#2 : Jiwa Yang Hilang

981 Words
Lagi-lagi suara pintu yang berdenyit berhasil menyadarkanku dari lelap. Ingatan tentang rentetan kejadian mengerikan yang menimpa Ethan tiba-tiba muncul. Seperti adegan film yang berulang. Bak kaset lama yang kemudian berhenti berputar, lalu rusak. Namun bedanya, ketika netra biru--kurasa aku mendapatkan warna mata ini dari orang tua kandungku yang disebut-sebut memang keturunan Eropa asli--ini terbuka lebar, tak ada siluet di sana. Tidak ada bayangan dari sosok manusia lain, karena aku dapat melihatnya dengan sangat jelas sekarang. Itu Detektif Jake. Dan jika ada yang bertanya bagaimana aku dapat mengetahui nama dari seorang polisi yang sama sekali tidak kukenal, karena dia bahkan baru muncul setelah aku menelpon 911, adalah karena papan nama kecil yang dikaitkan pada seragamnya yang sudah kekecilan. Entah karena tubuhnya yang terus melebar sebab dipenuhi lemak atau karena sang istri lupa memberikannya seragam yang pas, pria dengan rambut hitam keabu-abuannya itu sungguh terlihat berantakan dan tidak enak dipandang sekarang. "Maaf mengganggumu, Mrs. Arabelle," ucapnya setelah bokong besarnya mendarat sempurna di atas permukaan kursi yang keras. Ia tampak tidak nyaman karena luas kursi tak dapat mencakup keseluruhan bokongnya dan butuh waktu beberapa saat sampai akhirnya pria itu benar-benar merasa aman dengan masalahnya itu. Tangan besar berbalut jam Rolex mahal--sepertinya Detektif Jake mendapatkan benda itu sebagai hadiah atau semacamnya, karena terlihat bahwa ia bukanlah tipe orang seperti itu--kemudian bergerak meletakkan sebuah map besar ke atas meja, di hadapanku. Kini aku terjebak bersama pria gendut berwajah khas keturunan Amerika Latin dalam sebuah ruangan kecil yang didominasi oleh cat dinding berwarna abu-abu. Beberapa lapisan temboknya sudah terkelupas, tapi tampak seperti bukan masalah besar. Kudengar jika tempatku berada sekarang adalah ruang interogasi di kantor kepolisian New York. Ya, aku sungguh dimasukkan ke dalam deretan tersangka pada kasus kematian mantan suamiku sendiri. "Apakah aku harus memanggilmu Ivana?" Dia amat suka berbasa-basi. Gerak-geriknya terkesan santai, tapi raut wajahnya selalu serius. Ia bahkan tidak pernah sekalipun menyunggingkan senyum kepadaku, sekalipun dengan tujuan menjaga 'kesopanan'nya di depan warga sipil atau memberi kesan ramah, ia memilih untuk tidak melakukannya. Atau mungkin, pandangannya terhadapku sudah terlanjur berbeda. Ia kepalang basah melihatku sebagai tersangka pembunuhan dari seorang pria, alih-alih melihatku secara objektif sebagai seorang saksi dari kasus tersebut. "Apapun. Aku tidak peduli juga," balasku seadanya. Mereka bilang namaku memiliki dua arti yang sama-sama baik. Ivana yang artinya hadiah dari Tuhan, sedangkan Arabelle berarti cantik. Orang tua angkatku lah yang memilihkan nama itu. Bahkan dari sebuah nama saja, aku bisa langsung menebak bahwa mereka berdua sangat bersyukur bisa menemukanku saat itu, yang tentu berbeda dengan kedua orang tua kandungku yang bahkan memilih untuk memperlakukanku seperti sampah. Aku ditinggalkan, dibuang, dianggap tidak pernah ada di dunia yang keras ini dan mereka tidak akan peduli sekalipun aku mati karena kedinginan di depan panti. Detektif Jake menggaruk tengkuk lehernya yang sama sekali tidak gatal sebelum kemudian membuka suara. "Terima kasih karena kau sudah bersikap koperatif selama penyelidikan kasus ini berjalan." Lihat, dia berbasa-basi lagi. Mengapa tidak langsung ke inti pembicaraan saja? "Apakah kau sudah bertemu dengan Dr. Maria?" "Wanita dengan rambut merahnya yang mengerikan?" Tampaknya sikapku yang balik melempar pertanyaan membuatnya sedikit kesal. Ia lantas menggeleng pelan. "Kurasa itu tidak mengerikan. Anak-anak muda sepertimu biasanya akan menyebut itu keren atau semacamnya," katanya. "Itu disebut gaya." Namun bagiku tidak. Wanita dengan pakaian serba putih berbalut jas berwarna senada telah menghujaniku dengan beberapa pertanyaan yang membingungkan. Entah karena dirinya sungguh ingin menemukan jawaban atau membuatku tersesat dalam pertanyaan-pertanyaan, di mataku wanita itu tetaplah mengerikan. Gaya rambutnya norak. Merah adalah warna yang sangat tidak cocok digunakan untuk usianya yang kuperkirakan sudah memasuki tahun ke 50 awal. Tubuhnya tinggi tetapi kurus, tampak seperti kekurangan nutrisi, eh? "Kau tetap akan mengikuti persidangan meski wanita dengan rambut mengerikan itu berkata kau tidak bisa," lanjut Jake. "Hukum akan terus berjalan." Agaknya sikapku yang memilih diam membuatnya langsung mengerti. Pria dengan kumis tebal kecokelatannya itu lantas membuka map di atas meja dan mendorongnya ke arahku. "Keluarga dari pihak Ethan Brown telah menuntutmu, sebagai tersangka." Alisku naik dengan cepat, tidak percaya. Kemudian kusipitkan mataku dan kutatap kedua mata Jake lurus-lurus, meminta kebenaran. "Aku dituntut oleh keluarga Ethan?" Detektif Jake menganggukkan kepalanya dengan berat hati. "Tapi aku sungguh tidak membunuhnya." "Aku tidak bisa melakukan apapun dengan itu." "Lalu, sekarang apa?" "Persidangan akan dimulai besok." Rasanya tubuhku akan merosot ke lantai sekarang. Tiba-tiba saja seluruh bagian dari sel terkecil yang hidup di dalam diriku melemah, tak berdaya. Kepalaku bahkan berdenyut nyeri, pandanganku seolah mengabur dan berbayang. Apakah ada gempa, pikirku. Sampai kemudian suara berat milik seorang detektif paruh baya di hadapanku menepis semua dugaanku. "Kau baik-baik saja, Mrs. Arabelle?" Sepertinya tidak. Karena aku mulai merasa dadaku sesak. Rongga-rongga di dalam saluran pernapasanku seolah menyempit. Aku kehabisan oksigen. Mulutku mulai terbuka, berusaha menarik udara dalam atmosfer yang sama agar bisa bertahan sedikit lebih lama. Tanpa sadar, kedua tanganku sudah berpegangan pada sisi-sisi meja, mataku menengadah ke atas karena rasanya menyakitkan. Kudengar suara Detektif Jake yang meninggi di sana. Tidak terlalu jelas, samar-samar, tapi aku tahu dia berusaha memanggil namaku. "Mrs. Arabelle! Mrs. Arabelle, bertahanlah!" Netraku yang mulai kehilangan fokus menangkap pemandangan panik yang dialami oleh Detektif Jake. Kedua tangannya mulai membantuku terlepas dari meja, membuat kedua tanganku berpindah ke titik yang menyakitkan; dadaku sendiri. Aku berusaha berteriak, tapi satu-satunya yang terdengar di sana hanyalah rintihan kesakitan. Apakah ini yang disebut dengan serangan jantung? Apakah aku akan mati sekarang? Apakah aku akan mati, karena aku bahkan tidak membunuh Ethan? Sial. Aku baru saja menerima kebebasanku setelah bertahun-tahun ditindas dan disika oleh pria berengsek itu. Bagaimana bisa aku mati sekarang? "Mrs. Arabelle!" Suara detektif Jake terdengar lebih cemas dari sebelumnya. Terutama saat kusadari bahwa tubuhku yang sudah lemas ini terhuyung jatuh, meninggalkan kursi yang kokoh dan langsung menabrak lapisan lantai yang sangat dingin. Aku merasakan sakit di wajah saat tubuhku benar-benar terjatuh di sana. Namun untuk mengatakan apa yang kurasakan saat itu, semuanya terlalu sulit. Dan pada detik selanjutnya, mataku terpejam. Hening menyapaku dan duniaku benar-benar berubah setelah kejadian hari itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD