Sahabat

1533 Words
Sesaat sebelum malam kejadian... Leyna sudah siap dengan setelah maroon-black nya malam ini. Ia akan menghadiri reuni SMA-nya yang akan diadakan di lantai dua sebuah kafe milik salah seorang temannya. Malam ini, Edward akan ikut serta dengan Leyna. Lelaki itu sudah menyanggupi permintaan Leyna untuk menemaninya di acara reuni itu. Leyna tersenyum membaca nama tunangannya yang muncul di layar ponselnya. Ia pun bergegas mengambil tas warna hitam miliknya, yang melengkapi penampilannya, sambil mengangkat telepon Edward. Ia pikir, Edward pasti sudah menunggunya di bawah sekarang. Bekerja sebagai newsanchor atau pembawa acara suatu berita, membuat Leyna harus tampil depan kamera. Ia termasuk yang sangat memerhatikan penampilan. “Hay, Sayang. Ini aku on the way buat turun, ya!” Dua kalimat itu menjadi pembuka percakapan mereka. “Leyna, tunggu! Sori banget, tapi kayaknya aku nggak jadi bisa anterin kamu. Kalau kamu naik taksi online saja, gimana? Biar aku yang pesenin. Aku cuma butuh konfirmasi dulu ke kamu, kalau kamu memang belum ada teman buat bareng ke acaranya,” ujar Edward di seberang sana. Langkah kaki Leyna terhenti begitu saja. Ia menjauhkan ponselnya sebentar, melihat jam digital yang tampak di layar benda pipih itu. Pukul tujuh malam. Ia tak salah jika mengira Edward sudah sampai di depan gedung apartemennya. Namun, kenapa lelaki itu justru berkata demikian? Huft! “Ed, kamu bercanda, ya? Udah di bawah, kan? Bentar doang kok. Ini aku sudah mau naik lift,” kata Leyna. Ia melangkah masuk ke lift saat pintu logam itu terbuka, dan menekan tombol menuju lantai dasar. Kesal meluncur begitu saja dengar kalimat kekasihnya yang tiba-tiba batal secara mendadak. “I’m so sorry, Honey. Aku serius. Tiba-tiba aja om aku minta aku ke Bogor. Katanya ada masalah sama pabrik om aku di sana,” balas Edward serius. Leyna berhenti bernapas sejenak, lalu ia menghidup udara sebanyak-banyaknya untuk membuat dadanya terasa lebih lega. Sudah hampir marah, tetapi tidak ingin buang energi bila harus bertengkar sekarang, “ini kamu serius?” memastikan sekali lagi. “Iya, Ley. Ini juga aku udah di jalan. Maaf banget, ya?” Leyna tak langsung membalas, membuat perasaan Edward tidak nyaman. “Kamu pasti kecewa banget ya sama aku? Maafin aku ya, sayang? Ini benar-benar di luar rencana aku.” “Iya, Ed, nggak apa-apa. Aku bisa ngerti,” jawab Leyna pada akhirnya. Mau bagaimana lagi? Ribut pun percuma karena Edward sepertinya memang terdesak gagal mengantarnya. “Terus gimana? Mau aku pesenin taksi online sekarang? Kamu bilang tadi, kamu sudah siap, kan?” tawar Edward penuh perhatian. Nada lembutnya, seketika membuat marah Leyna menguap. Ia tahu Edward pasti memang tidak bisa, bukan sengaja membatalkan. “Nggak usah nggak apa-apa. Biar aku sendiri aja yang pesan. Biar lebih enak juga janjian sama driver-nya. Takutnya nanti dia malah telepon ke nomor kamu kalau kamu yang pesan, kan?” “Sekali lagi maaf ya, Ley. Aku janji bakal nebus kekecewaan kamu malam ini. Kita agendakan aja romantic dinner di resto mana pun yang kamu mau pas aku pulang nanti,” kata Edward. Leyna tersenyum. Dari nada bicara calon suaminya itu, tampak sekali jika Edward juga sangat terpaksa mengingkari janjinya malam ini. Bahkan mungkin lelaki itu merasa lebih kesal daripada kekesalan Leyna saat ini, karena kegagalan mereka untuk datang ke reuni SMA Leyna bersama. “Nanti kalau pulangnya kemalaman, coba minta antar Kenzo aja! Nanti biar aku yang bilang ke dia, ya?” ucap Edward. “Ed, santai aja! Nanti biar aku yang bilang ke Ken. Lagian aku juga kayaknya nggak akan pulang malam-malam banget, kok. Jam sembilan atau sepuluh, kalau acaranya belum selesai, aku juga mau pamit pulang aja,” balas Leyna. “Oke, gimana baiknya kamu aja, sayang. Enjoy your time, ya!” “Oke, kamu juga. Hati-hati di jalan ya, sayang! Jangan terlalu diforsir! Kalau udah malam, capek, tidur aja! Kerjaannya dilanjut besok!” Leyna mengakhiri sesi panggilan dengan pesan manis untuk tunangannya itu. Menghela napas panjang, Leyna keluar dari lift dan segera menuju ke halaman gedung apartemennya. Waktunya sudah mepet. Ia harus segera mencari taksi secepatnya jika tak mau jadi yang terakhir datang dan menjadi pusat perhatian di acara reuni itu. *** Leyna salah mengira. Reuni SMA yang ada dibayangkannya adalah kegiatan makan-makan bersama sambil mengobrol ringan di tempat yang elegan layaknya restoran berbintang. Cafe? Leyna pikir, cafe yang dimaksud teman-temannya adalah tempat makan dan tongkrongan anak muda dengan menu-menu modern yang ramah di perut. Namun, ternyata, tempat yang ia pijak kali ini justru tampak seperti kelab malam dengan pencahayaan terbatas dan musik yang memenuhi gendang telinga. Leyna langsung membaur bersama teman-teman perempuannya. Terhitung sudah dua kali ia tak ikut reuni, membuat ada cukup banyak pembahasan yang mengisi obrolan tersebut. “Ley!” Leyna menoleh, mendapati Ken berdiri di belakangnya. “Lah, Greisy nggak kamu ajak?” tanya Leyna, menyapukan pandangannya ke sekeliling sahabatnya itu. Sama sepertinya, Ken muncul sendiri tanpa gandengan. “Nggak bisa dia. Ada acara keluarga katanya,” jawab Ken. “By the way, tadi Edward telepon aku. Katanya dia nggak jadi anterin kamu. Nanti kalau mau pulang, panggil aku aja, ya! Aku anterin,” kata Ken. Leyna mengangguk. “Iya. Kalau bisa sih nggak usah malam-malam. Kamu jangan jauh-jauh deh, Ken! Aku asing banget sama tempat kayak gini.” “Iya, aku cuma ngumpul sama yang lain di sana, kok. Kalau pas aku nggak kelihatan, missed call aja!” ujar Ken. Leyna mengangguk. Kemudian, ia kembali menikmati pesta itu bersama teman-temannya. Dari beragam minuman yang tersedia, Leyna tak bisa menghindar dari salah satu jenis cairan yang mengandung alkohol. Namun, ia segera meletakkannya kembali setelah mengetahui apa yang ia minum itu. “Kenapa, Ley? Nggak kuat mabok?” tanya salah satu temannya, berniat bercanda. “Memang nggak pernah. Aku takut nggak bisa ngendaliin diriku sendiri kalau sampai tipsy. Apalagi nggak sama Edward ke sini,” jawab Leyna. Bila harus hadiri acara, mendampingi Edward, minuman seperti itu sudah biasa ia temukan, hanya memang Leyna tidak terlalu suka. “Lah kan ada Ken. Biasanya juga ngapa-ngapain sama Ken. Udah kayak adik kandung sama kakak kandung aja kalian,” sahut yang lain. “Heh, kakak adik apaan? Suami istri iya. Ke mana-mana bareng mulu,” sambung salah satu yang lain. “Kenapa gak jadian aja sih kalian? Cocok lho!” “Hussshh! Calon suami Leyna juga ganteng kali!” Tanggap yang lain. Leyna mengulas senyum, “aku dan Ken hanya sahabat, dia cocok jadi sahabatku, tapi bukan tipeku banget untuk lebih. Begitu sebaliknya.” Ujarnya tegas. Leyna tahu mereka hanya bercanda, sehingga ia pun tak ambil pusing dengan obrolan itu. Toh memang faktanya ia dan Ken sedekat itu. Bahkan, Leyna sudah menganggap keluarga Ken sebagai keluarganya juga. Dia juga memanggil kedua orang tua Ken dengan sapaan Mama dan Papa. Leyna lupa jika apa yang ia hadiri malam ini adalah sebuah acara layaknya pesta yang menyenangkan hingga waktu akan terasa seperti berjalan lebih cepat dari yang seharusnya. Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Leyna, dengan kepala yang mulai terasa pusing berusaha mencari Ken. Ia pikir, bertemu dengan Ken akan membuat bebannya terasa lebih ringan - setidaknya, ia harap Ken akan membawanya pulang dengan selamat. Namun, kenyataannya, ternyata laki-laki itu justru lebih parah darinya. “Ish, Ken, kamu mabuk?!” kesal Leyna, sambil memukuli bahu Ken dengan tas jinjing miliknya. Ken tertawa dengan nada sumbang. Ia bangkit dan berdiri di hadapan Leyna. “Enggak kok. Aku tadi cuma minum sedikit.” “Dikit apanya? Jelas-jelas sampai teler gitu,” decak Leyna. Memutar bola matanya malas. “Santai aja kali! Pokoknya aku masih kuat kok kalau cuma buat bawa kamu pulang dengan selamat. Jadi, mau pulang sekarang aja?” tawar Ken. “Kalau nanti-nanti, yang ada keadaan kamu makin parah. Dan bukannya kamu yang jaga aku, yang ada malah aku yang harus jagain bayi raksasa kayak kamu,” kesal Leyna. Ini bukan kali pertama Leyna menghadapi Ken yang sedang mabuk. Dan bagi Leyna, Ken memang sangat menyusahkan saat sedang berada di bawah pengaruh alkohol. “Oke oke. Guys, cabut dulu, ya!” pamit Ken. “Lah, nggak nginep aja? Sebelah hotel om gue tuh kalau kalian mau nginep situ dulu,” tawar Rico, sahabat baik Ken. Menawarkan sambil sedikit flexing. Ya, bagi Leyna reuni semacam ini tidak ubahnya ajang pamer. Ken menoleh ke arah Leyna, lalu menolak tawaran Rico saat melihat Leyna menggelengkan kepalanya. “Mau bobok di apartemen aja princess-nya,” canda Ken yang langsung dihadiahi pukulan tas lagi oleh Leyna. “Ley!” “Biar sadar, bangun! Nggak ngaco ngomongnya. Udah ayo! Kalau masih ngoceh, aku pesan taksi online aja!” Ancamnya. Ken mengambil gelasnya, masih sempat menandaskan minumannya. “Aku yang nyetir! Sini kuncinya!” Pinta Leyna sambil mengulurkan tangan, Ken malah hanya bersandar di mobilnya. Memejamkan mata. Leyna tidak mau ambil risiko kecelakaan bila membiarkan Kenzo tetap yang mengemudi. Mendapati tidak ada respons, Leyna menghela napas dalam-dalam lalu mendekat. Ia merogoh saku Ken, dan mengambilnya. Saat mendongkak, matanya beradu cukup dekat dengan sahabatnya. Leyna menggeleng pelan, kemudian mundur. “Masuk cepat, atau aku tinggal!” “Uhm!” Ken membuka pintu dan masuk, lalu sudah duduk pun kembali memejamkan mata lagi. Leyna hanya mengikuti alur. Ia sepenuhnya percaya jika dirinya akan aman bersama Ken karena memang belasan tahun bersama, Ken selalu bisa jadi pelindungnya. Leyna tidak tahu jika malam itu adalah sebuah pengecualian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD