keluarga baru

1734 Words
Setibanya di pondok kami langsung menumui pak ustadz sekaligus pemimpin pondok nurul hasanah untuk mendaptar menjadi santri baru "Assalamualaikum" salam bapa sambil berdiri di depan pintu rumah tidak kecil tidak pula juga besar, namun bersih "Waalaikumus salam " Tanpa menunggu lama keluar seorang sepuh, mekakai koko, peci putih beliau adalah pendiri pesantren dan sekolah sekolah di desa itu mulai dari MI, MTs, serta MA meski begitu pondok letak sekolah yang beliau dirikan jauh dari pondok, jadi sekolah hanya di kelola oleh anak anaknya. Kami langsung sungkem mencium pungung tangannya "Ini anak mu zen" tanyanya sambil menatapku "Iya abah ini anak sulung ku, mau ikut ngaji disini" jawab bapak sambil menuduk tanda penghormatan "Oh ikut ngaji, emang gak sekalian sekolah?" Tanyanya lagi Ditanya gitu bapak cuma diam terliahat raut kesedihanya yang tak mapu menyekolahkan anaknya " tidak apa apa gak sekolah juga, toh sama aja sama sam belajar" sahut orang yang di panggi abah itu " ya udah tunngu sebentar diminum dulu airnya, kuenya jg d makan" tawarnya nya lagi, sambil berdiri menuju ruang tengah yang cuma di pisah oleh rak kitab kitab itu. Tidak lama kembali lagi sambil membawa buku besar dan membukanya, dilihat dari sampulnya itu adalah buka daftar semua santri, "Namanya siapa" tanyanya nya "Dalari bah" jawab bapak singkat Setelaha menulis nama dan alamat nya, abah langsung menutup bukanya" "Yang penting betah dulu ya, belajar ngajinya gampang ntar juga kalau udah lama, pasti dewasa dan mau ikut ngaji" ujarnya sambil menatap ke arah ku, " iya pak" jawabku sambil menganguk " pangil abah aja kita ini masih ada ikatan saudara, angagap aja kakek mu dal!" Serunya Abah adalah sebutan buat kakek di suku sunda tapi kalau di pondok itu adalah sebuatan buat orang yang mempunyai ilmu tinggi di bidang agama islam contohnya abah anom, kalau buat yang muda pangilannya "aang" Kalau di daerah jawa pak yayi atau kyiayi. Setelah ngobrol lama karna bapak itu dulu adalah murid kesayangannya abah yang jarang ngunjungin gurunya karna malu tidak punya apa apa untuk dibawa "Asalamualaikum" suara seorang anak laki laki di luar mengucapkan salam "Wa alaikumus salam " jawab kami "Sini masuk!" Perintah abah Setelah menyalami semua dia duduk di sampingku. " agus Ini ada adik baru, tolong tempatkan kamarnya ya," perintahnya "Dalari ini kakak mu, di sini semuanya sama yang kecil itu adek yang besar itu kakak, yang kecil harus menghormati kakaknya, dan kakanya harus menyangi adeknya" ujarnya "Ayo ikut" ajak anak laki kaki yang kira kira umurnya 5 tahun lebih tua dari ku "Ya udah ikut agus biar kamu tau tempat tidurnya dimana!" Seru abah Akhirnya kita pun bangkit dan menyalami abah dan bapak untuk melihat kamar mana yang mau aku tempati, Sedangkan bapak lanjut mengobrol sama abah Setibanya di bangunan persigi panjang 2 lantai itu aku diajak agus mengelilingi semua kamar yang berjumlah 8 kamar yang di huni oleh tiga sampe empat santri, yang sama sama menyalami dan mengenal kan diri, Sampai di suatu kamar yang jumlah cuma 3 orang ada yang aku kenal itu adalah kakak kelas waktu di SD iya mengahmpiri dan menyapaku "Dal kok disini mau mondok juga ya " tanyanya sambil menyalami ku "Iya " jawabku sambil menjabat tanganya "Ya udah tidur disini aja bareng aku di sini cuma tiga orang jadi gak terlalu sempit " tawarnya "Emang boleh tidur disini? " tanyaku "Boleh dimana aja boleh cuma lebih baik ada yang kamu kenal biar kamu gak kesepian dan cepat akrab" sahut kang agus "Yq udah disini aja mang" pinta ku "Ya udah masukin barang barang mu aku mau mandi dulu sebentar lagi dzuhur" sambil membantu ku memasukan tas serta bawaan lainya. Dirasa semuanya udah selesai mang agus pun pergi meningal kami, Seletah masuk kamar, kakak kelas ku yang bernama fahmi itu mempersilahkan duduk "Kirain mang fahmi itu pulang ke rumah orang tuanya yang ada di pusat kota" tanya ku penasaran "Iya cuma gak betah, enakan di kampung dal" jawabnya "Oya kamu bawa peralatan mandi gk kalau engga join aja sama aku" tanyanya "Ada kok" jawab ku sambil membuka tas mengeluarkan peralatan mandi ku "Kalau disini kita patungan mulai dari sabun mandi, sama pasta gigi, cuma sikatnya aja yang mading masing" timbalnya sambil senyum "Ya udah kita mandi dulu bentar lagi pengajian di mulai habis dzuhur" sembari mengabil gayung sabun Dan aku pun mengikutinya menuju toilet pondok yang terletak disamping, Setelah selasai mandi kita kembali lagi ke kamar dia mengajari ku tentang cara memakai sarung dan berpakain yang benar mulai dari harus pake peci, koko dan lain lain, Bedug dzuhurpun di pukul dan adzan pun berkumandang kita dan semua santri lainya menuju masjid untuk berjamaah sholat dzuhur Seusai sholat pengajian pun di mulai dari belajar baca qurna dan tafsir zalalen dan kitab kitab lainya, aku cuma duduk termenung tidak mengerti sama sekali bak bebek yang sedang di ceramahi pawangnya Sejam pun berlalu dan pengajian pun usai kita kembali lagi ke pondok sedangkan bapak melanjutkan obroalanya sama abah Nyampe d kamar aku ke ingat ibuku menibal kan nasi buat oleh oleh teman teman pondok, "Mang fahmi aku ada nasi titipan dari ibu lauknya cuma ikan teri jamrong sama sambel bawang daun gimanain ya?" Tanya ku "Alhamdulillah mana coba nanti kita makan bareng" pintanya Aku pun mengeluarkan nasi timbel segedi betis orang dewasa yang jumlahnya cuma 3 biji "Ya udah ayo bawa keluar semuanya " sambil membawa sebagian nasi itu Setibanya di gang atau lorong bisa juga di sebutu jaramah dia pun mebuka nasi dan luaknya di hamparin di lantai Setelah semuanya dirasa sudah siap "Ghonimah ghonimah " teriaknya dengan lantang Tiba tiba para santri pun pada keluar dari kamarnya dan menuju nasi timbel yang kubawa, Sekitar dua puluh lima orang kami menikmati nasi yang biasa namun terasa nikmat itu seperti makan di resto resto yang belum pernah kami makan Timbel yang ukuranya gede itu pun habis secepet kilat kalau di di hiting paling dapat sepuluhb suapan per orang. Setelah makan aku di pangil bapak yang mau pamit pulang kembali ke rumah, Aku pun menghampirnya "Bapak pulang dulu ya, baik baik disini" sambil matanya terlihat berkaca kaca "Iya pak" aku gk ngerti sebenernya apa yang terjadi Setelah berpamintan dan menitipkan aku ke senior senior sembari menyalaminya, bapak pun berajak menaiki motor yang tadi kami tumpungi. Aku cumu melihat dari depan pondok mentap kepergian bapak sampai tidak terlihat lagi Seketika aku pun tidak tau apa yang dirasa, d**a sesak mata dan idung ku perih tidak mengerti dengan prasaan apa yang aku rasakan, cuma berdiri menatap ke arah perginya bapak yang udah terlihat lagi sesekali menoleh ke arah pondok yang berada di belakang ku "Apa aku di buang" batin ku menerka nerka "Iya aku di buang orang tua ku" tak terasa butiran air pun membasahi pipi sedih di tingal sendirian di tempat yang sangat asing bagi ku. " dal ayo masuk, ngapain masih di luar?, ayo masuk!" Kata suara bang fahmi membuyarkan lamunan ku yang lagi pilu Seketika aku menyusut air yang berlinang di pipi ku lalu beranjak mendekati arah datangnya suara. Bang fahmi lalu mengajak untuk masuk ke kamarnya lagi Setibanya di kamar "Kamu sedih ya, ditingal bapak mu?, gak apa apa nanti juga biasa aku pun dulu sampe seminggu di sini nangis terus" ujar pria perawakan tinggi agak hitam itu "Iya bang, aku ngerasa orang tua ngebuang ku di sini" sahut sambil menyeka air mata yang tak hentinya berjatuhan "Pasti sedih lah seumuran kita itu masih butuh kasih sayang orang tua, bukan di paksa untuk mandiri seperti ini, tapi asal kamu ini lah jalan terbaik yang di berikan allah buat kita" kata bang fahmi Aku cuma nunduk menyeka ingus dan air mata yang tak henti hentinya keluar membajiri bawah hidung dan pipiku " jangan sedih kita disini semuanya saudara, saling menyangi, saling mehormati, saling bantu asal kitanya juga sama" "Kalau mau nangis, tuh di pojokan biar gak malu kedengaran santri lain" ujarnya lagi Akupun mengikuti saran nya tengkurep membenamkan wajah ku ke lipatan sajadah yang pungsinya bisa beralih jadi bantal ketika tidur, aku nangis sejadi jadinya sampi air mata mengering, tanpa terasa mataku pun berat mungkin capek setelah mengeluarkan luapan emosi yang begitu dalam "Dal bangun" sayup sayup terdengar orang membagunkan ku sambil mengoyangkan kaki ku "Emmmm" cuma eregan itu yang keluar dari mulut ku sambil menoleh "Eh bang fahmi maaf ketiduran" jawabku sambil mengkat badan untuk duduk "Iya gak apa apa, sana wudhu dulu terus sholat ashar" serunya "Emang jam berapa ini ?" Tanyaku heran "Ini udah jam 16.30, baru pulang ngaji, tadi mau di bangunin gak tega tidurnya nyeyak banget, ya udah buruan sholat dulu habis sholat kita jalan jalan, biar gak keinget rumah terus" ajaknya Akupun bangkit dari duduk menuju kamar mandi lalu masuk masjid menunaikan sholat ashar Sekembalinya ke kamar. " udah sholatnya" tanya bang famhi "Udah bang " jawabku yang udah ngerasa baikan "Kamu punya kolor gak" tanyanya lagi "Ada bang tapi lupa gak bawa, emang kenapa bang" tanyaku sambil menatapnya "Gak apa apa, ini pake kolor ku dalam sarung ya karna kalau pake kolor doang itu aurat" sambil menyerahkan celana bola chelsie itu Akupun mengaguk menurutinya tanpa tau tujuanya apa. "Ayo ikut" ajak bang fahmi "Kemana bang" tanya ku heran "Ikut aja nanti juga kamu tau sendiri" sambil berjalan keluar kamar, aku pun mengikuti di belakangnya Setelah di luar bangunan pesatren bang fahmi berjalan menelusuri jalan setapak yang di sampingnya dibtumbuhi pohon pohon teh, meski kecil tapi jalan itu sangat bersih mungkin sering dilalui, Lima menit kita pun nyampe di tempat tujuan terlihat santri santri lain sedang berlari lari mengejar arah bola, " ikut ya " teriak bang fahmi ke rekan rekanya "Masuk aja suit dulu yang kalam masuk ke tim selatan yang menang ke tim utara" ujar bang agus Kita pun suit dan aku masuk ke team selatan dan bang fahmi ke team utara Sawah yang berukuran 30x30m itu senernay dua petak cuam disatukan biar areanya lebih luas menjadi lapangan bola degang gawang terbuat dari ranting pohon yang lebarnya di ukur denga dua langkah, tidak ada pelangaran kecuali hand ball dan trow in pun kalau bolanya keluar masuk kebun kebun yang susah untuk mengiring bola, semua tertawa semua bersain meski tidak ada piala yang di perebutkan, aku pun yang tadinya sedih seketika lupa mengikuti riuhnya permain bola serasa punya saudara baru meski jauh dari orang tua tapi disini banyak yang menyangi, ikatan batin seperjuangan menjadikan rasa kalau kita tidak saling sayang mau sama siapa lagi kita berbagi kalau bukan sama teman. Sholawatan di masjid menghetikan hiburan yang sederhana tapi membuat kami bahagia ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD