin luka parah." Jelas Fene. "Kirim lokasi kalian." Dengan cepat Fene mengirim lokasi mereka kepada Adrian. Bram segera menghubungi Mr. Alberth. Agar mensterilkan suasana di apartemen yang cukup lama mendapat bantuan. Nichole kehilangan kesadaran sehingga Kevin menghubungi 911 segera. Adrian datang dalam hitungan menit, membuat mereka bertanya-tanya. "Lo di Swiss atau di Paris.?" Tanya Fene kaget. Adrian hanya tersenyum cool ala pembunuh berdarah dingin. "Dimana kalian berada, gue selalu disitu." Sahut Adrian sombong. "Speachles gue lo ada disini." Senyum Bram menatap Fene yang shok atas kejadian hari ini. Kevin sedang mengatasi polisi memberi laporan palsu atas penembakan Nichole. Agar polisi tidak mengetahui siapa mereka sebenarnya. Menyiapkan identitas palsu yang sudah disiapkan oleh Bram sejak awal. "Kalian tidak aman disini. Ikut gue saja. Veni ada disini." Adrian menatap Fene melihat reaksi Fene. Fene tersenyum sambil memeluk Adrian. "You my best brother." Fene membendung airmatanya agar tidak menangis, mengusap punggung Adrian kemudian melepaskannya. Adrian mengusap kepala Fene, sambil tersenyum memandang Bram. "He belongs to you my brother." Adrian memeluk Bram. Paris ke dua... Adrian memilih berlibur disuatu desa diparis. Bersama Veni. Karena kejadian penyerangan itu Adrian lebih memilih menyelamatkan semua sahabatnya. Agar dapat berkumpul bersama lagi di Swiss. "Gimana keadaan Nichole Vin.?" Tanya Adrian. "Sudah membaik... Gue udah ngabarin kekeluarganya untuk segera menjaga Nichole, dan jika sembuh segera menyusul kita." Jelas Kevin. "Syukurlah. Sebab pekerjaan kita akan lebih berbahaya lagi setelah ini." Jawab Bram. "Mr.Mark mengancam Edward." Kata-kata Bram menghentikan aktifitas makan malam mereka. "Mark.?" Darah Fene mendesir seketika. "Ya Mark... Dia telah menemukan data kita." Jelas Kevin. Fene terdiam...'Apakah itu Papi.?' Perasaan Fene menjadi tak tenang seketika. Mencoba mengingat bisnis Papi selama di Swiss. "Siapa nama keluarganya.?" Fene bertanya pada Bram. "Gue nggak kenal justru, tapi dia mengetahui semua data kita." Fene hanya terdiam sejenak sambil mendengar perbincangan sahabatnya malam itu. Mengalihkan pikiran, akan kerinduan pada keluarganya. Keesokannya.... Veni mengajak Fene untuk berjalan-jalan menikmati suasana pagi didesa kecil itu. Sambil memesan susu coklat hangat kesukaan Fene. "Lo udah jadian sama Bram Fen.?" Sambil mengusap-usap tangannya yang dingin. "Penting yah.?" Senyum Fene. "Hmmmm... Setidaknya memberikan ketenangan buat gue dan Adrian. Secara Bram juga sama kayak lo, nggak suka pacaran." Tawanya. "Nikmati aja Ven, yang penting komitmen." Fene menatap mata Veni. "Ooogh.... Semoga kalian tetap selalu bersama. Gue doain." Senyum Veni. Tidak lama Fene dan Veni saling bercerita, mereka dikagetkan dengan kehadiran Adrian. Sambil menarik tangan Fene, "Ven, sebentar aku ada urusan sama Fene." Veni hanya tersenyum melihat Adrian berlalu tanda setuju. Adrian menarik tangan Fene agar sedikit menjauh dari Veni. Jantung Fene berdegub kencang sambil melihat bibir Adrian yang akan mengeluarkan pertanyaan serius. "Mark Claire Zurk itu Papi kan Fen.?" Bola mata Fene membesar. "Mm... mmaksud lo dri.?" "Papi ternyata otak penyerangan kita beberapa hari ini, di Netherland dan Paris. Jack adalah orang bayaran Papi." Fene menutup bibirnya tidak percaya. "Dri... Gue tau Papi, dan nggak mungkin Papi mau membunuh kita semua dri. Gue anaknya. Anak kandungnya." Jelas Fene. "Daddy akan menyusul kita besok ke Swiss, dan kita semua akan berangkat ke Swiss hari ini juga." Fene hanya mengangguk, melihat Adrian berlalu menggandeng tangan Veni. Sangat perih terasa. Tobe continue....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD