Bankrupt

1657 Words
"k*****t!" Leonel menendang kursi di ruang kerjanya hingga kursi itu terjungkal. Wajah pria itu tampak suram, rahangnya mengeras dan sorot matanya yang biru nyaris menjadi lautan api. "Pecat manajer keuangan dan investigasi seluruh departemen keuangan. Hubungi tim audit Johanson Corporation," titahnya kepada Mario sekretarisnya, nadanya penuh tekanan amarah melalui sambungan telepon. Bukan hanya berita skandal seorang aktor yang membuatnya terancam kehilangan banyak uang, ia juga menemukan banyak kejanggalan pada laporan keuangan di perusahaan yang telah tujuh tahun ia pimpin. Leonel Johanson, pria dengan manik mata biru seindah samudera itu adalah salah satu pewaris kekayaan keluarganya di London. Ia berkuasa penuh atas Glamour Entertainment, salah satu aset milik keluarga Johanson. Glamour Entertainment adalah sebuah agensi yang menaungi banyak model dan artis papan atas. Bukan hanya itu, ia juga memiliki sebuah rumah produksi, ada banyak film layar lebar yang sukses besar di pasaran di bawah kepemimpinannya. Leonel adalah tipe pria santai yang sedikit bekerja, tetapi banyak menghasilkan uang. Sedikit berpikir, tetapi harus berhasil. Pria itu bahkan memiliki moto yang tergolong unik di dalam hidupnya yaitu : Santai itu perlu, malas itu wajib. Setelah puas berkhotbah panjang lebar memarahi sekretarisnya dan beberapa orang yang dianggap tidak kompeten, Leonel duduk di depan dan menghidupkan laptopnya. Ia menggigit bibirnya yang tampak merah jambu sambil mata birunya fokus ke arah layar di depannya. "b******n!" umpatnya lagi. Pria itu baru saja membuka berita di internet tentang aktor yang ia bayar dengan harga fantastis untuk membintangi film yang ia produksi, pria itu mengakui jika telah mencabuli anak di bawah umur karena di bawah pengaruh ganja. "Bodoh! Kau harus bertanggung jawab atas semua ini!" Tinjunya melayang ke atas meja kayu di depannya. "Benar-benar sialan! Terkutuklah kau!" Di dalam hidup Leonel, ia tidak pernah menduga jika ia akan mengalami kebangkrutan seperti ini, kepala departemen keuangan menggelapkan uang perusahaan yang tidak sedikit dan filmnya terancam tidak laku di pasaran padahal biaya pembuatan film itu tidak sedikit. Pengambilan latar film di ambil di pegunungan Nepal, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk membawa kru dan para pemain film ke sana. Bukan hanya itu saja, mereka juga harus membawa rombongan tim medis karena medan yang menjadi tempat pengambilan gambar sangat ekstrem, jurang-jurang yang menganga, hamparan salju dan cuaca yang tidak menentu mengharuskan tim pembuat film menyediakan peralatan medis yang benar-benar memadai karena hal itu mungkin saja di perlukan sewaktu-waktu. Sekarang semua pekerjaan yang memakan waktu hampir dua tahun itu sia-sia. Selama kurun waktu itu begitu banyak dana yang di selewengkan oleh kepala bagian keuangan dan semua yang di kerjakan juga sia-sia saja karena Lonardo, aktor termahal di dunia perfilman di Hollywood saat ini mengakui dengan mudah kebejatan yang telah ia lakukan. "Apa kau tidak bisa membungkam berita untuk sebentar saja?" Leonel menggerutu. "Dasar manusia tidak berguna!" Leonel mematikan laptopnya lalu bangkit dari duduknya, ia ingin mencabik-cabik wajah Lonardo menggunakan tangannya sendiri. Tetapi, itu tidak mungkin. Ia melangkah menuju pintu, yang ia inginkan sekarang adalah bersantai. Bagaimanapun ia berpikir keras, otaknya tidak akan bekerja. Mungkin bersantai di tepi pantai bersama salah satu model di agensinya bisa membuat pikiran lebih rileks. Di dalam mobil Leonel memanggil Rebecca, salah satu model favoritnya yang telah berulang kali ia tiduri dan gadis itu juga dengan senang hati memberikan tubuhnya untuk dinikmati oleh bosnya. Tentu saja sebagai gantinya adalah transaksi kontrak pekerjaan bernilai jutaan Poundsterling. Sepuluh menit kemudian Rebecca telah duduk di kursi belakang mobil bersama Leonel menuju West Wittering, Sussex. "Kau yakin kita akan menuju Sussex?" tanya Rebecca sambil melepas sepatunya. "Tentu saja, kau keberatan?" Leonel menaikkan sebelah alisnya. Rebecca menyeringai. "Bagaimana pekerjaanku?" "Mario akan memberitahu manajermu, dia akan mengurusnya." Leonel menyingkap kain di punggung bawah Rebecca, telapak tangannya mengelus kulit halus gadis itu. "Aku tidak membawa bikini," erang Rebecca. "Kau tidak memerlukan itu, lagi pula jika kau menggunakan bikini, aku juga pasti akan membuangnya," ucap Leonel sambil meraih tubuh Rebecca membawanya ke pangkuan. Rebecca mengerang begitu bibir Leonel berada di lehernya. Mencumbuinya seperti biasa, pria tampan itu membuat Rebecca menggeliat. Menginginkan lebih. "Berikan bibirmu padaku," geram Leonel. Rebecca dengan patuh memberikan bibirnya kepada Leonel membiarkan pria itu menggodanya, mengisap bibir Rebecca dengan cara yang teramat sangat ahli, mendorong kan lidahnya masuk ke dalam rongga mulut gadis itu, membelainya hingga erangan-erangan kecil tertahan di tenggorokannya. Sementara tangan Leonel dengan sangat ahli telah menanggalkan seluruh kain yang menempel di tubuh Rebecca. Membuat tubuh Rebecca tersaji di depannya dengan begitu nyata.  Ia mencicipi setiap jengkal tubuh Rebecca menggunakan lidahnya hingga gadis itu melenguh karena nikmat. "Puaskan aku," ucap Leonel dengan nada memerintah. Rebecca membuka ikat pinggang Leonel, membuka ritsleting lalu menarik celana yang di kenakan pria itu. Membelai sebuah benda yang telah mengeras lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Mereka melakukan di dalam mobil yang melaju membelah jalanan kota London menuju Sussex dengan tenang karena mobil yang di gunakan Leonel di lengkapi dengan sekat pembatas sopir dan penumpang. Leonel hanya cukup menekan tombol untuk memberikan perintah kepada sopirnya jika ia memerlukan atau hendak menginstruksikan  sesuatu. "Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu," ujar Rebecca sambil menggulung rambut pirangnya yang panjang. Saat itu Leonel bersama Rebecca telah memasuki hari kedua berada di tepi pantai West Wittering. Tidak banyak yang mereka lakukan sepanjang hari, di siang hari mereka pergi berjemur menikmati suasana pantai, malam hari berpesta alkohol dan bercinta kapan pun Leonel menginginkan. "Aku hanya butuh sedikit liburan," ucap Leonel, ia menyesap bir dingin dari kaleng di tangannya. "Jadi, apa kita akan berlama-lama di sini?" Rebecca merebahkan tubuhnya di atas kursi pantai, ia hanya mengenakan bikini yang di beli mendadak dari toko bikini terdekat di area pantai. Leonel melirik Rebecca, jika gadis itu tahu bahwa ia di bawah ancaman kebangkrutan. Mungkin ia tidak akan bisa menikmati tubuh indah Rebecca dengan cuma-cuma sesuka hatinya. Ia berdehem. "Sepertinya bermain air bukan gagasan yang buruk," ujarnya seraya meletakkan kaleng bir di tangannya ke atas meja. Senja mulai menguning, pengunjung pantai juga hanya ada mereka berdua karena mereka berada di resor yang di sewa secara pribadi, keindahan alam seperti itu sayang untuk dilewatkan. Leonel mengulurkan tangannya kepada Rebecca yang tentu disambut dengan manis oleh gadis cantik itu lalu mereka berdua bergandengan tangan menuju bibir pantai. "Aku akan menulis nama kita di atas pasir," ucap Rebecca sambil mengambil sebuah ranting yang tergeletak dibatas pasir. "Jangan konyol, itu pekerjaan anak kecil," ucap Leonel dengan nada jijik. Rebecca terkekeh, ia tidak memedulikan keengganan Leonel, ia mulai menulis namanya dan Leonel di atas pasir lalu ia duduk di samping tulisan itu tanpa alas. Kaki jenjangnya tampak terulur di pasir dan ombak di pantai sesekali menjilati kulitnya. Leonel menatap matahari yang semakin tenggelam di ujung cakrawala, hari semakin gelap. Ia berjalan mendekati Rebecca yang tampak begitu menikmati senja, bibirnya ya g tipis tampak merekahkan senyum. "Kau sepertinya sangat menikmati liburan kita," ucap Leonel sambil duduk di samping Rebecca. "Oh, kau merusak nama kita," protes Rebecca. "Mereka akan hilang tersapu ombak, tidak ada bedanya jika aku merusaknya," ucap Leonel tanpa rasa bersalah. Rebecca terekeh. "Ini adalah senja terbaik dalam hidupku, kurasa." Leonel tersenyum miring. "Jadi ini lebih baik dari lantai di Dubai?" ia telah beberapa kali membawa Rebecca berlibur, bisa dibilang gadis itu adalah model yang paling sering ia tiduri di banding model lain karena Rebecca sangat cantik, tubuhnya paling indah dan yang utama gadis itu tidak pernah menuntut apa pun. "Oh, itu tidak bisa kulupakan," ucap Rebecca sambil tersenyum manis.  Setiap kenangan bersama Leonel, ia tidak bisa melupakannya, setiap kali ia meraba otot perut pria itu, adalah kenangan terindahnya. "Kalau begitu, bagaimana jika kita...." Leonel menatap d**a Rebecca yang terbungkus bikini. Dalam sedetik bibir Leonel telah memagut bibir Rebecca menggodanya, menggigitnya perlahan lalu menjejalkan lidahnya ke dalam rongga mulut gadis itu, membelai lidah Rebecca dengan lidahnya yang hangat. Telapak tangan Leonel mengusap punggung Rebecca, dengan sekali tarik tali bikini telah terlepas dan bikini itu meluncur ke pangkuan Rebecca, membuat telapak tangan Leonel bebas menjamah setiap inci kulit gadis itu tanpa penghalang apa pun. Rebecca mengerang, sentuhan Leonel adalah sentuhan terbaik di dunia. Leonel adalah pria pujaannya. Demi Leonel, ia tidak pernah menjalin hubungan dengan pria mana pun karena ia tahu jika Leonel menyukainya. Meski ia tahu, jenis suka Leonel bukan suka dalam artian ketertarikan untuk menjalin sebuah hubungan tetapi hanya sebatas ketertarikan gairah seksual. Namun, di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Ia ingin menjadi milik Leonel saja meski Leonel tidak mungkin memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Tidak ada salahnya berharap, Rebecca ingin suatu saat Leonel melihatnya dan menempatkan dirinya di hatinya, sama seperti dirinya. Leonel membaringkan Rebecca, menarik kain terakhir yang membungkus tubuh Rebecca. Membelai kulit perut Rebecca Perlahan sambil bibirnya terus mencumbui d**a kenyal gadis yang hanya pasrah terbaring di atas pasti dengan tatapan mata berkabut gairah, Perlahan Leonel memasukkan satu jemarinya ke dalam tubuh Rebecca, menggodanya dengan cara yang luar biasa ahli hingga Rebecca gelisah dan terus memanggil namanya. "Leonel, aku menginginkanmu," erangnya. Leonel menjauhkan bibirnya dari d**a Rebecca, ia menyeringai. "Kau tidak sabaran," katanya. "Cepatlah, oh Tuhan. Leonel, jarimu... itu tidak cukup," erang Rebecca. "Berapa jari kau ingin?" Leonel menambahkan satu jemarinya. "Leonel jangan menggodaku." Rebecca benar-benar memohon. Leonel menjauhkan tangannya, ia merogoh saku celananya untuk mengambil sekotak kondom, mengupasnya laku memasangkannya di bagian tubuhnya. "Kau ingin memuaskan dirimu atau kau ingin aku puaskan?" Rebecca terkekeh, gadis itu bangkit lalu menerjang tubuh Leonel. "Begini lebih baik," katanya yang telah mengambil kendali atas diri Leonel. Mereka bercinta di atas pasir pantai dengan berbagai posisi dan gaya, mereka tidak peduli dengan ombak yang berulang kali menjilati kulit mereka. Tidak terhitung berapa kali Rebecca menjerit memanggil nama Leonel, tidak terhitung berapa kali juga dirinya mendapatkan pelepasan karena Leonel selalu menyentuh titik terdalamnya. "Sepertinya setelah ini kau akan kesulitan berjalan," ucap Leonel yang baru saja mendapatkan pelepasannya setelah waktu merangkak mendekati pukul sembilan malam. Rebecca, gadis itu sepadan dengannya, jeritan liarnya membuat semangat Leonel semakin berkobar hingga ia sulit mengendalikan dirinya dan terus memompa pinggulnya. Dan yang pasti, gadis itu tidak pernah meminta ikatan apa pun darinya. Leonel menyukai Rebecca, gadis yang sama tidak sekali tidak pernah menuntut apa pun darinya terutama masalah hubungan mereka yang terjalin tanpa ikatan bertahun-tahun..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD