Baru Suka,Terus Patah Hati

1002 Words
Mamat merasa amat berdebar. Ia sampai menangkup pipinya dengan kedua tangan. Walau sebetulnya Mamat Itu lebih manis daripada Iqbal Ramadhan. Malah, kata emaknya Mamat, Mamat itu paling ganteng. Gantengnya pool, ngentuk sampai luber. Itu ganteng apa aer? Tangan Mamat terasa berkeringat. Apalagi Nuna mulai menyapanya. Setiap huruf yang terlontar dari bibir berpulas pink nude itu bagai prakata ratu yang menyentuh relung hati Mamat. Seolah setiap kata yang terucap bukan untuk dibantah. Hanya tahu, dituruti keinginannya. "Eeh, Maaf... Maaf," ucap Nuna panik seraya meringis. Lantas ia mengumbar senyum maut. Senyum yang mengandung gula sekarung. Diabetes, diabetes deh si Mamat. Hancurlah sudah pertahanan Mamat untuk tidak tergila-gila dengan gadis di depannya. Tiba-tiba tenggorokannya terasa kering kerontang. Bagai berjalan ribuan kilometer di gurun pasir. Padahal Mamat cuma menahan minum setengah jam. Tapi rasa apa ini, mengapa ia tiba-tiba ingin menggelontorkan status jomblo akutnya berganti kepada in-relationship. Bersama siapa lagi kalau bukan sama gadis perampok hatinya. Woy... Balikin Woy, kalau enggak mau balikin. Minimal di jagalah. Jangan disakiti apalagi dikecewakan, Hm! "Sakit,ya?" selidik Nuna sembari merunduk mencari pandangan lelaki di depannya. Tangannya tanpa sengaja menyenggol jambul khatulistiwa yang tiap hari Mamat jaga, dipakaikan pomade sampai gak ada satu pun yang boleh rusuh sama poni mautnya itu. Namun, itu tidak berlaku untuk Nuna. Mamat malah selalu ingin di perhatikan terus seperti ini. Sayangnya ia juga menatap baju yang Nuna gunakan. Benar, baju seragam sekolah ditambah rok di atas lutut. Membuat dia sadar, dirinya tidak layak menyukai Nuna. Mamat masih percaya, baik masa kini, dulu dan mungkin selamanya. Kebanyakan orang dengan pandangan stereotip masih memandang status sosial, di mana yang kaya dan yang miskin tak akan mungkin bisa bersatu. Meski sejatinya, cuma iman dan takwalah pembeda antar manusia di mata Tuhan. Hanya untuk hidup bermartabat, Mamat harus mengerti batasan itu. Bermimpi gadis itu menjadi pacarnya cuma jadi angan t***l baginya. Akhirnya ia memutuskan mengubur kembali rasa yang sempat melejit, dalam-dalam. Secara intusi Mamat mundur seraya menunduk santun. Ia gak berusaha membalas tatapan Nuna yang mengandung racun itu. "Nuna!" suara seorang lelaki dewasa dari balik kemudi memanggil. Mamat ikut melirik sebentar. Tidak salah lihat lagi. Lelaki yang duduk di kemudi terlihat melotot ke arahnya. Ia sepertinya tidak suka kalau gadis itu mengobrol lama dengannya. "Bentar, Pih!" Seketika Mamat bersenandika. 'Oh... Jadi pria itu papinya gadis ini.' Semakin tahu dirilah Mamat. Cinta memang getaran alami yang bisa di rasakan setiap insan. Tetapi, ngaca juga lah. Masa gadis blasteran dengan mobil mentereng sama dia yang real. Real melaratnya. Ingat.., cinta itu gak cuma butuh perjuangan tapi juga butuh restu. "Saya yang minta maaf, Non." Akhirnya Mamat menjawab sesuai kadar tempatnya. Yaitu berusaha merendah "Iih, kok kamu yang minta maaf sih. Aku lho yang nabrak kamu, sini biar aku gandeng kamu. Pasti kamu kesulitan jalan. Kakinya sakit, gak?" Nuna menengok ke arah bawah. Sesekali membenarkan rambutnya yang tergerai lurus,mengikuti gerakkannya. Nuna memang ingin berbuat baik kepada semua orang. Dia tidak ingin diingat sebagai individu yang keji. Tapi Nuna melotot saat melihat sepatu yang lelaki itu gunakan. Yah, sepatu yang sudah tidak layak pakai. Sepatu itu penuh solatip. Sepatu yang Mamat dapat dari warisan kakeknya. Iya.., sepatu saja Mamat harus mengandalkan warisan turun termurun. Ia gak bisa beli baru. Gajinya selalu habis untuk membantu emak di rumah. Namun Mamat selalu ikhlas dan bahagia. Baginya, memikiki barang sederhana asal masih bisa digunakan, lebih baik ketimbang harus melihat ibunya bekerja lebih keras cuma demi membesarkan anak dan sepupunya. Sudah cukup usaha beliau menyekolahkan dia sampai lulus D3. Karena, kata emak..., biar miskin kudu berpendidikan. Mungkin ia belum begitu berbakti. Tapi dengan pekerjaan halal itu Mamat yakin setidaknya ia bukan beban keluarga. Lagian, kata emak Mamat juga...,lelaki tidak perlu gengsi. Bekerjalah apa pun asalkan halal. Karena lelaki di tugaskan bekerja. Bukan pamer. Nuna masih terangga. Baru kali ini ia melihat sosok 'se-low profile' lelaki di depannya. Biasanya ia menemui orang-orang yang ingin terlihat WAH meski itu hanya kulit luar saja. Nuna terus mendelik ketika melihat wajah Mamat. Tunggu, lelaki itu tidak jelek. Yah, Nuna yakin itu. Ia bisa melihat ketampanan alami dalam diri Mamat. Nuna yakin ia bisa sangat tampan asal kan sedikit dipoles. Nuna semakin mengumbar senyum merekah ketika ide terlintas di benaknya. Hal itu membuat Mamat risih. "Kenapa, Non?" selidiknya. Maaf jika gadis itu hanya ingin mentertawakan kesederhanaannya. Lebih baik simpan tawa itu. "Kamu unik!" ucap Nuna cepat dan gemas. Mamat sampai harus memasang telinga kembali. "Apa, Non?" "Kamu unik! Aku suka!!" Bagai petir siang bolong, kata suka terlontar santai dari bibirnya. Dan berakibat Mamat éng'gap. Telinganya masih berfungsi dengan baik. Pun otaknya yang segera memproduksi hormon oksitosin hingga membuat kinerja jantung lebih cepat. "Oh, hehe... Hehhe...!" Mamat cuma bisa tertawa profesi. Gak mungkin ia marah ke gadis itu atas pernyatannya yang kontrolversial di telinga Mamat. Mamat sadar, kadang kemiskinan bisa dibilang 'hak istimewa' yang gak semua bisa orang dapat. Kayak gadis ini contohnya. Pasti dari kecil ia gak kenal sama yang namanya miskin. Apa itu? Mati lampu saat ujian gara-gara emak gak bisa bayar tagihan listrik. Apa pula, nuntun sepeda dari sekolah sampai rumah cuma masalah tali rantai putus. No... Gadis di depannya, Mamat rasa tidak pernah mengalami kejadian yang baginya telah mengisi separuh perjalanan hidup. Menjadikan Ahmad Mirzha, lelaki yang ikhlas dan pasrah. Kuat mental dan pantang menyerah. Kecuali soal getaran cinta. Ayoklah, itu masuk dalam kategori lain. Bagi seorang pria, pahit, getir menjalankan kehidupan adalah hal biasa. Tetapi harus merasakan patah hati di kala pertama mendamba. Itu sangat menyakitkan. Pria juga punya rasa, malah sering kali mereka jauh lebih terpuruk saat rasa sayangnya tidak bersambut baik. "Kamu ada waktu gak? Kita sarapan bareng yuk!" ajak Nuna demi melancarkan niatnya. Gadis itu berusaha mengaitkan tangannya di lengan Mamat. Sayangnya, Mamat menghempaskan sedikit kencang. Nuna mendelik karena kaget, meski begitu ia sempat merasakan betapa kencang otot bisep di lengan Mamat yang tertutupi seragam hitam itu. Kontan ia menelan ludahnya kasar. "Eh, aku keterlaluannya?" tanya Nuna akhirnya sadar. Tatapannya sedih. Mamat tidak tahu harus melakukan apa. Ia hanya membungkukkan setengah badannya. Sebuah reaksi alami ketika si bebek buruk rupa masuk ke otoritas angsa cantik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD