Chapter 3

901 Words
Ivi " LOH KAMU LAGI?!" Mataku yang awalnya masih sayup-sayup, langsung terbuka begitu melihat ada laki-laki berdiri tidak jauh dariku. " Siapa sih?" Aku mengucek mata sekali lagi. " Loh? Dokter?!" Kali ini rasa kantuk yang tadi masih menyerang langsung hilang tak berbekas. " Kita ketemu lagi." Katanya pelan dengan wajah datar seperti bisanya. " Tadi ada paketan buat saya?" Tanyanya kemudian. " Hah?" " Paketan." " Paketan apa?" " Tadi ada kurir pengantar paketan?" Aku berpikir sejenak. " Oh iya ada. Ada di dalam." Spontan aku membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan masuk. Dalam hati aku masih bingung. Maksud dia, paketan tadi milik dia, gitu? " Ini bukan?" " Iya, itu paketan buat saya." " Maaf, sudah saya buka dok. Saya kira itu buat saya." Aku meringis sambil meletakkan paketan yang beberapa jam lalu baru aku terima. " Terimakasih." Ucap dokter itu sambil berdiri kemudian beranjak pergi. Aku melongo. Udah, gitu aja? " Dok, bentar!" Dokter itu, eh siapa sih kemarin namanya, Ravi bukan? Iya kayaknya Dokter Ravi. Pokoknya dia berhenti. " Udah, gitu aja?" tanyaku begitu aku berjalan mendekat kearahnya. Dokter Ravi hanya mengerutkan alis seolah bertanya " Memangnya apa lagi?" " Dokter nggak marah, peketannya udah saya buka?" " Kenapa harus?" " Dokter nggak heran kenapa paketannya bisa nyasar ke apartemen saya?" Dia menggeleng. " Dokter nggak penasaran, kenapa saya ada disini?" dia mengedikkan bahu lalu beranjak pergi lagi. Aku diam mematung kemudian mengerjapkan mata berkali-kali. Dia manusia bukan sih? " Dokter!" Aku berlari keluar untuk mengejar Dokter Ravi. Sebentar, kalian merasa ada yang aneh nggak sih? Kok bisa ya, ada manusia yang seperti itu? " Ada apa?" " Kita tetanggan loh." Kataku begitu Dokter Ravi bersiap masuk apartemennya. " Lantas?" " Woah!" aku berkacak pinggang terheran-heran. " Memangnya kaya gini ya, cara dokter menyambut tetangga baru?" " Kamu perlu acara penyambutan?" " Bukan gitu juga. Ya maksudnya---" Kalimatku tercekat di tenggorokan. Aku benar-benar nggak habis pikir dengan dokter satu ini. " Maksudnya?" Tanyanya membeo. " Eeee, itu... Tau ah!" Aku balik badan kemudian langsung masuk apartemen dan menutup pintu agak keras. Brak! Dasar sakit jiwa. Ada gitu, manusia setidak peduli itu dengan orang lain? *** Ravi Brak! Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum begitu melihat Ivi kesal dan membanting pintu. Memang enak, dikacangin? Karena bagaimanapun juga, dikacangin lebih baik daripada dilupakan. Dilupakan? Hm... Aku masuk apartemen dan meletakkan paketan dimeja. Aku duduk di sofa ruang tamu dan merebahkan punggungku sejenak. Belum ada dua menit aku memejamkan mata, pintu apartemenku diketuk dari luar. Detik berikutnya bel berbunyi beruntun. Aku berdiri dan beranjak melihat ke monitor kecil samping pintu. Bibirku terangkat keatas begitu melihat Ivi berdiri di luar. Krek! " Ada apa?" tanyaku dengan mimik wajah yang kubuat sedatar mungkin. " Buat dokter." Dia menyerahkan sebuah kotak padaku. " Ini apa?" " Ya dibuka biar tau." Balasnya dengan nada sedikit ketus. Aku menerima kotak berukuran sedang kemudian membukanya. " Donat?" Ivi mengangguk. " Buat saya?" " Siapa lagi? Tapi nggak usah kepedean. Ini buatan mama, katanya buat siapapun tetangga baru saya disini." " Oh begitu. Terimakasih." Aku tersenyum sekilas. Ivi diam sambil mengamatiku dari atas sampai bawah. " Kenapa? Ada yang salah?" " Nggak. Nggak papa." " Kalau begitu saya masuk dulu." " Bentar!" " Ada apa lagi?" " Dokter memang begini ya kesemua orang?" " Maksud kamu?" " Sedatar dan sejudes ini." Enggak Vi, sama kamu aja aku kaya gini! Aku diam tidak berniat menjawab. " Ya sudah, saya permisi dok." Ivi balik badan dan bergegas menuju apartemennya yang hanya berjarak sepuluh langkah dari tempatku berdiri saat ini. " Vi!" Ivi berhenti begitu aku memanggilnya. " Ha?" Ivi balik badan dan matanya melebar. " Dokter manggil saya?" " Nama kamu Ivi bukan? Atau saya salah?" " Dokter tau nama saya?" " Dari Risa." " Oooh." " Makasih, donatnya." " Sama-sama." Aku masuk lagi ke apartemen setelah Ivi terlebih dulu masuk ke apartemnnya. Entah kenapa aku tersenyum hanya karena melihat kotak donat yang aku bawa ditangan kananku. *** Ivi Aku tersenyum puas di depan cermin begitu pagi ini aku siap berangkat kerja untuk kali pertama. Aku berdoa, semoga hari ini dan seterusnya berjalan dengan lancar. Rasanya udah nggak sabar untuk bertemu dengan para mahasiswaku nanti. Aku benar-benar merindukan diskusi dengan banyak orang. Saling tukar pikiran dan menyuarakan pendapat. Ah, aku benar-benar tidak sabar untuk itu. " Selamat pagi pak!" Aku menyapa salah satu petugas cleaning service yang saat ini sedang menyiram tanaman yang berjajar rapi disepajang jalan menuju parkiran. " Selamat pagi juga mbak. Penghuni baru ya? Kok saya baru lihat." " Iya pak, unit 717." " Loh, mbaknya tinggal di unit 717? Apa mbaknya ini calon istri Dokter Ravi ya?" " Ha?" " Kamar 717 kan tempat tinggalnya Dokter Ravi mbak." " Loh---" " Selamat pagi Pak Anton!" Aku ikut menoleh ketika petugas cleaning service itu menoleh. Dokter Ravi datang dengan setelan rapi siap berangkat. " Wah, selamat pagi juga, Mas Ravi. Mau berangkat?" " Iya pak. Mari..." Dokter Ravi tersenyum sangat ramah kemudian berlalu melewati kami. Aku terdiam. Loh, ini dokter bisa tersenyum seramah itu ya? Kenapa di depanku dia berbalik seratus delapan puluh derajat? " Mari pak, saya juga mau berangkat. Keburu telat." Akhirnya aku ikut-ikutan pamit. " Oh iya mbak, silahkan." . . " Mas Ravi! Calon istrinya sangat cantik!" bapak itu tiba-tiba berteriak cukup kencang. Aku menoleh sejenak begitu mendengar kalimat itu. Aku celingukan mencari apakah ada perempuan lain selain diriku. Ternyata tidak ada. Tidak ada perempuan selain diriku. " Jadi bapak itu ngira kalau aku calon istri si manusia kaku itu? Diiih! Amit-amit." Aku bergidik ngeri membayangkan hal yang sangat mustahil itu. Tin!!! Aku berjengit mundur dua langkah begitu kaget mendengar bunyi klakson tiba-tiba. " Biasa aja! Nggak usah pake ngagetin!" Sewotku saat melihat orang yang ada di dalam mobil itu adalah si manusia kaku. Siapa lagi kalau bukan Dokter Ravi? " Minggir, jalannya mau buat lewat." Aku mendengus sambil minggir ke samping. " Lain kali jangan di tengah jalan." Ucapnya datar sebelum mobil putihnya melewatiku. " Dasar WAJAH TEMBOK!" makiku kesal. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD