1

1490 Words
''Karena cinta tahu, kemana ia harus pergi, dan kemana ia harus pulang. Tinggal menunggu waktu yang tepat, untuk Tuhan membawa cinta yang pergi, kembali.'' *** Anna menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Sudah satu jam ia mencoba tidur, tetapi nihil. Rasa ngantuk itu tak kunjung datang. Yang ada hanya nyamuk-nyamuk yang dengan bebasnya menghisap darahnya. Anna mengambil ponsel di meja belajarnya, melihat pemberitahuan-pemberitahuan terkini. Tetapi itu juga tak membuat rasa kantuknya datang. Akhirnya Anna melempar ponselnya di kasur. Menggeser pintu balkon. Lalu menutupnya kembali. Ia merasakan angin malam yang menerpa dirinya, masuk ke dalam pori-pori hingga membuatnya terasa dingin. Ternyata ini Jakarta. Dia duduk di kursi, berhadapan langsung dengan ramainya jalanan Jakarta. Lampu-lampu berwarna merah, kuning, dan bermacam warna lainnya menghiasi perpadatan kota Jakarta. Ah, Anna jadi teringat masa lalu, padahal Anna sendiri sangat membenci masa lalu. Kapan mau majunya kalau terus ingat masa lalu, right? Anna sedikit berharap, datangnya ia ke kota Jakarta ini menjadi awal dari kehidupannya. Setidaknya dia bisa melupakan hal yang lalu. Sudahlah, Anna tak mau mengingat masa lalu. Lebih baik dia memikirkan apa yang harus ia lakukan di sekolah barunya besok. Walau sebenarnya Anna sama sekali tidak niat pindah ke Jakarta. Tetapi, apa boleh buat, dapat pahala juga kan kalau menuruti kata-kata orang tua. Tetapi seperti ada yang mengganjal di hatinya. Orang itu. Orang yang sudah menghancurkan segalanya. Ya, orang itu juga tinggal di Jakarta. Semoga saja untuk mahluk yang satu itu keberuntungan tidak ada di tangannya, amit-amit kalau harus bertemu orang itu. ''Masih aja suka sendiri?'' Suara bariton itu terdengar jelas di telinga Anna. Seolah menggelitik di dalam keadaan sunyi ini. Anna mengadahkan kepalanya, menampilkan senyum tipisnya. ''Masih aja tuh senyum tipis,'' sambung Elang--saudara tertua Anna--dia duduk di samping Anna sambil menyodorkan satu gelas coklat hangat. Minuman kesukaan Anna. Anna lagi-lagi tersenyum tipis. Sambil menerima gelas berisi coklat hangat itu. Ia sendiri belum tahu kapan ia bisa tersenyum lebar seperti orang-orang di luar sana. ''Thanks ya Kak,'' Elang mengangguk, ''Apapun asalkan adik gue yang satu ini bisa tersenyum,'' Anna tersenyum di balik gelas itu. Meresapi coklat hangat yang mengalir lega di tenggorokannya. Anna bahagia memiliki kakak seperti Elang. Yang tidak pernah berhenti membuatnya tersenyum. ''Gue tinggal ya? Gue mau bantuin mama buat kue, mau ikut?'' Elang bangkit dari duduknya, mengulurkan tangannya untuk membantu Anna berdiri. Anna mengangguk, lalu menerima uluran tangan itu. *** Anna turun dari motor kakaknya, berpamitan dan berterima kasih kepada kakaknya karena telah mengantarkannya. Ini hari pertama ia menginjakkan kakinya, di sekolah barunya, di Jakarta. Biasanya di Bandung, jam segini sudah bel masuk sekolah. Tetapi di sekolah ini, murid masih banyak yang berlalu-lalang di halaman. Anna tak perduli. Tujuannya di sini hanyalah untuk belajar, menggapai cita-citanya, jadi orang sukses, dan membanggakan orang tuanya. Tak perduli kalau mau masuk sekolah jam berapapun. Ini bisa jadi kesempatannya juga, bisa bangun siang seperti kebiasaannya. Di Bandung mah boro-boro bisa bangun siang. Anna melirik arloji yang melingkar sempurna di pergelangan tangan kanannya. Lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam sekolah. Nggak tahu kenapa perasaannya ngak enak, murid-murid lainnya menatapnya dengan sangar. Seolah ia mangsa yang sebentar lagi akan di telan hidup-hidup. Dia tak pernah di lihat seperti ini pas dia sekolah di Bandung. Di sana kehidupan lingkungan sekolah aman dan tentram. Nggak tau deh, Anna akan mendapatkan lingkungan aman atau justru sebaliknya di sekolah ini. Diperhatikan seperti itu justru malah membuatnya semakin tak perduli, mata mereka ini bukan mata Anna, jadi mereka berhak melakukan apapun selagi itu milik dah hak mereka. Anna berfikir kembali, dia kan belum tahu letak-letak kelas di sekolah barunya ini, bagaimana caranya agar ia bisa masuk ke dalam kelasnya? Anna juga sudah tau kalau sahabat lamanya sekolah di tempat yang sama, sayangnya Anna dari tadi belum menemukan di mana sahabatnya. ''Hai, bisa kita bantu? Lo anak baru ya?'' Seseorang itu menepuk pundak Anna. Anna pun membalikan tubuhnya, agar bisa berpapasan dengan yang memanggilnya. Dan tak di sangka, Anna bergelonjak kegirangan. Wajahnya berbinar, matanya mebulat, mulutnya terbuka lebar, ekspresinya sama persis dengan orang yang ada di depannnya, sama-sama menampilkan wajah i***t mereka. ''Resa? Naftali?'' ucap Anna tak menyangka. Resa dan Naftali mengangguk, lalu tangan mereka terulur untuk meluk Anna. Sahabat yang sangat mereka rindukan. Resa dan Naftali sebenarnya teman SMP Anna, mereka pindah ke Jakarta karena ada urusan pribadi. Hasilnya, Anna hanya sendirian di Bandung. Tetapi seketika orang tuanya menyuruhnya untuk tinggal di Jakarta. Dulu Anna berfikir kalau di Jakarta Anna tidak akan bisa mendapatkan teman. Tetapi setelah mengetahui sahabatnya bersekolah sama dengan Anna di Jakarta, setidaknya Anna bisa bernafas lega. ''Akhirnya ketemu lo juga,'' Seru Resa dengan mata berbinar. ''Lo Res, orang baru dateng bukannya di suruh duduk gitu. Ini malah berdiri di tengah jalan, malu tau di liatin banyak orang!'' Dumel Naftali. Matanya menatap Resa kesal. Resa menggaruk dahinya yang tak gatal, lalu menarik tangan Anna untuk mengikutinya. ''Lo di kelas mana?'' ''Di kelas XI-IPA-B kalau ngak salah,'' Anna berusaha mengingat kelasnya. Yang hari lalu di beri tahu oleh papanya. ''Oh, kita berdua di kelas XI-IPA-C jadi kalau mau ketemu kita berdua, lo tinggal ngesot aja ke kelas sebelah. Itu kelas lo, kami tinggal ya Ann,'' ujar Naftali, ia menunjuk kelas Anna, lalu menepuk pundak Anna, dan pergi ke kelasnya. Anna mengangguk, mengambil nafasnya dalam lalu mengeluarkannya, berusaha santai masuk ke kelasnya walaupun Anna tahu, sebentar lagi ia akan menjadi pusat perhatian. Ketika sudah sampai di depan pintu kelasnya, Anna mengetukan tangannya ke pintu, berdoa di dalam hati agar harinya baik-baik saja. Pintu terbuka, menampilkan seorang lelaki dengan penampilan ugal-ugalan. Dengan wajahnya yang tengil dan senyum iblisnya. Tunggu, Anna mengingat lelaki itu. Ia sangat-sangat mengingat. Lelaki itu, lelaki di masa lalunya, lelaki yang dulu sudah menghancurkan hubungannya dengan lelaki yang ia suka. Iya, itu Andi. ''Wellcome princess,'' ucapnya sambil tersenyum iblis. Anna memandangnya sangar, ia rasa ia sudah salah kelas. Maka itu ia memutuskan untuk pergi dari hadapan lelaki itu. Tetapi tangan lelaki itu menariknya untuk masuk ke dalam. Wajah Anna tegang. Bulir-bulir keringat menetes membanjiri wajah, degub jantungnya berdetak cepat. Bencana besar akan menimpanya. Dirinya telah berada di depan kelas, bersama dengan Andi yang masih memegang pergelangan tangannya. Rasanya Anna ingin pergi balik ke Bandung saja. Tak mau berdekatan dengan lelaki s****n kayak Andi seperti sekarang. ''Minta perhatiannya sebentar ya, perkenalkan ini Anna Andhine, murid baru di sekolah kita, dan dia akan menjadi penghuni baru di kelas kita,'' Andi merangkul bahunya. Mempersempit jarak di antara mereka. Yang menunjukan kalau mereka memiliki hubungan di luar pertemanan. Anna menggeser tubuhnya menjauh, tak mau berdekatan dengan upil kuda itu. Teriakan, siulan, godaan memenuhi seantero kelas. Anna hanya berdecak di dalam hatinya, ini baru hari pertamanya, bagaimana dengan hari yang selanjutnya? Tak perduli lagi dengan Andi dan juga teriakan yang menggema di telinganya. Anna segera pergi ke arah pojok kelas, lalu mendaratkan bokongnya di kursi pojok kelas. Untung ada satu kursi kosong. Setidaknya Anna tidak menjadi bahan perhatian di pojok kelas ini. * Anna duduk di kursi kantin, bersamaan dengan kedua temannya, Resa dan Naftali. Bertemu dan berbicara dengan temannya lebih baik dari pada dia harus berdiam diri di pojok kelas layaknya orang kesepian. Walaupun sebenarnya seperti itu. ''Kok tuh upil kuda bisa di sini sih?'' Keluh Anna sambil melemparkan emosinya ke jus jeruk di depannya. ''Entahlah Ann, gue juga ngak tahu. Makanya kita males Ann nganter lo ke depan kelas lagi. Pasti ujung-ujungnya ketemu sama dia lagi,'' ujar Naftali dengan wajah memelasnya. Anna menggelengkan kepalanya, tak menyangka atas buruknya hari ini. ''Ann, lo di panggil sama Bu Rina di perpus. Lo di suruh ke sana katanya,'' kata Deka, murid di kelasnya yang terkenal dengan kecemprengannya. Anna mengangguk sambil berdiri, ''Iya, makasih ya Dek,'' Deka tersenyum, lalu pergi. ''Lo tahu perpus di mana kan Ann?'' Anna mengangguk. * ''Permisi Bu Rina, ada apa ya bu?'' Ucap Anna se sopan mungkin. Notabennya dia kan murid baru di sekolah, jadi perilakunya juga harus baik, dia ngak mau dicap jelek sama guru-guru barunya. ''Tolong kamu carikan buku Fisika kelas XII-IPA-A ya Anna, perut ibu lagi sakit. Tolong ya Ann,'' Anna mengangguk, lalu matanya jelalatan mencari satu buku di antara ratusan buku lainnya. Dulu di sekolah lamanya boro-boro dia ke perpustakaan, yang namanya letak perpustakaan di sekolah lamanya saja ia tidak tahu. Untungnya perpustakaan di sekolah barunya ini sangat mudah di temukan. ''Nah,'' matanya melebar ketika menemukan buku yang ia cari, tangannya terulur untuk mengambil buku tersebut. Tetapi beberapa detik setelah tangannya menggapai buku itu. Justru buku itu pergi mundur ke belakang, yang artinya ada seseorang yang mengambilnya juga. Dia berkacak pinggang lalu menghampiri rak belakang, menepuk pundak lelaki jangkung yang telah megambil bukunya. ''Permisi. Tapi gue duluan yang ngambil buku itu, jadi tolong balikin,'' Lelaki itu membalikan badannya. Tersenyum jahil sambil menatap Anna. Anna memutar kedua bola matanya kesal, lagi-lagi ia harus berhadapan dengan lelaki macam Andi. ''Kenapa sih lo muncul lagi di hadapan gue? Belum puas lo?'' Anna menatapnya tajam. Bukannya takut Andi malah mengembangkan senyumnya, senyum iblis khasnya, ''Kita pasti akan bertemu lagi Anna, karena Tuhan sudah menjawab doa gue." *** Hope you like it guys
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD