6. Hutan Angker

1001 Words
"Kenapa kamu ganggu Ramda?" tanya Fikri pada ruang kosong di sebelah kiri tempat saya berbaring. "Karena saya memilihnya." Ada suara, tak ada wujud. Suara siapa lagi kalau bukan Nina? "Kenapa milih Ramda?" "Karena saya suka. Dia yang paling tepat." "Memangnya apa urusan kamu sampai-sampai memilih Ramda?" "Mencari ibu pengganti untuk bayi saya." "Bayi itu sudah meninggal. Pun Nina juga sudah meninggal. Kenapa kamu ikut campur urusannya?" Sosok mengerikan itu perlahan mulai nampak kembali. Ingin rasanya saya kabur, tak ingin dekat-dekat dengan tubuhnya yang bau, mengerikan, jelek, sekaligus menjijikan. Raut Nina nampak memendam Amarah. Menatap Fikri dengan sangat tajam. "Saya ada di hadapan kamu. Saya Nina. Kenapa kamu menganggap seolah-olah saya bukan Nina?" geramnya. "Karena kamu memang bukan Nina. Kamu adalah jin jail sekaligus jahil yang ingin menyesatkan manusia!" Nina menyeringai. "Jadi kamu nggak percaya bahwa saya adalah arwah Nina?" "Hanya orang-orang bodoh yang percaya. Manusia yang mati, arwahnya tinggal di alam barzah. Ada yang mengalami siksa kubur, ada yang menikmati waktu seolah-olah sudah di Surga, tergantung amal dan perbuatan semasa di dunia. Mereka terlalu sibuk di alam barzah, mana ada waktu kembali ke dunia sekadar untuk pulang? Apalagi untuk membalas dendam?" "Kamu manusia, belum pernah merasakan mati. Tahu apa kamu tentang alam barzah?" Nina masih sangat geram pada Fikri. "Bicara dengamu tidak akan ada habisnya. Karena kamu selalu punya cara menyebar tipu muslihat." Fikri memejamkan matanya. Mulai membaca taawudz. Fikri melafalkan ayat kursi dan surat Al-Baqarah. Baru beberapa ayat awal surat Al-Baqarah, Nina berteriak hebat, seperti kesakitan. "Hentikan ... jangan ucapkan itu! Hentikan!" Nina berteriak keras sekali. Fikri sama sekali tak gentar. Ia terus melafalkan surat Al-Baqarah. Sampai Nina benar-benar kesakitan, kemudian menghilang. "Kok api unggunnya belum dinyalain?" "Tahu, tuh. Udah tahu gelap gini!" "Mana lagi Mas Fikri sama Mas Ramda?" Suara anak-anak tengik yang sudah sampai setelah perjalanan mereka mencari air. "Di sini ternyata!" celetuk Arsen setelah menemukan saya dan Fikri. "Katanya bagi tugas, kita disuruh cari air, kalian bikin api unggun. Kita udah susah-susah, eh, kalian santai-santai!" Diba tak terima. "Mana Mas Ramda molor begitu! Mana lagi si Roje?" Galih ikut-ikutan. Fikri menarik napas. "Kalian tenang dulu, jangan asal jeplak!" tegurnya. "Si Ramda pingsan itu, Roje nggak tahu di mana. Tahu-tahu ilang!" Anak-anak tengik terdiam, saling berpandangan, bingung. "Aku akan jelasin semuanya. Tapi tolong kalian jangan panik, ya. Soalnya kalau kita panik, mereka bakal makin semena-mena." Anak-anak tengik langsung mengerti maksud Fikri. Mereka mengkeret. Saling mendusel masuk tenda, bergerombol, saling berpelukan di tempat Nina duduk sebelum menghilang tadi. Mereka tentu tahu dengan kemampuan spiritual Fikri mengusir jin pengganggu. Dan sudah hafal dengan arah pembicaraan Fikri menyangkut hal-hal seperti itu. "Aku sudah coba hubungin Roje dan keluarga kita semua. Sayang, nggak ada sinyal sama sekali di sini. Tapi ada satu panggilan masuk jam 11.22, dari Roje. Padahal dia sama kita terus. Aneh, nggak, dia nelepon aku jam segitu?" Fikri menjelaskan dengan tenang seperti biasanya. "Sekarang coba cek HP kalian masing-masing! Apa Roje juga nelepon jam sekitar jam segitu?" Anak-anak tengik bergegas menuruti permintaan Fikri. "Iya, Mas. Roje nelepon aku jam 11.23," celetuk Arsen. "Di aku jam 11.24." Diba kali ini. "Sampai empat kali lho." "Biasanya kalau kita jelajah, juga ada horor-horornya. Tapi nggak seserem ini. Sampai si Roje ilang segala!" "Sekali lagi aku bilang, tolong kalian tenang," peringat Fikri sekali lagi. "Kesimpulan aku sementara ... jadi, Ramda baru sembuh dari sakit. Dia sepertinya bukan sakit biasa. Dia diganggu sama jin. Dia kelihatan udah sembuh, tapi sebenernya gangguan itu belum hilang. Justru sedang berproses di dalam tubuhnya." "Jadi sekarang Mas Ramda pingsan akibat ulah jin itu?" Diba mewakili pertanyaan Arsen dan Galih. "Iya. Jin itu ikut dengan kita sepanjang perjalanan." "Kok bisa?" "Saat Ramda minta tuker tempat, Roje belum sempat masuk mobil. Jin itu berubah bentuk seperti Roje, bersikap seolah-olah dia." "Mas Fikri tahu kok diem aja?" "Iya juga, ya. Terus sekarang kita harus gimana, Mas?" "Kita harus nunggu Ramda sadar dulu. Malem ini kita nginep, besok pagi kita cabut. Kita harus buru-buru nolong Ramda sebelum jin itu benar-benar menguasainya." "Mas Fikri ...." Arsen memeluk Diba dan Galih bersamaan. "Tenda sebelah biarin kosong aja, ya, Mas. Kita ngeruntel tidur di tenda ini semuanya, ya. Sumpah ... takut." Fikri mengangguk. "Sekalian kita usaha terus cari sinyal buat kabarin orang rumah. Sekalian nginfoin tentang Roje. Semoga dia balik pulang, nggak nyusul kita ke sini." Anak-anak tengik mengangguk. "Oke, Mas." *** "Kenapa kamu bawa aku ke sini lagi?" tanya Saya. Kami berjalan beriringan menelusuri jalan setapak dengan rumah warga berjajar di kanan kiri. "Karena aku mau menyampaikan sesuatu. Aku nggak bisa leluasa karena ada sepupu kamu." Tersirat kemarahan dalam bicaranya. "Fikri maksud kamu?" "Iya. Dia manusia sok tahu." "Dia memang tahu. Meski aku dan dia seumuran, tapi aku sangat menghormatinya. Karena dia berilmu." Nina tak terima. "Jangan dekat-dekat dengannya! Aku nggak suka!" "Memangnya siapa kamu ngatur-ngatur aku?" "Kita sudah menjadi satu, Mas Ramda. Aku adalah kamu. Kamu adalah aku." "Atas dasar apa kamu membuat kesimpulan seperti itu?" "Atas dasar janji kita tempo hari." Nina tersenyum. Entah karena apa. Janji katanya? Saya tak ingat sama sekali telah membuat janji dengannya. "Janji yang waktu itu Mas Ramda." Ia menjawab pertanyaan batinku. "Mas Ramda bilang akan melakukan apapun, asal aku nggak muncul sembarangan seenak jidat. Sehingga bikin Mas Ramda kaget dan takut." "Janji apa? Aku sama sekali nggak inget." "Justru bagus Mas Ramda nggak inget. Kalau inget, si Fikri pasti akan gagalin janji kita." Perasaan saya tak enak. Sial. Bisa-bisanya saya mengucap janji dengan setan! Dan lebih siap lagi, saya lupa janji tentang apa. "Eh, Nina. Katanya kamu nggak akan muncul setelah aku bersedia berjanji. Kenapa tadi kamu muncul tiba-tiba? Bikin aku semaput lagi!" Saya tidak terima. Akhir-akhir ini saya jadi sering pingsan karena Nina. Saya jadi terkesan lemah. "Dasar setan sesat ... udah janji nggak muncul, masih muncul juga. Emang bener kata Fikri, kalian penuh dengan tipu muslihat!" "Aku hanya ingin jawab pertanyaan Mas Ramda. Karena aku peduli." Nina menunduk. "Pertanyaan yang mana?" "Inget waktu Mas Ramda lewat perempatan Jimbun sepulang dari Malang? Mas Ramda bertanya-tanya ke mana pindahnya para penghuni beringin kembar yang tumbang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD