Modus

1768 Words
"Cari Samuel, dia ada, 'kan?" tanya perempuan itu tanpa ada kesan ramah sedikit pun dari nada bicarannya. "Iya, tunggu bentar," jawab Meisya lalu memutar tubuhnya berniat memanggil Samuel karena ada tamu untuknya. "Eh, tunggu!" panggil wanita berrambut kecoklatan yang tergerai sebahu itu. "Apa lagi?" tanya Meisya sambil kembali menatap wajah ya. "Kamu enggak nyuruh aku masuk? Enggak sopan banget, sih!" gerutu wanita itu sambil melipay kedua tangannya di bawah d**a membuat kausnya yang kependekan semakin terangkat membuat perutnya yang semula sedikit terbuka kini semakin terlihat. "Oh, iya. Maaf, lupa!" Meisya membuka daun pintu lebih lebar agar wanita itu bisa masuk. "Silakan duduk, dulu." Meisya langsung meninggalkan tamunya yang langsung duduk tanpa sungkan. Awalnya agak ragu, tapi akhirnya Meisya mulai meniti anak tangga untuk menuju kamar Samuel, tidak mungkin, 'kan, dia membangunkan Samuel dengan berteriak-teriak. "Kak." Panggil Meisya sambil mengetuk pintu kamar Samuel yang tertutup. Berkali-kali Meisya mengetuk lagi daun pintu bercat abu-abu itu. "Kak Samuel, ada tamu." Meisya mengeraskan suaranya, lalu terdengar suara anak kunci yang diputar dari balik pintu. "Ada apa, sih, pagi-pagi udah bangunin aku?" tanya Samuel yang menyembulkan kepalanya dari balik daun pintu. "Ada tamu," jawab Meisya datar. "Hah? Siapa?" Samuel mengerutkan dahinya membuat muka bantalnya semakin terlihat menggemaskan. "Ya mana aku tau, Kak. Dia, 'kan, bukan kan temen aku. Kalau dia temen aku baru aku tau," jawab Meisya, ia memutar matanya malas. "Eh, cewek apa cowok?" tanya Samuel lagi, kali ini pintu kamarnya ia buka lebih lebar hingga dirinya yang hanya mengenakan sebuah celana boxer dapat terlihat oleh Meisya. "Cewek, cantik, seksi lagi!" jawab Meisya lalu nyelonong begitu saja dari hadapan Samuel, yang kembali memasuki kamar tanpa menutup pintunya kembali. Lelaki itu hanya mencuci muka dan menggosok gigi sebentar, mengenakan celana pendek dan kaus oblongnya tanpa sempat menyisir rambut membuat rambutnya yang agak panjang berwarna coklat terang sedikit berantakan, ia hanya merapikannya dengan kesepuluh jari sambil menuruni anak tangga. Meisya yang sejak turun dari atas tadi langsung ke dapur, mengambil s**u yang tadi belum ia habiskan lalu duduk di ruang makan. "Sarah?" Suara Samuel yang baru menuruni anak tangga membuat Meisya menoleh ke arah mereka. "Samuel!" Meisya memperhatikan mereka dari tempat duduknya, ia jadi tau nama perempuan itu Sarah. Meisya mencibirkan bibirnya saat melihat wanita itu langsung nemplok pada tubuh Samuel dan mencium pipinya. "Kok kamu bisa ada di sini?" Samuel terlihat terkejut melihat wanita itu ada di rumahnya pagi-pagi begini. Sarah tersenyum lebar lalu tampak mengambil sesuatu di dalam tasnya, mengeluarkan benda pipih itu lalu menggoyangkannya di depan wajah Samuel yang juga ikut tersenyum lebar. "Ternyata kamu yang nemuin? Padahal aku berencana dateng ke klub lagi malam ini buat cari ini!" Samuel berusaha meraih ponsel miliknya dari tangan Sarah, tetapi wanita itu menghindarinya dengan memutar ponsel itu dan kembali menggenggamnya. "Ish, modus!" gumam Meisya tanpa suara sambil menyuap sarapannya, kedua matanya tetap menatap pada kedua manusia yang hanya berdiri di ruang tamu itu. Menatap dengan sebal pada setiap gerak-gerik Sarah yang tampak jelas ingin menggoda Samuel, menyebalkan. "Tunggu! Gue enggak cemburu, ya! Ini bukan kecemburuan, gue cuma sebel aja sama tingkah tuh cewek!" gumam Meisya pada dirinya sendiri, hati dan otaknya tiba-tiba tidak sejalan lagi. "Boleh ambil tapi ada syaratnya." Kedua mata Meisya membola mendengarnya. "Wah, ngelunjak!" gerutunya. "Syarat?" tanya Samuel sambil mengerutkan keningnya. "jemput aku jam delapan malam, kita clubing bareng!" ujar Sarah. "Tuh, 'kan, beneran modus banget!" Hati Meisya tiba-tiba berbisik. Mencebikkan bibirnya sesaat, "Udah deh, Sya, enggak usah peduliin urusan orang!" Meisya berusaha fokus pada makanannya. "Hem ... gimana, ya ...." Samuel mengusap tengkuknya. "Ya udah, kamu ambil aja hape kamu di toyobo nanti malem!" jawab Sarah berlagak akan memasukkan lagi ponsel Samuel ke dalam tasnya. "Eh, eh, iya. Makasih, ya udah nganterin hape-ku sampe rumah. Kamu udah repot-repot, lho, pagi-pagi," ujar Samuel, ia menarik tangan Sarah dam mengambil ponselnya dari genggaman wanita itu. "Iya, Sama-sama, aku tunggu jam delapan. Nanti aku share lokasinya." Sarah langsung mencium kedua pipi Samuel sebelum keluar dari rumahnya. . Meisya hanya melirik sekali pada Samuel yang sedang menarik kursi yang ada di hadapannya lalu kembali fokus pada makanan di hadapannya. "Hape-ku ketinggalan di klub gara-gara kamu telpon semalem, dia ke sini buat nganterin," ujar Samuel tiba-tiba, membuat Meisya menatapnya dengan wajah bingung. "Kakak ngejelasin sama aku?" tanya Meisya datar. "Iya juga, ya. Kenapa juga aku harus ngejelasin sama kamu," gumam Samuel yang bingung pada diri sendiri kenapa ia jadi tiba-tiba merasa hutang penjelasan pada Meisya. "Tanpa Kakak jelasin pun aku udah tau, 'kan aku udah denger, aku juga tau kalau tujuan dia ke sini bukan cuma buat balikin hape Kakak," sahut Meisya. "Maksud kamu?" Ucapan Meisya membuat Samuel menghentikan kegiatan menyendok nasinya ia sesaat lalu menatap wajah Meisya yang menurutnya aneh. "Ya elah, Kak, katanya playboy. Semua makhluk hidup yang ada di rumah ini, termasuk semut yang ada di tanah dan cicak yang ada di dinding juga jangkrik-jangkrik pakannya Mimi juga tau kalau perempuan itu ke sini bukan cuma buat ngaterin hape tapi juga buat ngedeketin Kakak," jawab Meisya datar. "Oh, aku tau. Tapi, kenapa jadi kamu yang sewot! cemburu?" jawab Samuel. "Ih, siapa yang sewot! Apa lagi cemburu! Aku cuma sebel liat cewek ganjen begitu!" jawab Meisya. "Dia ganjen? Terus kamu?" celetuk Samuel, membuat Meisya langsung terdiam hanya rasa panas di d**a yang langsung menjalar ke wajahnya terutama di kedua matanya yang langsung mengalir seperti air terjun Niagara. "Iya, maaf." Meisya langsung bangun dari duduknya dan berjalan memasuki kamar, membuat Samuel terbengong menatapnya. Meisya menutup pintu kamar dan langsung membenamkan wajah di atas bantal meredam isak tangisnya, ia lupa jika ia adalah wanita terburuk di dunia hingga Samuel mengingatkannya tapi tetap saja rasanya sakit. "Namanya juga wanita hamil, Den, pasti perasaannya lebih sensitip." Suara Mbak Tri yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya membuat Samuel terkejut, Mbak Tri mengambil piring bekas makan Meisya untuk dicuci. "Aku harus gimana, sih! Becanda dikit aja salah," gumam Samuel. Pemuda itu bangun lalu menaiki anak tangga menuju kamarnya untuk mandi. * Dita Andriyani * Sekitar satu jam kemudian Samuel sudah turun dari kamarnya melihat Mbak Tri yang sedang berjalan membawa pakaian keruangan yang tersedia khusus untuk menyetrika, dia tidak melihat ada Meisya di mana pun. "Meisya mana, Mbak?" tanya Samuel. "Masih belum keluar kamar, Den," jawab Mbak Tri dengan wajah prihatinnya padahal biasanya Meisya paling tidak betah berada di kamar, wanita itu lebih senang membantu Mabak Tri di dapur atau sekedar menyirami tanaman hias jika tidak pergi bekerja. Tanpa banyak bertanya lagi Samuel langsung berjalan mendekati pintu kamar Meisya dan mengetuknya pelan. "Sya, Meisya." Panggilan Samuel sama sekali tidak mendapat jawaban. Tiba-tiba Samuel teringat jika Meisya pernah melakukan upaya bunuh diri, dengan cepat ia memutar gagang pintu dan merasa lega Meisya tidak menguncinya. Ia melihat Meisya yang meringkuk di atas kasur, Samuel masuk setelah sebelumnya menutup pintu dari dalam. "Enggak apa-apa kali, ya, gue masuk. Dia juga, 'kan, bini gue. Sah, resmi, halal," Gumam Samuel sambil berjalan mendekati ranjang Meisya. "Dia tidur beneran, 'kan, bukan mati gara-gara nenggak racun." Batin Samuel, lalu mencondongkan tubuhnya agar bisa melihat wajah Meisya lebih dekat, ia menghela napas lega karena bisa melihat Meisya yang mendengkur halus dengan napas teratur. Samuel manatap wajah cantik Meisya yang terlihat alami tanpa polesan make up sedikit pun, berbeda dengan kebanyakan wanita yang Samuel temui, bahkan Sarah, tadi wanita itu datang sepagi itu pun wajahnya sudah di poles sedemikian rupa, entah sejak jam berapa wanita itu melakukannya. Samuel melihat ada air di bulu mata lentik Meisya tanda jika wanita itu menangis hingga tertidur, juga masih ada bulir being yang menggenang di lekuk pangkal hidung mancungnya. Bagai ada seseorang yang menuntun tangan Samuel untuk mengusapnya, dengan jari telunjuknya Samuel menyeka sisa tangis Meisya hanya sekedar tanggung jawab moril karena air mata itu menitik karena ucapannya meskipun Samuel hanya asal bicara tanpa ada maksud apa-apa. Merasa sial, karena Meisya merasakan sentuhan halus yang Samuel lakukan di wajah cantiknya. Wanita itu membuka mata perlahan lalu terperanjat melihat Samuel yang ada di kamarnya, duduk di ujung ranjangnya. "Kakak ngapain di sini?" tanya Meisya ketus sambil cepat-cepat bangun dan duduk menekuk lututnya, menarik selimut untuk menutupi kakinya, persis adegan seorang wanita yang akan diperkosa dalam sebuah sinetron kegemaran ibu-ibu. "Aku cuma mastiin kamu tidur beneran, buka mati karena minum racun!" jawab Samuel. "Kakak kalau ngomong sembarangan! Aku enggak mau mati, aku udah sadar kalau bunuh diri itu akan nambah-nambahin dosa aku yang udah banyak," jawab Meisya. "Enggak usah gitu juga kali, Sya, kamu pikir aku masuk kamar kamu buat grepe-grepein kamu apa!" ujar Samuel melihat posisi duduk Meisya. "Enggak, enggak apa-apa," jawab Meisya kikuk. "Hah? Enggak apa-apa aku grepein?" tanya Samuel, Meisya malah menggeleng cepat. "Bukan! Enggak apa-apa, aku duduk gini, aku pengen!" jawab Meisya. "Ya sebenernya emang enggak apa-apa juga, sih, Sya. Kita, 'kan, udah nikah!" sahut Samuel sambil mengulum senyum geli melihat ekspresi Meisya. "Kakak mau ngapain masuk kamar aku?" tanya Meisya cepat bukan hanya untuk mengalihkan perhatian, tapi memang Meisya yang penasaran kenapa Samuel ada bisa di dalam kamarnya. Samuel malah menghela napas dalam, lalu menghembuskannya pelan seolah ada hal berat yang akan ia ucapkan. "Aku mau minta maaf, karena ucapan aku tadi bikin kamu sakit hati. Aku sama sekali enggak bermaksud buat mengatakan hal buruk tentang kamu." Meisya menatap wajah Samuel yang terlihat serius. "Enggak apa-apa, Kak. Aku sadar, kalau aku memang buruk, dan keburukan itu enggak akan bisa hilang dari diri aku. Aku sama sekali enggak marah, kok, sama Kakak." Air mata kembali menggenangi kedua mata Meisya, mungkin benar apa yang Mbak Tri katakan jika wanita hamil jauh lebih sensitif karena ia merasa jika dirinya jauh lebih cengeng sekarang. "Aku enggak tau harus ngomong apa, Sya. Karena jujur aja aku bukan tipe orang yang pandai merangkai kata-kata. Kamu pasti bisa menilai kalau aku terkesan cuek dan apa adanya, tapi, aku harap kamu jangan lagi berkecil hati. Kamu pasti bisa menjadi Meisya yang lebih baik. Oke, aku keluar sekarang," pungkas Samuel tetap dengan nada bicaranya yang dingin, hanya saja sedikit lebih baik karena tidak terkesan galak seperti biasanya. Lelaki itu bangun dan langsung menutar tubuhnya meninggalkan ranjang Meisya. "Kak." Samuel menggantung tangannya yang sudah terulur untuk membuka daun pintu saat mendengar panggilan Meisya. "Kalau nanti malem mau pergi sama Sarah, sebelum berangkat pastiin dulu semua pintu dan jendela atas udah di kunci. Jangan sampe aku harus panggil Kakak yang lagi seneng-seneng gara-gara maling!" Samuel mengangguk lalu keluar dari kamar Meisya kembali menutup rapat pintu kamar wanita itu. Meisya merasakan ada sebuah cubitan di dalam hatinya, lalu tersenyum miris menertawakan dirinya sendiri yang mengucapkan sebuah pesan bijak saat suaminya sendiri akan pergi bersenang-senang bahkan mungkin berkencan dengan wanita lain. Namun, ia selalu membisikkan sebuah kata dalam hati yang selalu akan membuatnya sadar jika pernikahan mereka hamya sebuah pernikahan palsu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD