Pertemuan Pertama

2952 Words
Kalo rajin pangkal kaya. Kalo kamu pangkal hatiku. -Rama- Bel berdering. Tanda masuk jam pertama. Tiga cowok yang terkenal di lingkungan sekolahnya, berjalan santai memasuki lapangan. Ralat, hanya dua cowok. Sedangkan yang satunya sedang menggerutu tak jelas. "Lo ngapain sih, Na. Ngedumel nggak jelas kek gitu. Dibawa santai aja kali. Gue jamin nggak bakal telat," ungkap Rama setelah melihat Nakula yang gelisah. Setelah itu, membuat gelembung dari permen karet yang dia kunyah didalam mulutnya. "Santai mbahmu!" teriak Nakula kesal. "Kalau sampai bu Painem udah masuk gimana? Guru killer kek gitu pasti udah nangkring didepan kelas," sela Nakula kesal. "Nggak bisa diajak seru-seruan lo, Na. Cuma telat berapa menit nih," sahut Dewa tak senang, yang berdiri disamping kanan Rama sembari memakan ciki-cikinya. "Kalian udah terbiasa bolos. Lah, gue baru pertama kali ini woy!" murka Nakula. "Bang Nakula Samudra Setyaka, hidup itu dibikin santai aja. Kalau bahasa Jawanya sih, ra sah sepaneng," balas Rama dilanjutkan dengan kekehannya yang memekakan telinga. "Hei guys, liat tuh. Ada anak baru," terang Dewa sembari menunjuk ke ruang kepala sekolah. Disana ada seorang cewek yang sedang berdiri menghadap ke mading sendirian. Terlihat asing bagi mereka bertiga. Mungkin dia adalah murid baru. Memakai seragam lengkap, atribut lengkap dan sangat menaati peraturan. Dasi bertengger di kerah seragamnya, ikat pinggang warna hitam, kaus kaki putih, dan sepatu sesuai peraturan sekolah, berwarna hitam. Tipe-tipe murid teladan. Rambut ombre coklat, panjang sepunggung. "Eh iya, kelihatannya cantik tuh. Godain ah," sahut Rama yang melihat si murid baru tanpa berkedip. "Syuit, syuit. Dek cantik, ngapain disitu sendirian?!" teriak Rama menggoda si murid baru. Si murid baru itu memalingkan kepalanya ke arah Rama. Mengerutkan alis, saat mendengar celotehannya Rama. Kemudian dia memanglingkan kepalanya ke arah lain. Mampus lo! "Wey, sombong tuh cewek. Disapa cogan sok-sokan nggak mau," gerutu Rama setelah mendapat perlakuan tak manis dari si murid baru. "Bukannya dia sombong, dia cuma pinter milih aja. Mana yang sapaan yang bener-bener menyapa atau menyapa tapi ada maunya," ujar Nakula bijak. Rama tak menggubris, dengan langkah riang, Rama berjalan ke arah si murid baru. Sesaat kemudian Rama sudah berdiri tepat dibelakangnya, si murid baru tak menyadari kehadirannya. Rama segera maju, berdiri tepat disebelahnya si murid baru, sembari merangkulkan tangan kanannya dipundak si murid baru. Membuat, si murid baru mengernyitkan alisnya tanda tak senang. "Sekolahnya bagus kan, jelas dong karena ada gue gitu," ujar Rama membanggakan diri sendiri. Si murid baru tak membalas perkataannya Rama. Dia malah menepis kasar tangan Rama yang singgah di pundaknya. Rama terkekeh, kemudian menarik tangan kanannya. "Hehehe, kebiasaan nih tangan, suka nemplok kalau ketemu cewek cantik," ujar Rama kemudian menabok tangannya sendiri. Si murid baru tak berkata apapun, dia segera menoleh ke mading lagi. Rama hanya mendengus kesal, saat mendapatkan perlakuan yang tak terduga dari si murid baru. "Lo murid baru ya? Boleh nggak gue-. Woy, lepasin woy!" Tiba-tiba ada yang menarik kerahnya dari arah belakang. "Udah, ayok ke kelas," ajak Nakula sembari menarik kerah seragamnya Rama ke arah kelas mereka. Meninggalkan si murid baru sendirian. Rama segera berontak, dia berbalik badan menghadap ke murid baru. "Woy cantik, nama gue Rama, Ramawijaya! Nama lo siapa?!" teriak Rama diujung koridor. Si murid baru hanya menoleh tanpa membalasnya. Melihat respon dari si murid baru yang sangat memuaskan, Nakula segera menyeret Rama untuk segera berjalan ke arah kelas mereka. Dan tak lama kemudian, tubuh mereka hilang setelah berbelok di ujung koridor. Dengan gerutuan kesal, Rama dan Dewa mengikuti Nakula ke kelasnya mereka. Rama menatap ke arah Nakula dengan pandangan kesal, sedangkan yang ditatap tak meliriknya sama sekali. Tak lama perjalanan, kini mereka sampai didepan pintu kelas. Benar ucapannya Rama, saat ini bu Painem belum masuk ke dalam kelas. Padahal, sepanjang sejarah sejak berdirinya SMA Angkasa Wijaya, bu Painem tak pernah absen mengajar ataupun masuk siang. Yah mungkin sudah takdir. Tiba-tiba ada dua cewek yang melintas di depan kelasnya mereka. "Hai kak Rama calon imamku," sapa si cewek berbando pink. Rama menoleh, kemudian tersenyum manis ke arah cewek itu. "Jangan suka halu ya, gue aja nggak kenal sama lu." Sontak saja, si cewek berbando pink merasa malu, dengan buru-buru cewek itu menarik tangan temannya, untuk segera pergi dari hadapannya Rama. Rama yang melihat tingkah adik kelasnya langsung ngakak. Sedangkan Nakula hanya melihatnya flat. Dewa? Jangan ditanya, dia sudah duduk di dalam kelas sembari memakan sisa cikinya. Rama menoleh ke arah Nakula, mengumbar senyum tengilnya, "Efek punya muka ganteng, jadi banyak banget yang ngaku jadi calon makmum gue." Nakula tak berkomentar. Dia langsung berjalan memasuki kelas. Rama yang ditinggal hanya mendengus kesal. Ikut berjalan memasuki ruang kelas. "Asli gue masih kesel tuh sama si anak baru," kata Rama mendudukan pantatnya dikursi pojok belakang. Didepannya, ada Dewa yang sudah duduk manis dikursinya. Melepas tas punggungnya, kemudian memutar badan ke belakang, menghadap ke arah Rama. "Iya tuh, mungkin tipe pemalu kali. Dilihat dari cara berpakaiannya kelihatan banget kalau dia cewek baik-baik," balas Dewa. "Hem, kira-kira dia masuk kelas mana?" gumam Rama penasaran. "Entah, aku pun tak tahu," sahut Dewa mengikuti ucapannya Ipin si kepala botak. "Emang beneran ada anak baru?" tanya seorang cewek yang duduk disampingnya Dewa. "Lo ngapain sih nyambung-nyambung. Kita nggak ngomong sama elo ya," balas Dewa kemudian menyentil kening si cewek. Si cewek mengusap keningnya yang baru saja disentil Dewa, "Ye, gue cuma nanya woy. Nggak usah nyentil kening gue juga kali. Iri lo sama kening gue? Secara kening elo udah persis kek lapangan sepak bola," sindir si cewek kemudian tertawa bahagia. "Se-happy elo deh Nay," balas Dewa akhirnya. Jika terus menerus meladeni Naya, sampai istirahat tiba pun tak akan selesai. Tempat duduk si SMA Angkasa Wijaya sangat diatur. Satu meja panjang diduduki oleh satu siswa dan satu siswi. Karena tahun ini ada seorang siswi yang pindah, maka Rama duduk sendiri. Mengapa, Rama memilih untuk duduk sendirian? Agar tak ada yang tahu saat dia memulai aksinya di kelas. Semula suasana kelas yang ramai, seketika hening. Seorang guru masuk membawa sebatang kayu yang panjang. Dibelakangnya ada seorang cewek yang tadi pagi dilihat oleh Rama dan teman-temannya. "Eh itu cewek yang tadi pagi, Ram," bisik Dewa ke arah Rama. Rama hanya mengangguk, dia sedang fokus menatap ke depan. Bukan fokus ke bu Painem, tapi cewek yang ada didepan sana. "Perhatian semuanya, hari ini kalian kedatangan murid baru. Silahkan kamu memperkenalkan diri," perintah bu Painem kepada si murid baru. "Salam kenal, saya Sinta Kartika Priscanara. Panggil saja Sinta. Semoga bisa menjadi teman baik," kata cewek itu memperkenalkan diri. Ternyata namanya Sinta. Hening seketika. Semua hanya terdiam sembari mengedipkan matanya berkali-kali. Mencerna perkenalan singkat dari seorang murid baru. "Untuk yang mau berkenalan, nanti saat istirahat saja. Sekarang kamu duduk dibangku belakang. Disampingnya Rama itu," ujar bu Painem sembari menunjuk ke arah Rama. Rama yang ditunjuk langsung melambaikan tangannya ke atas, tak lupa dengan senyum tengilnya. Sinta mengikuti arah yang ditunjuk oleh bu Painem. Dan setelahnya pandangan antara Rama dan Sinta bertemu. Rama tersenyum tengil sedangkan Sinta mendengus kesal. "Silahkan kamu duduk," perintah bu Painem. "Sekarang buka buku paket kalian halaman 220." Mau tak mau, akhirnya Sinta berjalan mendekati Rama. Saat akan menggeser kursinya ke belakang, tiba-tiba Rama sudah menariknya terlabih dahulu. Mempersilahkan Sinta untuk duduk di kursi yang baru saja Rama tarik. Sinta hanya mendengus kesal, dia langsung mendudukan tubuhnya dengan kasar. Rama masih saja menampilkan senyum tengilnya. "Nggak bilang makasih dulu? Makhluk halus aja tahu caranya berterima kasih. Masak lo yang makhluk kasar nggak mau bilang makasih?" tanya Rama dengan nada yang dibuat-buat sedih. Sinta hanya melirik ke arah Rama sebentar, kemudian menoleh lagi ke arah depan. Memperhatikan bu Painem. Perlakuan Sinta membuat Rama menghela napasnya. "Sama-sama," ujar Rama tiba-tiba. Sinta menoleh dengan raut kebingungan. "Jika lo lupa, kita hidup di Indonesia. Dimana, budaya mengucapkan kata terima kasih sangat dilestarikan, sebagai apresiasi untuk menghargai jasa dari si penolong," tandas Rama melihat ke arah Sinta. "Gue nggak minta lo buat nolongin gue. Jadi nggak usah ngarepin makasih dari gue," sahut Sinta lirih. "Seenggaknya lo bisa ngehargain gue dikit," ucap Rama sedikit emosi. "Cowok kaya lo," kata sinta, "Nggak pantes dihargain." Rama seketika emosi. Kedua telapak tangannya mengepal kuat. Menahan emosinya agar tetap terkendali. "Lo-" "Apa?!" teriak Sinta galak. Rama menghembuskan napasnya berlahan. Memejamkan sebentar matanya. Kemudian dia buka kembali. "Nggak. Lo cuma galak aja," kata Rama akhirnya. "Terus kenapa? Nggak suka lo?!" "Iya. Gue nggak suka kalau lo galak," ujar Rama santai. "Kalau lo emang nggak suka gue galak, nggak usah lo pikirin," pungkas Sinta kesal. "Udah terlanjur nyantol nih di otak gue. Terus gimana?" tanya Rama sembari mengedipkan kelopak matanya. "s***p lo!" sembur Sinta. "Heran deh gue sama lo. Gaya pakaiannya aja udah persis kek cewek cupu. Eh nggak tahunya, galak banget," celoteh Rama. "Dasar human, bisanya cuma menilai dari covernya doang," sindir Sinta. Rama tak menggagas ucapannya Sinta. Dia malah mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Sinta. "Gue ulangin perkenalan gue tadi pagi. Nama gue Rama, Ramawijaya Aksa Aryasatya. Kalau lo? Nama lo siapa?" kata Rama diselingi senyum tengilnya. "Kata pepatah, tak kenal maka tak apalah. Kalau tak mau kenalan juga nggak apalah." Sinta hanya melirik tangannya Rama kemudian melirik ke Rama. Setelah itu melengos, mengdapa ke depan lagi. Sinta kesal, pasalnya tadi Sinta sudah berkenalan didepan kelas, cuma alibinya Rama saja yang pengen modus dengnnya. Rama menghempuskan napasnya lagi, "Lo jadi cewek kenapa jutek banget sih. Gue udah rendahin harga diri gue buat kenalan sama lo duluan loh. Lo itu-" "Gue apa?!" bentak Sinta geram karena menurutnya, Rama itu sangat cerewet. "Lo itu-" "Rama, Sinta perhatikan pelajaran saya jika tidak mau saya hukum dilapangan!" teriak bu Painem didepan kelas. Sontak Rama dan Sinta menoleh ke arah depan, mulai memperhatikan pelajaran. "Baik bu." Dan pembelajaran pun berlangsung sampai jam istirahat tiba. Teng! Teng! Teng! Waktu istirahat telah tiba. Tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, Rama langsung pergi keluar kelas. Karena ada sesuatu yang harus dia kerjakan. Apalagi kalau tidak bisnis? Sinta yang belum berkenalan dengan siapapun, hanya duduk diam dikursinya. Dia bahkan tak memusingkan kepergian Rama. Seorang cewek didepannya, memutar tubuh ke arahnya. "Hai, kenalin gue Citrawati Lintang Nayaka. Lo panggil gue Naya aja," sapa Naya mengulurkan telapak tangannya mengajak berkenalan. "Gue Sinta," sahut Sinta membalas jabat tangannya Winda. "Bye the way, lo pindahan dari mana nih?" "SMA Sekar Arum." "Oh SA. Gue punya kenalan tuh disana," cerita Naya. Seketika raut wajah Sinta berubah menjadi penasran, "Oh ya, siapa namanya? Cowok apa cewek?" Naya seketika itu juga merubah raut wajahnya kecut, "Ada. Pokoknya orang SA. Dahlah nggak usah dipikirin." "Mantan lo ya?" tebak Sinta menahan tawanya. Naya terkejut, kemudian dia menggebrak mejanya Sinta, "Kok lo tahu?" "Cuma asal nebak aja sih. Orangnya cakep?" "Nggak, nggak cakep sama sekali," potong Naya kesal. "Kalau nggak cakep kenapa lo mau diajak pacaran sama dia. Secara lo cantik, tinggi juga." "Udah ah, nggak usah dipikirin lagi. Yuk ke kantin aja." "Ya udah, ayo." Hingga akhirnya Sinta dan Naya pergi ke kantin berdua. Dikantin, Rama sudah duduk bersama Dewa dan Nakula. Sedang asiknya menyantap soto, seseorang menabok bahunya. "Astagfirullahaladzim, ya Allah hamba cuma mau makan ya Allah, kenapa Engkau tak memberikan ketenangan pada diri hamba," ujar Rama dramatis. "Bacot anjrit," sembur Dewa kemudian melahap bakso pesanannya. "Baper mode on," pungkas Sadewa yang sudah duduk disampingnya Rama. "Heh lo, anoman. Kenapa lo ke sini? Sono balik ke habitat lo. Ganggu aja lo," usir Rama sembari menggeplak kepalanya Sadewa menggunakan sendok. "k*****t lo Ram. Gue kan kesini mau minta bantuan elo lagi." "Kalau soal ulangan, gue nggak mau," balas Rama melanjutkan makanannya. "Seratus persen lebih sepersen deh, ini bukan soal ulangan lagi. Ini soal pacar gue," kata Sadewa memelas. "Emang, pacar lo kenapa, Sad? Selingkuh? Ninggalin elo? Apa lo ditikung orang?" tanya Dewa kepo. "Perasaan hidup lo kebanyakan masalah Sad." "Banyak masalah menjadikan kita dewasa," kata Rama. "Tapi kalau Sadewa kebanyakan masalah, yang ribet malah jadi gue." Sadewa hanya menyengir mendengar sindiran kasar dari Rama. Bagaimana tidak kesal, setiap ada ulangan, Sadewa akan menyuruh Rama untuk mencuri kunci jawaban. "Terus pacar lo kenapa?" tanya Nakula. "Pacar gue akhir-akhir ini aneh. Tiap jalan sama gue, dia mantengin hp mulu. Kadang-kadang nih ya, sampai ketawa sendiri," cerita Sadewa kemudian mencomot sepotong gorengan dimangkuknya Rama. "Tangan lo Sad, dijaga," peringat Rama. "Tenang, bakal gue bayar." "Terus?" kata Nakula menuntut cerita lengkapnya. "Ya itu, gue takutnya dia selingkuhin gue." "Halah, lo mah paranoid aja. Cewek jaman sekarang nih ya, kalau mantengin hp terus ketawa sendiri, tandanya dia lagi baca cerita online. Lo sih nggak update," sahut Rama memberitahu sebuah fakta. "Iya bener tuh, adek gue juga suka baca begituan sambil ketawa-ketawa sendiri," ujar Dewa memberitahu. "Bukan gitu, dia ini ketawanya beda." "Emang ketawanya dia gimana?" tanya Rama bingung. "Ya pokoknya beda. Dia kaya ngetawain candaannya orang lain gitu." "Satu yang harus lo inget," pesan Rama tertuju ke Sadewa. "Apa?" "Indonesia itu suka bercanda, jadi lo santai aja," kata Rama kemudian melahap sotonya lagi. "Mungkin cewek lo lagi ngeprank jadi orang gila didepan elo. Dahlah, nggak ada hubungannya sama bisnis gue ini mah," gerutu Rama kemudian meneguk minuman es tehnya. "Sumpah Rama. Gue yakin dia pasti main selingkuh dibelakang gue. Gue mau lo hack hpnya. Curi chat yang menurut lo aneh. Misal bilang sayang, bebep, baby, swetty atau apalah itu," perintah Sadewa. "Yang suka manggil kek gitu kan elo sendiri, Sad. Gimana sih. Dasar bucin, bisa bikin orang seketika amnesia," seru Dewa. "Bukan," greget Sadewa. "Pokoknya lo hack hpnya." "Berani berapa lo?" "Lima ratus ribu!" teriak Sadewa kesal. Kesal jika teringat negoisasi sehari yang lalu. "Okey, fix lima ratus ribu," sahut Rama senang. Mantap! "Eh, korting dong. Kan kemarin gue udah sewa elo. Empat ratus ribu ya?" kata Sadewa meminta kortingan harga. "Ogah. Level ini lebih sulit dari kemarin. Jika lo tanya kenapa harganya lebih mahal, karena hp pacar lo pasti dipassword. Lo tahu kan kalau cewek ngepassword hpnya gimana? Dari huruf A sampai Z pasti dipake semua. Intinya yang bikin mahal, karena passwordnya yang sulit. Jadi gimana? Mau nggak?" terang si Rama panjang lebar. Sadewa menghela napasnya berkali-kali, "Okey, gue mau." Rama tersenyum senang, dirinya menjentikan jari ke arahnya Sadewa. "Seperti biasa, duwit dulu, baru gue beraksi," ujar Rama menengadahkan tangan kananya didepannya Sadewa. Dengan berat hati Sadewa mengeluarkan dompet dari saku celananya. Mengeluarkan uang lima ratus ribu. "Eh tunggu, dia ngepassword, pasti pake nama gue," ujar Sadewa menarik kembali uangnya. Rama menatap flat, "Pede banget kalau passwordnya nama lo." "Dia kan pacar gue," sela Sadewa. "Lo doang yang nganggep dia pacar. Belum tentu dia juga nganggep lo pacar," ceplos Dewa mengejek sembari tangannya meraih kerupuk. Emang Dewa rajanya makan. "k*****t lo, Wa!" teriak Sadewa kesal. "Udah sini uangnya," Rama mengambil paksa uangnya Sadewa. "Lo tenang aja, kalau emang bener passwordnya pake nama lo, uang lo bakal gue balikin setengahnya. Dahlah gue mau balik ke kelas dulu." "Terus kapan lo beraksi?" tanya Sadewa. "Entar malem," sahut Rama. "Kok malem? Entar siang kan juga bisa," omel Sadewa tak sabaran. "Karena," ujar Rama, "gue butuh sesaji biar aksi gue tambah ampuh." "EDAN!" seru Sadewa kesal dan Rama ngakak. Rama mengeluarkan sebungkus permen karet, setelah mengeluarkan permen karetnya, segera dia kunyah di dalam mulutnya. Kemudian Rama membalikkan tubuhnya. Melangkah kakinya ke suatu tempat. Tapi sebelum itu, seseorang menghentikannya. "Woy, bayar dulu!" teriak Sadewa yang ditujukan kepada Rama. Rama membalikkan badan, tersenyum tengil ke arah Sadewa. Membuat Sadewa merasakan firsat yang tak mengenakan. "Kan lo sendiri tadi yang bilang mau bayar. Dahlah gue mau balik!" teriak Rama kemudian berbalik badan dan pergi dengan langah santai. "RAMA SETAN!" teriak Sadewa geram. Jam baru menunjukkan pukul sebelas pagi. Seharusnya saat ini Rama sedang duduk dibangku dalam kelasnya. Memperhatikan bu Marsumi yang sedang menerangkan pelajaran matematika. Setelah itu berkutat dengan bermacam-macam rumus. Tapi itu hanya sebatas kata 'seharusnya' karena faktanya kini Rama sedang tiduran di sebuah bangku panjang ditepani dengan angin sepoi-sepoi yang ada di rooftop. Ya, Rama memilih membolos untuk kali ini. Bukan karena Rama tak bisa berhitung, hanya saja dirinya malas bertemu dengan deretan angka. Dan juga, kini disampingnya ada seseorang yang duduk semeja dengannya. Siapa lagi kalau bukan Sinta. Biasanya kalau ada pelajaran matematika, Rama akan melakukan beberapa kali uji coba, untuk meretas ponsel teman-temannya. Tentu saja atas perintah dari teman-temannya. Karena Rama adalah manusia tipe yang jujur, dia tak akan meretas ponsel milik orang lain, kalau bukan perintah dari teman-temannya. Karena yang mengetahui jika Rama adalah Hacker baru sedikit, maka Rama harus hati-hati saat melaksanakan aksinya. Alasannya cuma satu, Rama tak mau kemampuan meretasnya dimanfaatkan oleh orang jahat. Saat asyik tiduran, tiba-tiba ponselnya berdering, tanda ada yang menelpon. "Haish, ganggu aja ni orang," gerutu Rama kemudian meraih ponsel putihnya. "Halo?" sapa Rama setelah menggeser tombol angkat tanpa melihat siapa yang menelpon. "Lo ada dimana Ram? Nggak biasanya lo bolos?" bisik orang diseberang sana. "Nggak papa. Bosen aja dikelas. Gue di rooftop," balas Rama sembari mendudukkan tubuhnya. "Okey, gue nyusul ke sana." "Jangan lupa bawain tas gue, gue mau cabut sekalian. Jadi nyebat nggak?" "Harus jadi. Otw gue sekarang." "Heem." Kemudian Rama memutuskan sambungan teleponnya. Meletakkan ponselnya kembali ke dalan saku celana. Tak lama kemudian, Dewa datang dengan membawa dua tas, salah satunya milik Rama. "Ketahuan nggak?" tanya Rama menatap ke arah Dewa. Dengan bangga, Dewa menepuk dadanya. "Nggak dong, bang Dewa gitu loh." "Sekate-kate elu, Wa," balas Rama malas. Melirik ke tas milik Dewa. "Lo bawa tas dua? Emang nggak ketahuan?" "Enggak, gue ijinnya ke toilet. Tapi sebelum itu, tas lo sama punya gue, gue lempar dari cendela. Habis itu baru gue ambil." "Cerdas!" balas Rama seadanya. Mengambil tasnya kemudian dia pakai di bahu kirinya. "Ayoklah." "Kemana?" tanya Dewa yang bingung. "Tempat bisa. Kan lo mau nyebat. Emang lo mau nyebat disini, terus ketahuan sama guru. Setelah itu, lo habis sama nyokap lo?" terang Rama yang suka kesal dengan otak Dewa yang sering lemot. "Oh iya ya. Ayoklah gaasss..." balas Dewa riang. Rama dan Dewa segera melangkahkan kakinya menuju sebuah tempat persembunyiannya. Tak ada yang bisa mengetahuinya, kecuali Rama, Dewa dan beberapa cowok badboy lainnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD