2050

1519 Words
Tahun 2050 Ting… ting… Dentingan suara sendok dan piring yang sering berbenturan menggugah kesadaran seorang pria yang masih terlelap di atas ranjangnya. Kedua kelopak mata itu membelah, memperlihatkan bola cokelat terang yang tampak pudar. Segera mengucek, mengambil seluruh kesadaran, kemudian membangunkan badan lemasnya. "Aarghh!" Menguap sejenak, melakukan perenggangan otot sebelum akhirnya memilih berdiri, membawa tubuh jangkungnya keluar kamar. "Pa, lapar!" Suara bocah lelaki yang duduk lesu di meja makan sedikit membuatnya terkejut. "Kapan kau bangun?" tanyanya dengan jidat mengeryit. Victor Kinkade, adalah seorang pria berumur tiga puluh tiga tahun. Bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang teknologi dan ilmu fisika sebelum "bencana" tersebut datang dan menyulitkan hidupnya. Memiliki seorang anak lelaki berumur enam tahun bernama Teddy. Vicktor berjalan malas menuju lemari rak yang berada di area dapur. Membuka pintunya satu persatu. Namun tak menemukan bahan apa pun untuk digunakan mengganjal perut sang putra. Beralih pada lemari es yang hanya tersisa beberapa buah-buahan yang tak lagi segar. "Kau mau buah?" Kepala lelaki tersebut menoleh, melirik ke arah bocah murung yang menatapnya sayu. Anak lelaki tersebut menggeleng, dan berkata, "Buah hanya akan membuat perutku bersuara sepanjang malam." Victor menghela napas berat. Menutup kembali pintu lemari es dan bergerak ke arah rak atas. Memastikan kembali apakah masih ada bahan yang mungkin saja lolos dari rekaman retinanya tadi. Sekotak sereal di samping tumpukan s**u membuat bibirnya tertarik. Segera ia mengambil sereal tersebut dan mulai memasaknya lalu menghidangkan pada sang buah hati. "Makanlah, agar kau cepat besar!" Victor mengusap pucuk kepala Teddy dengan penuh kasih. "Kapan aku bisa besar kalau setiap hari makan makanan yang sama," balas Teddy, kemudian menyendok sereal dan memasukkannya ke dalam mulut. Victor terdiam beberapa saat. Mendudukkan pantatnya di kursi sebelah Teddy. Merenungi nasib yang mereka alami hingga saat ini. Sudah hampir lima tahun saat pengumuman tentang lockdown total diberlakukan di berbagai daerah negara tersebut. Akibat sebuah virus mematikan yang merajalela, memaksa orang-orang mengurung diri dalam rumah. Mereka hanya boleh berpergian keluar jika dalam keadaan mendesak saja. Namun kini aturan tersebut sudah direvisi saat korban dari serangan virus semakin membludak. Sekitar setahun yang lalu, pemerintah 'mengharamkan' masyarakat untuk keluar rumah. Sebagai gantinya, mereka membagikan kebutuhan dan sembako setiap bulannya dan menyuruh setiap warga—yang masih bertahan hidup—untuk menghematnya karena bahan pangan mulai krisis. Namun, hampir tiga bulan terakhir, mobil pengangkut kebutuhan tersebut tak lagi tampak. Itu yang membuat Victor kehabisan bahan pangan di rumahnya. "Pa, ibu di mana? Kenapa belum pulang juga?" Pertanyaan Teddy membuyarkan lamunan Victor. Pria itu menoleh, melihat sang putra yang masih menjilati mangkok sereal yang sudah tak tersisa. Seakan bagai anak kucing yang masih kelaparan. Victor memang sengaja memberikan sedikit makanan tersebut dengan dalih menghemat. Karena ia takut, jika bahan pangannya habis, entah apa lagi yang bisa mereka berdua gunakan untuk mengganjal perut. "Papa 'kan sering bilang… kalau ibumu sedang berada di rumah nenekmu." Victor mengelus pipi pucat Teddy. Berbulan-bulan tak tersiram sinar mentari secara langsung, membuat pertumbuhan fisik anak tersebut sedikit terganggu. "Itu yang selalu Papa katakan sejak dulu. Tapi, sampai sekarang ibu masih belum pulang." "Nenek kan lagi sakit, kakek juga sudah tidak ada. Jadi, ibumu menemaninya." "Kenapa mereka tidak tinggal di sini saja bersama kita?" "Keadaannya tidak memungkinkan, Nak!" "Kalau begitu ayo kita jemput mereka!" Teddy meletakkan sendok serta mangkoknya secara kasar di permukaan meja kayu. Menarik tangan sang ayah dengan mata sayu. "Ayo, Pa! Kita jemput mereka." "Sabar, Nak! Kau tahu 'kan, di luar sedang ada monster. Mereka bisa menyerang kita." Sebisa mungkin Victor menerangkan pada sang putra, kalau keluar rumah sama halnya dengan mencari bahaya. Victor menyebut virus tersebut sebagai monster agar Teddy menurut. Karena yang ia tahu, anak-anak memang gentar kalau ditakuti perihal monster. "Aku bosan di rumah terus, Pa? Aku ingin keluar. Aku ingin bermain." "Apa kau melihat anak-anak di luar sana? Tidak ada, kan? Karena mereka semua takut monster jika keluar rumah." Sejak diberlakukannya lockdown ketat, suara bising di luar sana mulai memudar. Keramaian seketika lenyap. Hanya dersik angin yang mengisi kekosongan. Mereka benar-benar seperti hidup di dunia lain dan terisolasi. Acap kali Victor menengok ke jendela, mengintip para tetangga atau pun orang-orang di luaran sana, tetapi tak pernah ia jumpai sekelebat pun. Bahkan rumah-rumah seperti tak lagi bernyawa. Hal itu membuat Victor berpikir, akankah mereka masih hidup? "Bagaimana kalau kau menonton televisi saja?" Victor membangkitkan diri. Mengangkat tubuh sang putra dan menggendongnya di punggung. Bergerak ke ruang keluarga dan mendudukkan Teddy di sofa. Lantas mulai menyalakan televisi. "Papa… Papa … sini remotnya. Aku ingin menggantinya sendiri!" decak Teddy tidak sabaran. "Iya, iya." Victor menyerahkan benda persegi panjang tersebut pada sang putra. Lantas membiarkan anak itu menonton acara kartun kesukaannya. "Papa ke kamar dulu, ya!" pamitnya kemudian berjalan menuju bilik. Mata Victor langsung tertuju pada sebuah bingkai yang tergeletak di atas nakas. Bingkai yang memperindah fotonya bersama sang istri, juga anaknya. Ketiga senyum itu tampak melebar dari garis bibir. Victor berjalan mendekat. Mengambil pigura tersebut dan memandanginya. "Di mana kau sekarang, Elena?" Suara desahnya terdengar pilu. Bernada sedih, juga penuh permohonan. "Sudah setahun lalu sejak kau berpamitan untuk menjenguk ibumu, tapi… kau tidak pernah kembali sampai sekarang." Victor merobohkan pantatnya menyapa pinggiran ranjang. Meraba pigura yang dipeganginya, dengan mata mengembun. Pikirannya mulai terbayang kebersamaan dengan sang istri. "Dulu kita sangat bahagia. Hidup berdua di sini. Lalu kehadiran Teddy, semakin membuat hidup kita berwarna. Tetapi, semuanya hancur saat virus mewabah." Pria itu menarik air hidungnya. "Harusnya aku tidak mengizinkanmu pergi sendirian. Atau setidaknya waktu itu aku membangkang perintah pemerintah, agar aku bisa menemanimu pergi ke sana. Sekarang, semuanya sudah terlambat. Aku tidak pernah lagi mendapat kabar darimu." Victor meletakkan kembali pigura tersebut di atas nakas. Beralih menyambar ponselnya. Memeriksa balasan dari sang istri, tetapi pesan-pesan w******p tersebut tak kunjung membiru. Berkali-kali ia menelponnya, tetap saja tak mendapat respon. Selain itu, jaringan yang memburuk juga menjadi faktor penghambat komunikasi mereka. Ini memang hal tidak masuk akal di zaman yang sudah canggih seperti sekarang ini. "Perhatian kepada seluruh masyarakat untuk lebih berhati-hati. Karena keadaan sudah mulai memburuk…." Suara acara televisi yang mulanya kartun kini terdengar seperti saluran berita. Hal itu tentu membuat Victor mengernyit. Ia tahu betul, anak lelakinya itu sama sekali tak suka menonton acara berita. Pria itu meletakkan kembali ponselnya di nakas. Segera membangkitkan diri, berjalan cepat keluar kamar. Setiba di ruang santai, ia tak menjumpai anak lelakinya itu. Hanya suara bising televisi yang dibiarkan menyala. "Teddy! Kau di mana?" panggilnya. Victor mulai mencarinya ke seluruh ruangan yang tersedia di rumahnya. Tetapi tak satupun sudut ruangan yang menunjukkan sang putra. Pria itu menjadi panik. "Teddy!" Kembali kini berada di depan televisi. Suara berita yang menampilkan seorang wanita itu mulai tersendat. Pancaran layarnya kedip-kedip, sebelumnya akhirnya televisi tersebut menggelap. Mati dengan sendirinya. Angin mulai terdengar menghembus di luar sana. Victor semakin panik. Ia bergerak ke arah pintu. Kuncinya sudah tak lagi mengait, dan daunnya sedikit membuka. Itu artinya, putranya itu sudah berhasil lolos dari kurungannya selama ini. "Teddy!" Victor berteriak di teras rumah. Hawa dingin yang menyapa kulitnya, memaksa bulu kuduknya berdiri. Pagi itu mentari tak bersinar. Dan cahaya langit sedikit menggelap. Daun-daun mulai rontok dibawa angin, pun begitu dengan sampah-sampah plastik yang berserakan. Victor bisa melihat, kalau halaman rumahnya itu bagai di tempat asing yang tak berpenghuni. Semuanya sunyi. Mata cokelatnya itu melirik ke arah rumah tetangga. Dengan seribu rasa penasarannya, ia akhirnya melangkah mendekat. Sekadar memeriksa, apakah masih ada penghuni di dalam sana atau kosong. Berkali-kali ia mengetuk pintu, tetapi tak ada respon sama sekali. Padahal, dahulunya… tetangganya itu sangat ramah. Mereka akan langsung membukakan pintu apabila ada tamu yang berkunjung. Victor kini beralih ke jendela kaca. Tangannya mengusap debu yang menghalau pandangannya, hingga akhirnya kini suasana interior di dalamnya sedikit terlihat. Namun, betapa terkejutnya dia, saat melihat dua tubuh di dalam sana yang tergeletak tak bernyawa. Victor membungkam mulutnya rapat-rapat. Melangkahkan kaki mundur dengan tubuh gemetar. Sementara cuaca semakin memburuk. Ada sebuah goncangan dari tempatnya berpijak, hingga menjalar dan membuat pot tanaman di atas pagar berjatuhan. "Teddy!" Pria itu semakin panik kala teringat sang putra yang entah kemana. Ia bergerak di tengah jalan. Memekik memanggil nama anaknya. "Teddy!!!" Namun hanya suara alam yang menjadi responnya. Angin menderu begitu lebat. Bersamaan dengan itu, tanah yang digunakan berpijak mulai bergetar. Ada sesuatu yang bergemuruh di dalam sana dan teringin keluar. Saat itu Victor masih berdiam merasakan keadaan sekitar. Hingga akhirnya, retakan jalanan beraspal mulai tercipta. Victor segera bergerak cepat. Bergegas masuk ke rumahnya dan mengambil ransel besarnya. Ia memasukkan beberapa sandang dan benda-benda serta sisa makanan. Lampu-lampu gantung yang menempel di langit-langit rumah mulai bergoyang-goyang. Victor tahu betul ada apa yang coba lampu itu beritahukan. Sesuatu yang buruk, yang disebut gempa mungkin akan mengguncang tempat tersebut. Segera ia mengemasi barang-barangnya. Membuka pintu dengan kasarnya dan berlari ke luar. Ia tahu betul, bahwa keluar sama saja mendaftarkan nyawa. Karena di luar justru semakin berbahaya. Tetapi, sekarang ini, mencari anaknya yang sendirian di luar sana menjadi prioritas utama dalam hidupnya. Pria itu bergerak ke garasi. Mengambil mobil hitamnya dan segera mengemudikannya. Beruntungnya, mobil itu masih bisa digunakan setelah sekian lama tak tersentuh. Suara mesin mulai menderu. Meninggalkan pekarangan rumah. Melewati jalanan yang mulai menciptakan retakan. *** TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD